Politik dinasti bukanlah konsep baru. Dalam sejarah pemerintahan kerajaan, politik dinasti merupakan sistem yang lazim diterapkan, termasuk dalam kisah-kisah Alkitab. Politik dinasti merupakan sistem pemerintahan yang didasarkan pada suksesi kekuasaan melalui garis keturunan. Dalam Alkitab, sistem ini mulai terlihat dalam peralihan kepemimpinan dari Raja Daud ke Salomo. Namun, jauh sebelum itu, ada kecenderungan untuk menerapkan politik dinasti, seperti yang dilakukan oleh Samuel ketika mengangkat anak-anaknya, yaitu Yoel dan Abia sebagai hakim di Bersyeba (1 Samuel 8:1-3). Sayangnya, anak-anak Samuel tidak mengikuti jejak ayah mereka dan justru menyalahgunakan kekuasaan mereka dengan menerima suap dan memutarbalikkan keadilan.
Permintaan bangsa Israel untuk memiliki seorang raja yang memimpin mereka (1 Samuel 8:4-22) merupakan awal dari sistem pemerintahan monarki di Israel. Permintaan ini muncul dari kekecewaan terhadap cara kepemimpinan Yoel dan Abia yang jauh dari kata baik, serta keinginan untuk memiliki kepemimpinan yang lebih terstruktur, seperti bangsa-bangsa lain di sekitar mereka. Samuel, sebagai nabi, memperingatkan bahwa monarki dapat membawa konsekuensi berat, termasuk eksploitasi rakyat oleh raja yang berkuasa. Namun, umat tetap menginginkan seorang raja, dan Tuhan akhirnya memberikan Saul sebagai raja pertama bagi Israel.
Berbeda dengan sistem monarki absolut di bangsa-bangsa lain, politik dinasti dalam Alkitab tetap mengandung unsur teokrasi, yaitu kepemimpinan yang tunduk pada hukum dan ketetapan Allah. Beberapa prinsip yang dapat ditemukan dalam politik dinasti menurut Alkitab diantaranya,
- Kedaulatan Allah dalam penentuan raja. Dalam kasus Daud, pemilihan dirinya sebagai raja bukan didasarkan pada keturunan Saul, tetapi atas pilihan Allah (1 Samuel 16:1-13). Hal ini menunjukkan bahwa suksesi kepemimpinan bukan hanya berdasarkan garis keturunan, tetapi juga kehendak Tuhan.
- Kepemimpinan yang takut akan Tuhan. Seorang raja di Israel diharapkan menjalankan pemerintahan dengan takut akan Tuhan dan berpegang pada hukum-hukum-Nya (Ulangan 17:14-20). Jika raja menyimpang, ia dapat kehilangan tahtanya, seperti yang terjadi pada Saul.>
- Tanggung jawab terhadap rakyat. Raja bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya, tidak bertindak sewenang-wenang, dan tidak mengeksploitasi sumber daya hanya demi kepentingan pribadi. Sayangnya, hal ini sering kali diabaikan, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Salomo yang membebankan pajak tinggi kepada rakyat untuk membiayai proyek-proyek besar (1 Raja-raja 12:4).
Politik dinasti dalam Alkitab menunjukkan kompleksitas kepemimpinan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga teologis. Kepemimpinan dalam Alkitab bukan sekadar warisan turun-temurun, melainkan juga harus tunduk pada kehendak Allah dan bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Dinasti Daud, meskipun merupakan puncak kejayaan politik Israel, tetap menunjukkan kelemahan dalam penerapan prinsip-prinsip keadilan dan keimanan. Dalam konteks masa kini, prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Alkitab dapat menjadi refleksi kritis terhadap sistem politik yang dijalankan, terutama dalam hal akuntabilitas, kesejahteraan rakyat, dan ketundukan kepada nilai-nilai moral yang lebih tinggi.
Dengan demikian, membaca Alkitab dari perspektif politik bukanlah sesuatu yang berlebihan, melainkan merupakan pendekatan yang memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana Allah memimpin umat-Nya melalui berbagai sistem pemerintahan yang pernah ada. Politik dinasti dalam Alkitab memberikan pelajaran berharga bahwa kekuasaan yang tidak dijalankan dengan takut akan Tuhan dan berpihak kepada rakyat tidak akan bertahan lama, sebagaimana dinasti-dinasti dalam sejarah yang pada akhirnya runtuh karena gagal menjaga visi dasarnya.
Imperium datang dan pergi, sistem dapat dibongkar karena tidak teruji oleh zaman, oleh kebutuhan-kebutuhan yang nyata dalam kehidupan manusia. Imperium mana yang akan bertahan jika tidak mempertahankan visinya, yaitu tentang kepentingan rakyatnya?