“Letakkanlah tanganmu dalam tangan Yesus, dan berjalanlah bersama-Nya. Berjalan ke depan, karena bila engkau melihat ke belakang, engkau akan kembali.” Itulah kata-kata perpisahan yang didegnar Agnes Gonxha Bojaxhiu ketika meninggalkan rumahnya di Skopye, Makedonia Utara menuju Irlandia. Saat ia berangkat pada 26 September 1928 Agnes berusia 18 tahun. Agnes meninggalkan keluarganya untuk bergabung dengan Tarekat Perawan Maria yang Terberkati (komunitas suster-suster Loreto), sebuah tarekat perempuan-perempuan religious yang mengabdikan diri terutama dalam dunia pendidikan.
Kepada Komunitas Suster Lareto Agnes mendaftarkan diri untuk terlibat dalam misi tarekat ini di Bengala, India. Kepergiannya dari rumah menuntut keberanian dan iman yang kuat, Karena Agnes sadar bahwa “menjadi misionaris berarti siap untuk tidak pernah kembali”. Sepanjang jalan kata-kata ibunya terngiang terus di telinga:”berjalanlah bersama Dia.” Agnes termenung: Apakah aku sanggup berjalan bersama Yesus? Dengan cara bagaimanakah aku berjalan bersama Yesus?
Siapa Agnes Gonxha Bojaxhiu? Mungkin tidak banyak orang yang kenal. Tetapi kalau kita menyebut nama Ibu Teresa, hampir semua orang akan mengenalnya. Sebagian besar mengenalnya sebagai orang suci dari Kalkuta, tempat di mana ia mengabdikan diri selama puluhan tahun. Ke negara manapun Ibu Teresa pergi, ia akan diterima oleh para kepala negara sebagai duta perdamaian. Ibu Teresa juga menerima hadiah Nobel untuk perdamaian. Ia juga dianugerahi hadiah oleh Paus Yohanes XXIII. Ia pernah diundang untuk berbicara di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa. Setelah kematiannya pada 5 September 1997, Paus Yohanes Paulus II menganugerahinya gelar Beata (blessed dalam bahasa Inggris). Dan kemudian hampir dua dekade kemudian pada 4 September 2016, Gereja Katolik menganugerahinya gelar Santa (orang suci).
Kuncup Kecil dari Skopye
Agnes Gonxha Bojaxhiu (Gonxha berarti "kuncup mawar" atau "bunga kecil" di Albania) lahir pada tanggal 26 Agustus 1910, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Skopye, sebuah kota yang menyimpang dari segi etnis, bahasa, agama, dan geologi dengan wilayah sekitarnya. Meskipun lahir pada tanggal 26 Agustus, dia menganggap 27 Agustus (hari ketika dia dibaptis) menjadi "ulang tahun"-nya. Dia adalah anak bungsu dari pasangan Nikollë dan Drana Bojaxhiu. Ayahnya, Nikollë Bojaxhiu (namanya berarti "pelukis") berasal dari Prizren Kosovo, sementara ibunya diduga berasal dari sebuah desa dekat Dakovica Kosovo. Ayahnya yang terlibat dalam politik Albania meninggal pada tahun 1919 ketika ia berusia delapan tahun. Setelah kematian ayahnya, ibunya membesarkannya sebagai seorang Katolik.
Agnes remaja ikut serta dalam kegiatan menggereja, bergabung dalam kegiatan kelompok remaja sodality yang didampingi oleh pastor Jesuit, yang menumbuhkan awal kertarikan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan misionaris. Pastor parokinya juga menyediakan majalah misi The Catholic Mission yang menarik perhatian Agnes dan menguatkan ketertarikan Agnes pada panggilan misi.
”Sejak masa remaja saya sudah tertarik menolong orang yang miskin. Saya mendapat teladan dari pastor kami. Kami mempunyai pastor yang sangat baik. Ia sangat memperhatikan kebutuhan orang miskin. Karena itu, sejak masa remaja saya sudah bertekad untuk menjadi biarawati yang mengabdikan hidup saya kepada orang miskin,”ujar Ibu Teresa.”Bahkan, sejak remaja saya sudah bertetap hati untuk menjadi misionaris di India. Ketika itu kami di gereja sering menerima surat dari para imam Yesuit yang bekerja di Kalkuta dan sering mendengar cerita tentang karya pelayanan para suster Loreto dari Irlandia yang juga bekerja di Kalkuta. Karena itu kemudian saya masuk biara Loreto di Dublin, Irlandia,”ucap Ibu Teresa. Dari Dublin Ibu Teresa memang benar diutus ke India. Kemudian setelah dua tahun menjalani masa novisiat, Agnes mengikrarkan kaul-kaulnya yang pertama dan jadilah ia seorang biarawati dengan nama: Maria Teresa. Lalu, selama hampir dua puluh tahun ia mengajar sejarah dan ilmu bumi di SMA St. Maria di Kalkuta. Selama beberapa tahun ia bahkan menjadi kepala sekolah.
Selama menjadi guru, perhatian Ibu Teresa tidak bisa terlepas dari keadaan kota Kalkuta yang penuh dengan orang-orang sakit dan miskin. Karena itu, setiap hari Kamis dan Sabtu Ibu Teresa memimpin persekutuan Bunda Maria yang terdiri dari gadis-gadis yang berusia belasan tahun. Secara bergiliran mereka pergi ke rumah sakit dan menemui orang-orang jompo di daerah kumuh. Di sana mereka membacakan buku atau menulis surat untuk orang-orang itu dan menolong mereka dengan bantuan seperlunya.
Namun, hati Ibu Teresa belum tenang. Ia ingin berbuat lebih banyak lagi. Masih terasa segar ucapan ibunya dulu ketika berpamitan:”berjalanlah bersama Dia.” Ibu Teresa ingin berjalan bersama Yesus. Ia berpkir seandainya Yesus berada di Kalkuta, pastilah ia akan berjalan di lorong-lorong pemukiman orang miskin. Oleh sebab itu, Ibu Teresa merasa bahwa panggilannya adalah untuk hidup dengan dan untuk orang-orang termiskin dan orang-orang miskin. Demikianlah, dengan izin dari Uskup Agung Kalkuta dan Paus Pius XII, pada tahun 1948 Ibu Teresa meninggalkan Biara Loreto untuk kemudian memulai kongregasi baru bernama Misionaris Cinta Kasih di daerah kumuh Kalkukta. Di tempat itu Ibu Teresa dengan sejumlah suster setiap pagi pukul 04.30 mengawali hari dengan meditasi lalu mencuci pakaian, kemudian sarapan, dan sesudah itu masing-masing berangkat ke lorong-lorong kota Kalkuta. Di sana mereka menjadi berkat dengan rupa-rupa cara, seperti mengajar abjad kepada anak-anak gelandangan atau membersihkan luka-luka orang yang sakit dan bergelimpangan di antara tumpukan sampah di tepi jalan.
Motivasi Ibu Teresa sangat jelas. “Jika kita membersihkan luka-luka seseorang yang melar, maka yang kita bersihkan adalah luka-luka Tuhan Yesus sendiri.” Ketika ditanya apa bedanya pelayanan Ibu Teresa dengan pelayanan lembaga-lembaga sosial lain, Ibu Teresa langsung menegaskan,””Beda sekali, lembaga sosial biasa melakukannya untuk sesuatu, kami melakukannya untuk seseorang, yaitu Yesus Kristus. Lembaga-lembaga sosial lain membagi pakaian dan makanan, padahal yang kami bagi-bagikan adalah kasih Kristus.”
Mengacu kepada ucapan Tuhan Yesus,”Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat.10:8) para suster kongregasi ini berkaul bahwa mereka tidak mau dibayar dengan apa pun. Oleh sebab itu, mereka hanya melayani orang-orang melarat yang memang betul-betul tidak bisa membayar apa pun juga. “Yang kami bawa adalah Kristus dan cinta-Nya. Biarlah Kristus menjalani hidup-Nya dalam diri kita, lalu kita membawa Kristus kepada orang-orang miskin.Yang dibutuhkan adalah kegembiraan bahwa mereka dihargai dan dicintai.”
Begitulah Ibu Teresa menemukan kebahagiaan sehari-hari.”Hidup kami seperti terjalin dengan Yesus, yaitu Yesus yang hadir dalam rupa roti sakramen Ekaristi yang kami cicipi tiap pagi dan Yesus yang hadir dalam rupa orang menderita yang kami jumpai siang harinya.” Tiap pagi Ibu Teresa berdoa,”Tuhan walaupun Engkau menyembunyikan diri di balik rupa orang-orang yang tidak menarik, orang yang sakit, orang yang kurang waras, atau orang yang melarat. Tolonglah aku supaya dapat mengenali Engkau lalu dengan gembira menyapa:”Yesus, sungguh menyenangkan bahwa aku boleh melayani Engkau.”
Itulah hidup yang tiap hari dijalani Ibu Teresa. Tiap pagi setelah ekaristi, ia menelusuri lorong-lorong sempit dan bau sampah di Kalkuta, lalu dengan gembira menjumpai orang-orang miskin. Ibu Teresa merasa inilah cara baginya untuk berjalan bersama Yesus. Pada 5 September 1997, Ibu Teresa meninggal dunia pada usia 87 tahun.
Pada saat penganugerahan gelarnya sebagai Santa, Paus Fransiskus menyampaikan demikian,” “Bunda Teresa, dalam semua aspek hidupnya, adalah penyalur belas kasih ilahi yang murah hati, yang membuat dirinya hadir bagi semua orang melalui pengabdiannya terhadap kehidupan manusia, mereka yang belum lahir dan mereka yang ditelantarkan dan dibuang… Ia bersujud di hadapan mereka yang telah kelelahan, yang ditinggalkan untuk mati di pinggir jalan, dan melihat dalam diri mereka martabat yang diberikan Tuhan…,” kata Paus Fransiskus dalam homilinya hari itu, seperti mengutip dari artikel di www.liputan6.com. Setiap hari Ibu Teresa melayani setiap orang bagaikan melayani Tuhan secara langsung. Ia memeluk dan membersihkan luka orang yang sakit seperti ia memeluk dan membersihkan luka Kristus. Setiap hari Teresa sungguh-sungguh berjalan bersama Yesus. Hingga Tuhan menjemputnya kembali.
Kepustakaan
Ibu Teresa, Pergulatan Batin Orang Suci dari Kalkuta. Gramedia.
Dan Agnes Berjalan Bersama Yesus. Andar Ismail. BPK Gunung Mulia.