Terjadinya bencana alam seringkali menimbulkan pertanyaan teologis di kalangan orang beriman. Apakah bencana seperti gunung meletus, tsunami, atau kebakaran hebat hanya fenomena alam yang bisa dijelaskan secara ilmiah, ataukah ada pesan ilahi di baliknya? Dalam sejarah, setiap bencana besar sering kali mendorong refleksi keagamaan yang mendalam. Sebagian orang melihatnya sebagai peringatan atau bahkan hukuman dari Tuhan, sementara yang lain mencari jawaban melalui pemahaman ilmiah dan mitigasi bencana.
Alkitab mencatat beberapa peristiwa di mana orang bertanya-tanya apakah sebuah bencana adalah kejadian alam biasa atau hukuman Tuhan. Salah satu contohnya adalah bencana penyakit yang menimpa negeri Filistin setelah mereka mengambil Tabut Perjanjian. Dalam 1 Samuel 6:9 dikatakan, “jika tabut itu mengambil jalan ke Bet -Semes, daerahnya sendiri, Dialah yang telah menyebabkan malapetaka besar ini pada kita. Jika tidak, kita akan mengetahui, bahwa bukan tangan-Nya yang telah memukul kita; kebetulan saja hal itu terjadi pada kita.” Kisah ini menunjukkan bahwa umat manusia, bahkan dalam Alkitab, sering kali mencoba membedakan antara peristiwa alamiah dan intervensi ilahi. Dalam hal ini, mereka menggunakan sebuah ‘ujian’ untuk menentukan apakah penyakit yang melanda mereka benar-benar hukuman dari Tuhan.
Secara umum, bencana adalah sebuah goncangan dalam kehidupan manusia yang mengganggu kestabilan dan kenyamanan mereka. Situasi ini menciptakan kondisi di mana orang mulai bertanya-tanya tentang makna hidup dan peran Tuhan dalam realitas mereka. Respons manusia terhadap bencana dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, memandang bencana sebagai fenomena alam yang harus dijelaskan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Fokus utamanya adalah mitigasi dan pembangunan infrastruktur untuk mengurangi dampak bencana di masa depan. Kedua, melihat bencana sebagai tanda atau peringatan dari Tuhan. Respons demikian mendorong refleksi teologis, pertobatan, dan perubahan moral dalam masyarakat. Contoh historis dari Alkitab yang menunjukkan bagaimana guncangan hebat membawa umat kepada Tuhan adalah peristiwa Pembuangan ke Babel. Meskipun ada banyak contoh bencana dalam Alkitab seperti air bah pada zaman Nuh, tetapi catatan tentang pembuangan memberikan wawasan yang lebih dalam mengenai dampak teologisnya.
Peristiwa Pembuangan bangsa Israel ke Babel menjadi titik balik dalam sejarah mereka. Berdasarkan refleksi para nabi, penyebab utama pembuangan adalah dosa besar umat Israel, terutama dalam bentuk sinkretisme dan penyembahan berhala.Beberapa ayat yang mendukung pandangan ini, diantaranya:
-
Hakim-Hakim 2:12: “Mereka meninggalkan Tuhan, Allah nenek moyang mereka, yang membawa mereka keluar dari tanah Mesir, dan mengikuti dewa-dewa lain, dari antara dewa-dewa bangsa-bangsa di sekeliling mereka, dan mereka sujud menyembah kepadanya, sehingga mereka menyakiti hati Tuhan.”
Periode Kitab Hakim-Hakim diperkirakan berlangsung antara sekitar 1375–1050 SM, setelah kematian Yosua dan sebelum berdirinya Kerajaan Israel yang dimulai dengan Raja Saul.
-
2 Raja-Raja 17:10: “Mereka mendirikan tiang-tiang berhala dan tiang-tiang Asyera pada setiap bukit yang tinggi dan di bawah setiap pohon yang rimbun.” Hosea raja terakhir kerajaan Israel utara (732-722 SM).
Pemerintahannya berakhir ketika Kerajaan Israel Utara ditaklukkan oleh Kekaisaran Asyur di bawah Raja Sargon II, yang mengakibatkan pembuangan besar-besaran bangsa Israel (dikenal sebagai "Sepuluh Suku yang Hilang"). Peristiwa ini menjadi akhir dari eksistensi Kerajaan Israel Utara.
-
2 Raja-Raja 21:3: “Manasye mendirikan kembali bukit-bukit pengorbanan yang telah dimusnahkan oleh Hizkia, ayahnya, ia mendirikan mezbah-mezbah untuk Baal, membuat patung Asyera seperti yang dilakukan Ahab, raja Israel, dan sujud menyembah kepada segenap tentara langit dan beribadah kepadanya.”
Raja Manasye, salah satu raja Yehuda, memerintah selama 55 tahun—periode terpanjang di antara semua raja Israel dan Yehuda. Ia memerintah dari sekitar 697–642 SM. Dia banyak melakukan penyembahan berhala, walau dia bertobat diakhir hidupnya.
-
Yeremia 19:5: “Mereka mendirikan bukit-bukit pengorbanan untuk menyembah Baal, dan membakar anak-anaknya sebagai korban dalam api, yang tidak Kuperintahkan atau Kukatakan, dan yang tidak terpikir oleh-Ku.”
Pada zaman Nabi Yeremia, beberapa raja Yehuda memerintah. Nabi Yeremia melayani selama periode yang panjang, dari sekitar 627–586 SM, sehingga ia hidup pada masa beberapa raja Yehuda: Yosia, Yoahas, Yoyakim, Yoyakin, Zedekia.
Jadi selama 789 tahun orang Israel melakukan dosa sinkretisme, sebelum akhirnya goncangan besar pembuangan menyadarkan mereka.
Refleksi pasca-pembuangan menunjukkan perubahan mendalam dalam iman Israel. Sebelum pembuangan, mereka sering jatuh dalam dosa penyembahan berhala. Namun setelah mengalami penderitaan akibat pembuangan, mereka menjadi bangsa yang lebih teguh dalam monoteisme. Di zaman Perjanjian Baru, bangsa Yahudi bahkan dikenal sangat ketat dalam memisahkan diri dari praktik keagamaan bangsa lain, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Kisah Para Rasul 10:28.
Sebuah bencana, terutama yang besar dan tidak biasa, sering kali berfungsi sebagai guncangan yang membangkitkan kesadaran manusia. Dari sudut pandang teologis, bencana dapat menjadi panggilan untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan.
Lalu, bagaimana cara membedakan bahwa suatu peristiwa adalah benar-benar bencana biasa atau hukuman Tuhan?
Yuk, saksikan perbincangannya!