ISRAEL ALKITAB & ISRAEL MODERN: KONTINUITAS ATAU DISKONTINUITAS?

Berita | 26 Mei 2025

ISRAEL ALKITAB & ISRAEL MODERN: KONTINUITAS ATAU DISKONTINUITAS?


Pertanyaan mengenai hubungan antara Israel dalam Alkitab dan negara Israel modern adalah isu yang kompleks, yang membutuhkan telaah historis, teologis, dan arkeologis yang menyeluruh. Sejarah dan identitas bangsa Israel tidak semata-mata dapat dipahami secara linear dari teks Alkitab, tetapi juga perlu dikaji dari bukti-bukti arkeologis dan sejarah sosial yang berkembang.

 

Asal Usul Israel: Antara Narasi Alkitab dan Data Arkeologis

Narasi Alkitab menyebut bahwa bangsa Israel berasal dari Abraham, seorang figur penting yang dipanggil Tuhan keluar dari Ur-Kasdim (Irak modern) menuju tanah Kanaan. Dari keturunan Abraham, lahirlah Ishak, Yakub, dan dua belas suku Israel. Nama “Israel” sendiri berasal dari kisah Yakub yang bergumul dengan Allah (Kejadian 32). Arti nama יִשְׂרָאֵל (Yisra’el) dapat diartikan sebagai “dia yang bergumul dengan Allah”, berasal dari akar kata שָׂרָה (sarah, 'bergumul') dan אֵל (El, 'Allah').

 

Namun demikian, bukti-bukti arkeologis memunculkan beragam teori mengenai asal usul bangsa Israel. Sebagian arkeolog berpendapat bahwa bangsa Israel berasal dari luar Kanaan (seperti yang digambarkan dalam kisah Eksodus dari Mesir), sementara yang lain menduga bahwa mereka adalah suku-suku lokal Kanaan yang kemudian membentuk identitas baru melalui penyatuan iman kepada Yahweh. Dengan kata lain, kisah eksodus bisa jadi merupakan narasi teologis yang ditulis kemudian untuk menjelaskan identitas kolektif yang sedang dibangun.

 

Perjanjian dan Identitas Bangsa

Dalam narasi Alkitab, bangsa Israel dibentuk bukan hanya melalui keturunan, tetapi terutama melalui perjanjian dengan Allah. Perjanjian dengan Abraham bersifat unilateral, berisi janji bahwa keturunannya akan menjadi גּוֹי (Goi)—bangsa yang besar secara politis dan administratif. Sedangkan perjanjian di Gunung Sinai pada zaman Musa bersifat bilateral, Israel menjadi umat Allah jika mereka menaati hukum-hukum-Nya.

 

Namun dalam sejarahnya, bangsa Israel berulang kali gagal menepati perjanjian tersebut. Ketidaksetiaan ini mengakibatkan mereka kehilangan tanah yang dijanjikan, dibuang ke negeri asing (Asyur dan Babel), serta kehilangan identitas politis dan religiusnya. Hancurnya Bait Suci dan pembuangan ke Babel menjadi titik balik yang menggugah kesadaran teologis akan perlunya bentuk baru dari relasi dengan Tuhan.

 

Janji Baru dan Harapan Mesianik

Pengalaman pembuangan melahirkan kerinduan akan pembaruan. Nabi Yeremia menyuarakan janji akan Perjanjian Baru (Yeremia 31:31–34), yang kali ini tidak lagi didasarkan pada hukum eksternal, tetapi pada internalisasi hukum Allah dalam hati umat. Perjanjian Baru ini bersifat abadi karena didasarkan pada pengampunan, bukan ketaatan hukum semata.

 

Setelah kembali dari pembuangan, bangsa Yehuda (sisa dari Israel) membangun kembali Bait Suci, namun tetap berada di bawah kekuasaan asing, termasuk Persia, Yunani, dan kemudian Romawi. Meskipun sempat memperoleh kemerdekaan pada masa Dinasti Makabe (abad ke-2 SM), kemerdekaan ini tidak bertahan lama. Konflik internal dan intervensi Romawi membuat mereka kembali berada di bawah penjajahan.

 

Narasi Sejarah Politik Israel–Palestina dari Masa Bizantium hingga Negara Israel Modern

Dalam perjalanan waktu, pada tahun 324 hingga 638 M, Kekaisaran Bizantium menguasai Yerusalem hingga akhirnya kota suci ini jatuh ke tangan Islam pada tahun 638 M, hanya enam tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad. Di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, umat Islam berhasil merebut Yerusalem dari Bizantium. Setelah penaklukan ini, Islam menegaskan kehadirannya dengan membangun Dome of the Rock, Masjid Al-Aqsa di kawasan Temple Mount, serta kompleks Istana Umayyah yang megah di sekitarnya. Sejak saat itu, Yerusalem menjadi kota suci bagi umat Islam, dan orang-orang Yahudi diperbolehkan tinggal di wilayah utara Temple Mount.

 

Namun, pada tahun 1099, Perang Salib pertama berhasil merebut Yerusalem, menandai dimulainya periode dominasi Kristen di Palestina. Terdapat tujuh gelombang Perang Salib yang berlangsung dari tahun 1096 hingga 1270. Meski sempat menguasai wilayah tersebut, kekuatan Salib akhirnya terusir dan Yerusalem kembali dikuasai oleh Islam. Pada tahun 1244, pasukan Arab mengambil alih Palestina dan menguasainya selama sekitar 250 tahun, dengan bangsa Arab menjadi mayoritas di samping komunitas Yahudi yang tetap ada.

 

Memasuki abad ke-16, tepatnya tahun 1500, Kekaisaran Turki Utsmani (Ottoman) menaklukkan wilayah Arab dan mengambil alih kekuasaan atas Palestina, menjadikan wilayah ini bagian dari kekuasaan Ottoman selama lebih dari empat abad. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, bangsa Arab dan Yahudi mengalami pengalaman bersama sebagai pihak yang dijajah oleh kekuatan asing. Situasi ini berubah pada tahun 1917, ketika Inggris mengalahkan Ottoman dan mulai menguasai Palestina. 

 

Janji Politik Inggris: Yahudi dan Arab

Dalam usaha memenangkan dukungan lokal selama Perang Dunia I, Inggris memberikan janji-janji politik kepada kedua belah pihak—Yahudi dan Arab—yang kelak menimbulkan ketegangan besar.  Pada tahun 1915, terjadi korespondensi antara Henry MacMahon (wakil Inggris) dan Hussein bin Ali, penguasa Hejaz. Hussein berharap akan memperoleh wilayah Arab besar termasuk Palestina. Namun, MacMahon menolak secara implisit, menyatakan bahwa Palestina tidak murni Arab dan karena itu tidak termasuk dalam wilayah yang dijanjikan.

 

Di sisi lain, Inggris juga melakukan pendekatan terhadap komunitas Yahudi. Setelah Chaim Weizmann, ilmuwan Yahudi, membantu Inggris dalam perang lewat penemuan bahan peledak bebas asap, ia meminta balas jasa berupa tanah air bagi bangsa Yahudi. Permintaan ini melatarbelakangi lahirnya Deklarasi Balfour (2 November 1917), di mana Inggris menyatakan dukungannya terhadap pembentukan “tanah air nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina.” Dalam pelaksanaannya, wilayah yang dijanjikan mencakup seluruh Palestina, termasuk wilayah yang kini dikenal sebagai Yordania.

 

Pada tahun 1922, Inggris mencoba meredakan protes Arab dengan menawarkan pembagian wilayah: 23% untuk Yahudi Palestina di sebelah timur Sungai Yordan, dan 77% untuk Arab Palestina di barat Sungai Yordan (Transjordan). Namun, pembagian ini ditolak oleh pihak Arab karena mereka menghendaki seluruh Palestina berada di bawah kendali Arab. Ketegangan meningkat, dan Yahudi Palestina membentuk milisi seperti Haganah dan Irgun, sementara Arab Palestina melawan dengan kekuatan seperti Fedayeen.

 

Gelombang imigrasi besar-besaran Yahudi ke Palestina, khususnya pasca-1933 akibat rasisme Nazi di Eropa, semakin memperkeruh situasi. Terjadi Revolusi Arab di Palestina pada tahun 1936–1939, yang berujung pada kekalahan Arab dan pengurangan jatah wilayah Yahudi oleh Inggris dan PBB.

 

Resolusi PBB dan Proklamasi Israel

Ketegangan yang semakin meningkat mendorong PBB untuk turun tangan. Pada tahun 1947, PBB menyetujui rencana pembagian Palestina menjadi dua negara: satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab. Tapi 23% yang rencananya untuk Israel, dikurangi lagi, sehingga wilayah Israel semakin sempit. Meskipun komunitas Yahudi menerima rencana ini, bangsa Arab menolak mentah-mentah dan menggalang kekuatan untuk menggagalkan pembentukan negara Israel.

 

Negara Israel Modern dan Pandangan Teologis

Pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion memproklamasikan berdirinya Negara Israel, sehari sebelum berakhirnya Mandat Inggris. Deklarasi ini tidak menyebutkan batas-batas negara secara eksplisit dan tidak mencantumkan nama Tuhan, yang menandakan bahwa negara baru tersebut lebih didirikan atas dasar hak historis dan politik daripada teologi perjanjian. 

 

Banyak kalangan melihat berdirinya Negara Israel modern sebagai penggenapan janji Tuhan kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi berkat bagi segala bangsa (Kejadian 22:18). Namun, deklarasi kemerdekaan Israel tahun 1948 tidak menyebut nama Tuhan, menandakan bahwa pendirian negara tersebut lebih bersifat politik daripada teologis. Meski demikian, pandangan bahwa Israel adalah “bangsa pilihan” tetap hidup dalam banyak interpretasi keagamaan, khususnya dalam tradisi Yahudi.

 

Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata "Israel"? Apakah yang Anda pikirkan lebih mengarah pada tokoh-tokoh Alkitab, atau pada negara modern saat ini?

 

Pembahasan lebih lengkap dapat diikuti dalam Seminar Alkitab “ISRAEL ALKITAB & ISRAEL MODERN: KONTINUITAS ATAU DISKONTINUITAS?

 

 

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia