Dalam sebuah rapat kita sering diberikan kesempatan untuk berpendapat atau di momen yang lain suka memberikan saran terhadap sahabat. Semua pendapat dan saran timbul karena kecintaan terhadap organisasi dan seperti sahabat karib yang sudah mengenal luar dalam dengan baik. Begitulah Kraemer seorang misiolog dari Belanda yang belum pernah masuk sekolah teologi datang melayani di Indonesia. Karena kecintaannya sehingga pendapat dan sarannya mempengaruhi gereja sebagai organisasi dan diapun mampu menempatkan diri sebagai sahabat sehingga dimasanya pelayanan gereja di Indonesia mengalami kemajuan pesat.
Hendrik Kraemer lahir pada 17 Mei 1888 di Amsterdam sebuah kota yang memiliki pelabuhan terpenting pada masa-masa kolonial. Kraemer sendiri aslinya orang Jerman yang merantau mencari penghidupan di Amsterdam. Sebagai kota pelabuhan pada masa itu sedang dalam masa keemasan, Amsterdam menjadi primadona bagi orang-orang dari luar Belanda untuk merantau mencari penghidupan disana. Ayahnya bekerja serabutan, apa saja dilakukan agar keluarganya hidup. Dan ternyata tidak cukup karena memang kerja ayahnya tidak tentu sehingga ibunya ikut terjun membantu ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai pencuci pakaian. Kraemer tidak banyak merasakan kehangatan dalam keluarga yang utuh seperti anak-anak lainnya. Pada usia 6 tahun bapanya duluan meninggal dan disusul ibunya 5 tahun kemudian. Masa kecilnya kemudian dihabiskan di Panti Asuhan milik Gereja Hervormd. Sebagai seorang yang sebatang kara dia pun bertemu dengan orang-orang baru yang bernasib sama dengannya. Disiplin adalah hal yang wajib Kraemer lakukan selama tinggal disana. Benar-benar berbeda dengan saat orangtuanya masih hidup. Kraemer tahu diri dan dia sekarang harus adaptasi dengan situasi baru. Di Panti Asuhan dia juga diajari membaca dan menulis sebagai pendidikan dasarnya. Perpustakaan menjadi tempat favoritnya dan tentu saja disana Kraemer mulai mengenal Alkitab. Kraemer membaca habis Alkitab dalam bahasa Latin dan Yunani dan juga mulai menghadiri ceramah pekabar Injil yang melayani di daerah yang sulit terjangkau. Hatinya mulai terbuka akan pekerjaan Tuhan dan memberi diri untuk dibaptis saat berusia 16 tahun.
Menjadi orang awam
Kraemer langsung mendaftar ke Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV), suatu badan pekabar Injil Belanda yang berada di daerah Utrech. Dia kemudian tergabung sebagai peserta pelatihan missionari dengan minat besarnya di bahasa. Selama 4 tahun dia memperkaya pengetahuannya di bidang bahasa dan tamat dari Nederlanse Zendingschool (NZS) di usia 20 tahun. Pelatihan demi pelatihan dia ikuti untuk menambah lagi jam terbangnya dan persiapan untuk masuk ke universitas. Persiapannya membuahkan hasil dan diterima untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden yang merupakan universitas tertua dan terkemuka di Belanda. Disana dia belajar bahasa-bahasa dan kesusasteraan Indonesia yang dipimpin langsung oleh Christiaan Snouck Hurgronje yang terkenal dengan strateginya menghasilkan kebijakan pemisahan antara aliran kepercayaan dengan agama di Indonesia.
Selama kuliah Kraemer juga berkenalan dengan Nicolaas Adriani, seorang ahli bahasa yang bekerja sebagai penerjemah Alkitab di daerah Poso, Sulawesi Tengah. Mereka berdua menjadi karib karena kesamaan minat di bahasa dan kecintaannya bermisi mengabarkan Injil di Indonesia. Kraemer seperti berhutang budi karena hidup dan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh Nicolaas Adriani. Sepanjang hidupnya Kraemer tidak pernah mendalami teologi dan melihat teologi sebagai “pertunangan abadi” yang tidak pernah sampai ke jenjang pernikahan. Namun dia benar-benar menikah dengan seorang perempuan berna Hyke van Gameren pada 28 Januari 1919 Demikianlah Kraemer menjadi seorang “awam” seperti yang dicita-citakannya dalam bukunya “Theologia Kaum Awam” mengenai peranan kaum awam di gereja. “Kraemer bukanlah teolog, ia juga bukan pendeta dan bahkan belum pernah masuk teologi. Ia awam. Dan betul-betul awam!” ungkap Andar Ismail dalam bukunya Tukang Ngantar Selamat. Kraemer lulus dan meraih gelar doktor dengan disertasinya meneliti tentang primbon Jawa pada abad keenam belas. Saat itu usianya 33 tahun.
Menjadi jembatan
Sebelum ke Indonesia Kraemer lebih dulu mengunjungi Kairo untuk melihat perkembangan Islam modern. Ini juga sebagai penelitian awal sebelum dia benar-benar menginjakkan kakinya di Indonesia yang penduduknya sudah banyak memeluk Islam yang sudah masuk dalam sendi politik dan sosial kehidupan mereka. Kraemer bersama istri tiba di Jakarta pada tahun 1922 dan langsung pindah ke Yogakarta yang menjadi pusat kebudayaan Jawa yang diiringi dengan kebangkitan nasionalisme. Sebagai seorang Kristen yang taat Kraemer juga bersikap inlusif dengan menjalin persahabatan dengan Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Mereka saling menghormati walau berbeda keyakinan dan bangsa. Kraemer menyadari dari awal bahwa jurang yang begitu dalam antara bangsanya dengan bangsa Indonesia, dan tidak mau masuk ikut-ikutan ke dalam jurang tersebut. Kraemer mulai berdiskusi dengan orang-orang Indonesia dan kemudian menulis tinjauan-tinjauan akan nasionalisme yang sedang bangkit. Tulisannya sedikit memberi pencerahan baik bagi orang-orang Belanda yang tinggal di Indonesia. Selama ini mereka tidak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi dan dirasakan oleh bangsa Indonesia. Tetapi lamban laun orang-orang Belanda memahami hakekat pergerakan itu sebagai ungkapan hak kemerdekaan suatu bangsa. Dari kalangan zending yang pada masa itu banyak menentukan kehidupan Kristen di Indonesia muncul beberapa tokoh yang jeli membaca tanda-tanda zaman dan kemudian berusaha mengarahkan zending dan gereja-gereja terhadap pergerakan nasional Indonesia salah satunya Kraemer.
Kraemer kemudian pindah ke Malang pada tahun 1925. Usianya saat itu sudah 37 tahun. Disana Kraemer mulai mempelajari perubahan-perubahan di dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Kraemer ikut terlibat bersama Pdt. Dr. Barend Martinus Schuurman dalam pendirian Sekolah Theologi Balewiyoto. Sekolah ini sangat memberikan perhatian pada kebudayaan Jawa. Kepiawaiannya yang selalu inklusif membuat mudah dia masuk ke dalam berbagai kalangan. Dia selalu diminta untuk mengunjungi daerah-daerah di luar Jawa untuk memberikan pandangan dan pendapat. Lembaga Alkitab Belanda pernah mengutus Kraemer ke Ambon dan setelah beberapa disana Kraemer sampai pada kesimpulan menilai dengan kritis kalau Kekristenan disana hanya sebagai kulit pembungkus adat. Kraemer juga mengunjungi Minahasa dan mendorong untuk membentuk sebuah panitia persiapan kemandrian gereja di Minahasa. Di Sangir-Talaud Kraemer mendamaikan konflik antara raja-raja setempat dengan pekabar-pekabar Injil soal pemeliharaan adat. Kraemer juga menjalin komunikasi dengan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang meminta nasehat karena sempat ada ketegangan yang terjadi antara orang Batak dengan tenaga-tenaga asing RMG. Kraemer berpendapat agar RMG mau berubah ke arah inklusif dan menghindari sikap superior yang selalu berpendapat orang-orang Batak belum matang dan belum layak memimpin Gereja. Pendapat dan saran Kraemer menjadi jembatan antara orang-orang Belanda dengan orang-orang setempat. Kraemer meluangkan waktu dan pikirannya untuk membuat strategi agar gereja-gereja di Indonesia dapat mandiri dan dewasa.
Menjadi penyemangat
Semangat nasionalisme yang berkobar di berbagai bangsa pada masa itu disadari juga oleh Kraemer yang sudah melayani di Indonesia selama 6 tahun sejak kedatangannya tahun 1922. Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai titik temu antara orang-orang muda di Indonesia yang merasakan senasib dan sepenanggungan. Kesadaran anak-anak muda ini yang kemudian berhasrat menyatukan diri untuk melebur menjadi suatu bangsa yang merdeka dari penjajahan. Sejajar dengan misinya mendorong orang-orang setempat untuk mandiri secara gerejawi, Kraemer juga mendorong mereka untuk melibatkan diri dalam perjuangan politik dengan masuk dalam Volksraad. Salah satu intelektual yang setuju oleh pemikiran Kraemer adalah Todung Sutan Gunung Mulia Harahap yang membentuk Partai Kaoem Masehi Indonesia. Lalu ada J.U. Mangowal seorang tokoh pendidikan dan gereja dari Minahasa yang menulis surat pembaca dalam Zaman Baroe mengenai pembentukan suatu organisasi Protestant Boemipoetera Indïe, yang didukung penuh Hendrik Kraemer. Gelombang nasionalisme mulai bergerak dari daerah-daerah yang mulai sadar dan juga tokoh-tokoh Kristen dari daerah-daerah tersebut seperti Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (Minahasa), Johannes Latuharhary (Ambon) atau Todung Sutan Gunung Mulia (Batak) tampil sebagai orang-orang Kristen yang masuk ke gelanggang politik pergerakan, baik yang membawa aspirasi sukunya, maupun yang mencoba menemukan suatu dasar dan wawasan yang lebih luas.
Kraemer tidak ambil bagian dalam percaturan politik praktis namun dia adalah orang pertama yang membuka mata pekabaran Injil Barat untuk apa yang betul-betul hidup di kalangan setempat dalam arti luas yakni kebangkitan nasionlaisme, kebudayaan dan agama. Kebangkitan ini dilihat sebagai reaksi terhadap pengaruh kebudayaan Barat yang semakin terasa di Asia. Kraemer juga yang mengajak gereja untuk menjawab kebangkitan nasionalisme secara positif dengan inklusif sehingga umat Kristen di Indonesia dapat mempersiapkan diri untuk ambil bagian juga dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Kraemer turut juga mendorong sesamanya orang Belanda untuk menyambut nasionalisme dengan sikap terbuka bahkan dengan kegembiraan. Ini cocok dengan keyakinannya yang kuat tentang kedaulatan Allah, kedadilan, dan kasih Allah kepada manusia dan bangsa-bangsa. “Kraemer adalah seorang Kristen yang mengadakan penelitian, berbicara, berdebat, dan bersaksi demi Tuhan di atas dataran politik, walaupun pemikirannya sering tidak disukai juga dari kalangan pemerintahan kolonial,”ungkap Latuihamallo dalam tulisannya tahun 1988 di jurnal Persetia (Perkumpulan Sekolah-sekolah Theologi di Indonesia).
Menantikan Kebangkitan!
Misinya berhasil, gereja-gereja di Indonesia mampu berdiri sendiri tanpa menjiplak Gereja Belanda. Jasanya besar dalam kemandirian Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), dan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Gereja-gereja di Jawa Timur dan Jawa Barat ikut menikmati tangan dingin dan pemikiran Kraemer dalam memperlengkapi dan mempersiapkan lahirnya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan Gereja Kristen Indonesia (GKI), dan Gereja Kristen Pasunda (GKP). Andil Kraemer agar gereja di Indonesia berpijak pada konteks sosial dan budaya setempat masih kita nikmati sampai sekarang. Pandangannya terus hidup menemani perjalanan gereja-gereja di Indonesia. Hendrik Kraemer meninggal dunia di usia 77 tahun pada 11 November 1965. Di Batu nisannya terukir: Expectat Resurrectionem! Artinya, Menantikan Kebangkitan!