Jakarta, 14 Mei 2024 - Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menggelar Forum Grup Discussion (FGD) untuk membahas Rencana Strategis Jangka Menengah 2025-2029. Dalam FGD ini, LAI membuka diri untuk menerima saran dari lembaga, gereja, mitra, serta para gembala yang dekat dengan kehidupan umat (jemaat).
Proses penyusunan Rencana Jangka Menengah (RJM) melibatkan dua sub tim yang bertugas mengidentifikasi aspirasi pemangku kepentingan LAI dan mengkaji faktor internal, eksternal, serta tren ke depan. Penggalian informasi melalui kuesioner dan FGD juga dilakukan, ditambah dengan analisis SWOT masing-masing departemen di LAI.
"Harapannya, di bulan Juli 2024 sudah ada kompilasi data, lalu di bulan Agustus dan September akan melahirkan draf RJM LAI 2025-2029," ujar Dr. Sigit Triyono, Sekretaris Umum LAI, yang hadir dalam pertemuan ini mewakili Badan Pengurus LAI.
Tiga tantangan utama yang diidentifikasi adalah aspek keberlangsungan lembaga, baik dari segi keuangan, sumber daya manusia, kompetensi, maupun adaptasi; kompetisi dari lembaga lain yang juga menerjemahkan Alkitab; serta perubahan teknologi, termasuk kehadiran Alkitab Terjemahan Baru edisi 2 (TB-2) dalam format digital.
Sebagai lembaga penerbit sekaligus lembaga gerejawi, LAI menyadari pentingnya melibatkan pemangku kepentingan, khususnya umat Kristiani, dalam perencanaan pelayanannya. Kuesioner menunjukkan bahwa LAI belum sepenuhnya menjangkau semua generasi melalui layanan digital, meskipun hal ini menjadi sebuah keniscayaan.
LAI menyadari pentingnya menjangkau generasi muda, khususnya generasi Z dan Alpha, dalam upaya menyebarluaskan Alkitab. Dalam diskusi yang digelar, forum diskusi mengidentifikasi kebutuhan generasi muda akan konten teks, gambar, video, dan animasi yang menarik.
"Mereka perlu teks, gambar, video, dan animasi. Jika memungkinkan, LAI mestinya memainkan peran dalam menyediakan konten tersebut," ujar Herald Siagian, yang hadir mewakili Yayasan UKI. Tanggung jawab untuk pembinaan dan pendampingan generasi muda sesungguhnya menurut Herald bukan hanya berada pada pundak LAI, namun peran orangtua juga dianggap krusial dalam mendampingi generasi muda.
Orang tua diharapkan dapat mengajarkan, menjadi teladan, dan mendorong anak-anak mereka untuk membaca Alkitab secara rutin. "Generasi Alpha dan Z ini harus tetap setia membaca Alkitab secara berurutan, bukan hanya memilih bagian-bagian tertentu. Targetnya, dalam setahun, satu Alkitab dapat dibaca tuntas," tambah Herald.
Upaya ini dinilai penting mengingat tantangan yang dihadapi LAI dalam menjangkau generasi muda di era digital saat ini. Dengan strategi khusus dan kolaborasi dengan berbagai pihak, LAI berharap dapat mempertahankan keberlangsungan penyebaran Alkitab di kalangan generasi penerus.
LAI selama ini dikenal sebagai pihak yang mengerjakan penerjemahan Alkitab di Indonesia. Namun, di tengah kebutuhan mendesak untuk menghadirkan Alkitab dalam berbagai bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit, muncul dorongan agar LAI membuka diri terhadap posisi tawar yang lebih fleksibel dan kolaboratif dengan berbagai lembaga penerjemahan lainnya, termasuk NGO yang mendapatkan sponsor dari luar negeri.
Forum juga menyoroti bagaimana suku-suku dengan jumlah penutur yang sedikit sering kali terabaikan dalam upaya penerjemahan Alkitab. Dengan sumber daya yang terbatas, hingga saat ini LAI telah berhasil menerjemahkan Alkitab lengkap ke dalam 37 bahasa daerah. Namun, angka ini masih jauh dari kebutuhan yang ada. Oleh karena itu, banyak pihak mengharapkan LAI untuk berperan lebih sebagai motor kolaborasi dalam inisiatif penerjemahan Alkitab di Indonesia.
Forum juga mengusulkan agar LAI mengambil peran sebagai koordinator atau fasilitator penerjemahan Alkitab. Dengan membagi daerah kerja dengan lembaga-lembaga penerjemahan lainnya, proses penerjemahan dapat dipercepat. "LAI tidak perlu harus ke utara, ke selatan, atau ke timur," ujar Pdt. Dr. Irwan Widjaja mewakili sinode GBI. "Cukup LAI sebagai fasilitator, maka ini bisa menjadi lebih cepat dibanding dengan pekerjaan saat ini."
Banyak NGO yang siap berkolaborasi dan mendukung upaya ini dengan bantuan sponsor dari luar negeri. Dengan demikian, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit bisa lebih terjangkau dan dilakukan dengan lebih efisien. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat ketersediaan Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami oleh lebih banyak masyarakat Indonesia.
Dengan mengadopsi pendekatan kolaboratif ini, LAI tidak hanya memperkuat posisi tawarnya, tetapi juga menjawab kebutuhan rohani dari suku-suku yang selama ini terpinggirkan. Harapannya, dengan sinergi yang baik antara LAI dan lembaga-lembaga penerjemahan lainnya, visi untuk menyediakan Alkitab dalam semua bahasa daerah di Indonesia dapat segera terwujud. (pp)