Puasa bukanlah praktik yang asing bagi manusia modern. Dalam berbagai agama dan tradisi, puasa telah dilakukan selama ribuan tahun. Saat ini, puasa tidak hanya dianggap sebagai bentuk ibadah, tetapi juga sering dikaitkan dengan manfaat kesehatan, seperti detoksifikasi tubuh dan peningkatan disiplin diri.
Dalam Alkitab, puasa dilakukan dengan berbagai tujuan. Pertama, mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa sering kali menjadi bentuk ibadah dan pencarian kehendak Tuhan, seperti yang dilakukan oleh Ezra (Ezra 8:21). Kedua, bentuk pertobatan dan perendahan diri. Umat Israel menggunakan puasa sebagai tanda pertobatan dan kesedihan atas dosa, sebagaimana dicontohkan oleh penduduk Niniwe (Yunus 3:5) dan bangsa Israel (1 Samuel 7:6). Ketiga, memohon pertolongan Tuhan. Dalam situasi sulit, umat Allah berpuasa untuk mencari perlindungan dan petunjuk dari Tuhan, seperti yang dilakukan oleh Yosafat (2 Tawarikh 20:3) dan Ester (Ester 4:16). Keempat, meningkatkan kekuatan rohani. Yesus sendiri berpuasa selama 40 hari sebelum memulai pelayanan-Nya sebagai bentuk persiapan rohani (Matius 4:2).
Puasa dalam berbagai agama hampir selalu berkaitan dengan penghentian makan dan minum. Hal ini dapat dipahami dari sudut pandang teologis sebagai bentuk pengendalian diri terhadap keinginan tubuh. Dalam pemahaman spiritual, Tuhan adalah Roh, dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, manusia perlu mengurangi keterikatan dengan dunia fisik. Dengan menghentikan kebutuhan dasar seperti makan dan minum, seseorang belajar untuk lebih bergantung kepada Tuhan daripada pada kekuatan duniawi.
Di zaman Alkitab, makan dan minum merupakan kesenangan utama manusia, bahkan bagi banyak orang, mungkin merupakan satu-satunya sumber kebahagiaan. Hal ini tercermin dalam bagaimana Tuhan menjanjikan negeri Kanaan kepada bangsa Israel sebagai “suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya” (Keluaran 3:8). Sebaliknya, ketika mereka kekurangan makanan, mereka sangat stres dan bahkan merindukan kembali kehidupan mereka di Mesir meskipun dalam perbudakan (Keluaran 16:3). Selain makanan, puasa dalam Alkitab juga sering kali diiringi dengan penghentian aktivitas lain yang berhubungan dengan kesenangan tubuh, seperti hubungan suami istri (Yoel 2:15-16).
Puasa Yesus di padang gurun selama 40 hari 40 malam memberikan wawasan mendalam tentang makna sejati dari puasa. Dalam puasa tersebut, Yesus menghadapi tiga pencobaan besar yang merepresentasikan keinginan dasar manusia. Pertama, pencobaan terkait makan, di mana Iblis mencobai Yesus untuk mengubah batu menjadi roti (Matius 4:3). Kedua, pencobaan terkait keakuan, di mana Iblis meminta Yesus untuk membuktikan keilahian-Nya dengan melompat dari tempat tinggi (Matius 4:6). Ketiga, pencobaan terkait kekayaan dan kekuasaan, di mana Iblis menawarkan seluruh kerajaan dunia jika Yesus mau menyembahnya (Matius 4:8-9). Yesus menolak semua pencobaan ini, menunjukkan bahwa hidup-Nya adalah “hidup puasa”—bukan hanya dalam pengertian fisik, tetapi juga dalam mengendalikan keinginan duniawi.
Dalam dunia modern, makanan bukan lagi satu-satunya bentuk kesenangan yang dapat menggoda manusia. Kini, manusia lebih terikat pada teknologi, hiburan, kekayaan, dan kenyamanan. Jika di zaman Alkitab puasa berarti menghentikan makan dan minum sebagai bentuk pengendalian diri, di zaman modern, puasa dapat juga berarti melepaskan diri dari ketergantungan lain yang mengalihkan perhatian kita dari Tuhan. Sebagai contoh, beberapa orang mungkin memilih untuk “berpuasa” dari media sosial atau hiburan selama periode tertentu untuk lebih fokus kepada Tuhan. Namun, esensi puasa tetap sama: merendahkan diri, mengendalikan keinginan duniawi, dan memperkuat hubungan dengan Tuhan.
Puasa bukan sekadar tradisi kuno, tetapi memiliki makna spiritual yang mendalam yang tetap relevan hingga saat ini. Meskipun bentuknya dapat disesuaikan dengan tantangan zaman, prinsip utamanya tetap sama: mengendalikan diri, memperkuat roh, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan demikian, puasa tidak hanya menjadi praktik ibadah, tetapi juga menjadi sarana transformasi rohani bagi setiap orang percaya di setiap generasi.
Jadi, kalau kita mau melakukan puasa pada hari ini, puasa yang bagaimana yang akan kita lakukan? Sekedar berhenti sejenak dari penurut daging, atau melakukan hidup puasa seperti Yesus yang memutuskan untuk selamanya tidak menjadi penurut daging, tetapi roh?