Dalam tradisi Yahudi, dosa sering kali digambarkan dengan metafora “hutang.” Pemakaian metafora ini pada masa Yesus cukup jelas dipahami oleh masyarakat saat itu. Namun, bagi sebagian umat di masa kini, konsep dosa sebagai “hutang” mungkin tidak selalu mudah dipahami, terutama bagi mereka yang tidak familiar dengan latar belakang ajaran Kristen sejak kecil. Oleh karena itu, dalam Terjemahan Baru kata “hutang” diterjemahkan dengan istilah “kesalahan”. Pendekatan ini bertujuan untuk mempermudah pembaca memahami pesan teks.
Secara umum, ada dua pendekatan utama dalam penerjemahan. Pertama, pendekatan harfiah atau literal. Pendekatan ini berupaya mereproduksi bentuk dan struktur teks sumber seakurat mungkin, termasuk tata bahasa dan bunyi. Terjemahan Baru 1974 dapat dikategorikan sebagai terjemahan formal yang sering kali mempertahankan bentuk harfiah teks sumber. Namun, pendekatan ini terkadang sulit dipahami oleh pembaca masa kini. Kedua, pendekatan dinamis fungsional. Pendekatan ini lebih mengutamakan ketersampaian makna dibandingkan bentuk teks sumber. Dalam pendekatan ini, unsur kekhasan bahasa sumber tidak terlalu dipersoalkan demi kemudahan pemahaman pembaca. Alkitab yang menggunakan pendekatan ini adalah Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang bertujuan membantu pembaca memahami pesan dengan lebih mudah. Namun, perlu dicatat bahwa tidak ada terjemahan yang sepenuhnya harfiah atau sepenuhnya dinamis. Proses penerjemahan selalu melibatkan negosiasi antara bentuk dan makna. Misalnya, dalam Doa Bapa Kami, istilah Yunani ὀφειλήματα (opheílēmata), yang berarti “hutang,” diterjemahkan menjadi “kesalahan” dalam Terjemahan Baru, untuk menyampaikan maknanya dengan lebih relevan.
Dewasa ini, terjemahan dinamis seringkali dianggap kurang menghargai kekhasan teks sumber karena cenderung memisahkan bentuk dari maknanya. Padahal, keduanya saling berkaitan. Dalam budaya Yahudi abad pertama, dosa atau kesalahan dipahami melalui konsep “hutang.” Jika metafora “hutang” dihilangkan dari teks, maka hal ini dapat mengurangi penghargaan terhadap cara berpikir orang Yahudi dan kekayaan budaya mereka.
Pada masa kini pemahaman tentang metafora telah berkembang. Dahulu metafora dipandang sekadar sebagai perbandingan. Namun kini metafora dipahami sebagai bagian dari mekanisme berpikir manusia. Misalnya, ketika seseorang mengatakan “harga naik,” ini bukan hanya ungkapan, tetapi juga cara memahami realitas. Hal ini selaras dengan cara berpikir orang Yahudi yang berbahasa aramaik pada abad pertama, mereka memahami dosa atau kesalahan itu in terms of ‘hutang’. Hutang menjadi alat bagi mereka memahami dosa, jadi kalau kita menghilangkan terminologi ‘hutang’ di teks-teks lainnya, maka akan mereduksi atau tidak menghargai kekhasan berpikir mereka.
Marshall McLuhan, seorang teoretikus terkenal, mengatakan bahwa “the medium is the message.” Media atau perantara sama pentingnya dengan isi pesan yang disampaikan. Hal ini relevan dalam dunia penerjemahan. Penerjemah perlu menghargai teks sumber dan budaya asalnya, sambil memastikan teks tetap mudah dipahami oleh pembaca masa kini. Oleh karena itu, penggantian kata “hutang” menjadi “kesalahan” dalam Doa Bapa Kami adalah hasil dari negosiasi yang mempertimbangkan bentuk, makna, dan konteks pembaca.
Penerjemahan teks Alkitab melibatkan proses yang kompleks. Antara mempertahankan bentuk asli teks sumber dan menyampaikan makna yang mudah dipahami, penerjemah harus membuat keputusan yang bijaksana. Dalam kasus Doa Bapa Kami, metafora “hutang” memiliki nilai budaya dan teologis yang penting. Namun, penerjemahan yang mengutamakan ketersampaian makna juga tidak kalah penting, terutama untuk menjangkau pembaca masa kini. Dengan demikian, keseimbangan antara bentuk dan makna menjadi kunci dalam menghadirkan terjemahan yang akurat dan relevan.
Dalam konteks budaya dan pemikiran masa kini, sejauh mana pentingnya mempertahankan kekhasan budaya teks sumber?
Saksikan selengkapnya di Video Ini!