Apa itu Epifani?
Epifani adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani epiphaneia yang berarti “manifestasi” atau “penampakan jelas.” Dalam tradisi gereja, Epifani adalah satu hari raya pada kalender gerejawi untuk merayakan wahyu Allah sebagai manusia yaitu Yesus Kristus atau pemunculan/manifestasi Yesus Kristus terhadap dunia dalam bentuk kelahiran-Nya. Secara khusus teks yang dipakai untuk menghayati momen ini adalah kisah pencarian orang-orang Majus yang berujung pada perjumpaan mereka dengan Sang Raja.
Orang-orang Majus dan Peziarahan Berjumpa dengan Sang Raja
Dalam visualisasi modern dan populer mengenai kisah kelahiran Yesus, seringkali kedatangan para gembala disandingkan dengan kedatangan orang Majus pada satu momen yang sama. Padahal dua kisah ini berdasarkan dari dua Injil yang berbeda dan dengan maksud penceritaan yang berbeda pula. Kisah orang-orang Majus berdasarkan dari kesaksian Injil Matius. Mereka adalah orang-orang Non-Yahudi yang kemungkinan besar adalah para cendekiawan yang berasal dari daerah jauh di Persia. Pencarian mereka akan Sang Raja yang telah lahir itu dikisahkan oleh Injil Matius sebagai penemuan berdasarkan keahlian mereka membaca pertanda alam yakni sebuah bintang yang mereka ikuti. Meskipun demikian bintang itu tetap merupakan alat Tuhan untuk menunjukkan kelahiran Sang Juru selamat kepada orang-orang asing tersebut.
Meskipun tidak diceritakan dalam Matius, tetapi kita dapat membayangkan perjuangan orang-orang Majus tersebut dalam mengikuti pertanda alam dari Tuhan tersebut dengan menempuh perjalanan yang cukup jauh. Maka saat tiba di Yerusalem, mereka menduga bahwa berita kelahiran Sang Raja itu adalah berita besar disana. Namun, rupanya Raja Herodes tidak tahu menahu. Barulah setelah itu saat ia meminta konfirmasi dari para imam serta ahli Taurat, orang-orang tersebut membenarkan kabar yang dibawa orang-orang majus. Berita itu sama dengan nubuat para Nabi bahwa, “dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara para pemimpin Yehuda, karena dari engkaulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.” Segeralah Herodes merancang sesuatu yang jahat terhadap Sang Anak yang baru lahir tersebut.
Injil Matius ditulis bagi jemaat dengan latar belakang Yahudi, maka kita dapat mengartikan bahwa “keterlambatan” para imam dan ahli Taurat dalam mengetahui kabar kelahiran Sang Mesias merupakan sebuah otokritik yang hendak disampaikan kepada umat Yahudi. Warta dan nubuat para nabi telah mereka baca, kenali, dan ketahui secara turun temurun, tetapi justru orang-orang asing yang mengetahui kabar itu terlebih dahulu. Bangsa-bangsa asing itu dengan seluruh hasrat mereka untuk mencari kebenaran justru dapat melihat anugerah Allah yang ditunjukkan dalam kelahiran Sang Anak Allah. Bukankah kita juga demikian? Seringkali terlena dengan pemahaman bahwa Tuhan telah menganugerahkan keselamatan kepada kita, tetapi lupa untuk merenungkan serta melakukan kehendak-Nya setiap saat.
Singkat cerita tibalah orang-orang Majus itu di Betlehem pada sebuah rumah dan menjumpai Maria serta sujud menyembah Sang Raja yang masih anak-anak itu. Keterangan ini menyiratkan bahwa pusat penceritaan bukan lagi di sebuah kandang sebagaimana kesaksian Lukas, melainkan telah berada di sebuah rumah dengan Yesus yang sudah beranjak anak-anak (bukan bayi yang baru lahir). Persembahan dihaturkan pada Sang Raja yakni emas, dupa, dan mur sebagai bentuk penghormatan.
Mari Berkaca pada Peziarahan kita Masing-masing
Epifani adalah soal berjumpa dengan Allah yang menyatakan diri-Nya dalam Kristus. Melalui kisah orang-orang majus kita dapat berefleksi bahwa terkadang perjumpaan tersebut membutuhkan sebuah proses. Penyataan diri-Nya merupakan hak prerogatif-Nya semata, tetapi sambutan atas tindakan tersebut merupakan pilihan kita masing-masing.
Saat itu orang Majus harus mengikuti “bintang-Nya” hingga dapat menemukan Sang Anak Allah. Maka sebagaimana “bintang” adalah benda langit yang sehari-hari dapat kita lihat, maka penyataan Tuhan-pun sesungguhnya terjadi dalam hidup keseharian yang tengah kita jalani. Seringkali kita bertanya dimanakah Tuhan berada dalam dinamika kehidupan yang tengah dijalani, berharap ada jawaban di luar nalar yang kita dapati. Jangan-jangan jawabannya terletak pada sapaan sederhana rekan kerja kita yang meneguhkan, kabar dari orangtua yang penuh kasih, atau kebaikan orang asing yang kita terima di kendaraang umum yang tengah kita tumpangi.
Kiranya Allah memampukan kita dapat terus mengasah kepekaan batiniah kita. Melihat penyataan-Nya dalam hidup sehari-hari yang tengah kita jalani. Dengan demikian kita dapat menjalani kehidupan dengan hati yang membuncah dengan syukur.
Untuk direnungkan:
-
Mengapa orang-orang Majus mempersembahkan emas, dupa, dan mur kepada Yesus?
-
Bagaimanakah kita merefleksikan atau merasakan kehadiran Allah dalam hidup kita sehari-hari?