Dalam satu hingga dua dekade terakhir, dunia usaha dalam berbagai bidang di Indonesia berlomba mengadakan program pelatihan dalam rangka pengembangan diri para pekerjanya (baca: karyawan). Sepertinya hal ini dilakukan atas dasar asumsi bahwa usaha-usaha mengembangkan ketrampilan kerja para pekerja saja tidaklah cukup dan latihan-latihan batiniah yang diperoleh dan dialami seseorang dari tuntunan agama yang dianutnya tidaklah cukup memberdayakan seseorang untuk bekerja optimal dan maksimal.
Bisa jadi, itu juga alasannya mengapa kemudian latihan pengembangan diri yang tetap marak ini secara khusus mencoba menyentuh dimensi karakter seseorang. Pengembangan diri ini seperti halnya pengembangan-pengembangan dalam bidang lain pada dunia usaha (baik pengembangan modal, aset, dan jaringan) kembali lagi ditujukan untuk mencapai tingkat keberhasilan tertentu dari perusahaan-perusahaan pelakunya. Berbagai usaha pengembangan ini semakin digalakkan ketika krisis-krisis dalam berbagai bidang melanda Indonesia sejak akhir abad 20 yang lalu, dan kemudian melanda dunia usaha secara global.
Langkah reaktif seperti ini bisa saja merupakan salah satu contoh dari sikap optimistis manusia di abad ke-21 dalam upaya menyikapi berbagai hambatan, persoalan, dan tantangan yang menghadang harapan dan kerinduan meraih sesuatu. Benar bahwa aneka wajah pesimis dapat juga dijumpai terserak di bumi Indonesia, terutama ketika ada manusia-manusia yang sepertinya tidak dapat bergerak keluar dari kungkungan penderitaan yang datang mengempas tanpa henti. Melihat gejala ini, sepertinya manusia modern hanya memiliki dua pilihan ketika diperhadapkan dengan berbagai masalah menghadang dirinya dalam upayanya mencapai tujuan yang ingin ia raih: terus menerus meningkatkan potensi diri sebesar-besarnya atau menyerah dan karena itu tidak melakukan apa-apa.
Mengambil pelajaran dari dunia kuno, tampaklah bahwa sesungguhnya tidak hanya dua pilihan itu yang tersedia bagi manusia. Masih ada alternatif lain yang bercerita tentang bagaimana manusia dapat menghadapi dan menyikapi berbagai masalah yang menerpa, menyingkirkan sejauhnya suara bernada pesimistis yang dibisikkan ke telinganya, dan kemudian dapat bergerak maju dan bahkan mampu menggerakkan orang lain demi mencapai tujuan yang mereka inginkan bersama. Ini adalah alternatif yang diteladankan oleh sosok bernama Nehemia.
Nehemia adalah salah satu tokoh di dalam Alkitab yang digambarkan sebagai seorang yang memimpin pembaruan Yerusalem, serta memiliki visi dan karakter kepemimpinan yang kuat. Donald Campbell dalam buku Nehemiah: Man in Charge menghadirkan daftar panjang yang menunjukkan bahwa Nehemia memiliki karakter kepemimpinan yang efektif. Beberapa di antaranya adalah: Nehemia memiliki tujuan yang jelas, semangat misioner bagi komunitasnya, keinginan untuk terlibat aktif dalam kegiatan yang dirancang, kemampuan menentukan prioritas dari sekian banyak kemungkinan program, memiliki kesabaran, menghargai/menghormati atasan, siap menghadapi berbagai kendala, sangat antisipatif, memahami dirinya sebagai bagian dari mereka yang ia pimpin, memiliki kepercayaan diri yang kuat, serta keberanian mengambil keputusan pada saat yang tepat.
Bagaimana sampai ia memperoleh karakter-karakter yang memang dibutuhkan untuk bisa tampil sebagai pemimpin seperti ini? Tentu saja semuanya ini tidak berangkat dari berbagai latihan motivasi diri atau latihan-latihan kepemimpinan lewat serangkaian kegiatan terprogram secara formal. Nehemia sebelumnya adalah seorang Yahudi yang turut dibuang ke Babel dan menetap di sana dengan peran yang kemudian ia dapatkan di tengah-tengah keluarga penguasa.
Ia menjadi juru minum bagi raja Persia. Dalam posisinya yang demikian (‘pelayan’ raja), sulit membayangkan bahwa ia berkesempatan untuk mengasah diri menjadi seorang pemimpin yang tangguh. Bahkan, mungkin kita harus katakan bahwa ia sama sekali tidak pernah memperoleh kesempatan seperti itu.
Akan tetapi, ada petunjuk yang bisa menghantarkan kita pada masa kini untuk menemukan dari mana semua karakter Nehemia ini berasal. Di dalam Nehemia 2:19-20a, dikisahkan bahwa Nehemia baru saja selesai menularkan motivasi kepada orang-orang Yahudi dan mau memulai restorasi Yerusalem. Pada saat tersebut, tiga musuhnya, yakni Sanbalat, Tobia, dan Gesyem mencoba menghambat Nehemia dan bangsanya dengan teknik demoralisasi yang khas dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengandung teror dan bernuansa pesimistis. Di sini, terlontarlah kata-kata Nehemia: “Allah semesta langit, Dialah yang membuat kami berhasil!” Ungkapan bernada pengakuan dan penegasan keyaninan ini mirip dengan beberapa perkataan yang ia ungkapkan sebelumnya: “Dan raja mengabulkan permintaanku itu, karena tangan Allahku yang murah melindungi aku” (ayat 8) dan “aku tidak beritahukan kepada siapa pun rencana yang akan kulakukan untuk Yerusalem, yang diberikan Allahku dalam hatiku” (ayat 12).
Terlihat jelas bahwa Nehemia tahu bahwa peristiwa-peristiwa di dalam hidupnya tergantung kepada Allah, termasuk rencana restorasi Yerusalem. Tanpa takut sedikit pun, teror dan pesimisme tadi ia bantah dengan keyakinannya yang tergantung kepada Allah. Nehemia adalah sosok berkeyakinan teguh pada pimpinan dan penyertaan Tuhan. Dengan keyakinan itulah, ia berani melangkah terus sekalipun ada setumpuk tertawaan sinis mengiringinya dan bahkan ada ancaman membahayakan yang ditebarkan untuknya.
Walau secara global dan nasional, situasi saat ini belum memeperlihatkan tanda-tanda yang menjaminkan kepastian secara ekonomi dan finansial, namun kita tidak boleh sampai hanyut ke jurang pesimisme. Jangan kehilangan pengharapan dan keyakinan. Sebaliknya, semangat optimisme haruslah menjadi wajah yang bisa terlihat jelas oleh banyak mata, yakni wajah optimistis yang memancar dari keyakinan kokoh akan kekuasaan dan kemurahan pertolongan Tuhan.
Hambatan dan tantangan pasti akan selalu menghadang. Akan tetapi, sejak awal melangkah, marilah kita menempatkan keyakinan kita kepada pertolongan Tuhan pada posisi pertama dan utama. Sama seperti Nehemia, marilah kita berujar, “Allah akan membuat kita berhasil!” Lalu, dengan keyakinan itu juga, kita mengayunkan langkah demi langkah berikutnya.
Jika satu orang Nehemia saja dengan keyakinannya dapat merestorasi Yerusalem dari keterpurukan, bisa dibayangkan betapa banyaknya buah-buah pembaruan internal dan eksternal yang akan dihasilkan jika umat Tuhan yang tersebar di berbagai tempat di seluruh Indonesia dengan serentak memiliki keyakinan yang sama, “Allah akan membuat kita berhasil!”
Pdt. Dr. Wenas Kalangit