Relasi antara pemimpin dan rakyat senantiasa menjadi isu sentral dalam kehidupan berbangsa maupun beriman. Dalam tradisi Alkitab, pemimpin tidak diangkat untuk menjadi tuan yang berkuasa secara sewenang-wenang, melainkan untuk mendengarkan, memperhatikan, dan melayani rakyatnya. Ketika pemimpin menutup telinga terhadap suara rakyat, penindasan akan melahirkan perlawanan. Fenomena ini tidak hanya ditemukan dalam sejarah bangsa-bangsa modern, tetapi juga dalam kisah Alkitab, khususnya peristiwa pecahnya kerajaan Israel pada masa Rehabeam (1Raja-raja 12:1–24).
Latar Belakang
Kisah pecahnya kerajaan Israel tidak dapat dilepaskan dari konteks pemerintahan Salomo. Walaupun dikenang sebagai raja berhikmat yang membawa Israel pada masa kejayaan (1Raja-raja 10), Salomo juga menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi yang tajam. Di satu sisi, istana kerajaan menikmati kemewahan, kekayaan, dan kehidupan hedonis. Namun di sisi lain, rakyat terbebani oleh besarnya pajak serta kerja paksa (1Raja-raja 4:7–19; 5:13–14). Bahkan istilah “pekerja paksa” yang dipakai sejajar dengan istilah perbudakan di Mesir dalam kitab Keluaran, menandakan bentuk eksploitasi struktural yang membuat Israel mengalami ‘Mesir baru’ di tanahnya sendiri.”
Kritik terhadap gaya hidup dan kebijakan Salomo memang tidak muncul secara terbuka pada masa pemerintahannya karena kekuasaan yang begitu kuat dan anti kritik. Namun, benih kekecewaan rakyat ibarat bom waktu yang meledak setelah Salomo wafat. Momentum itu muncul ketika Rehabeam naik tahta. Rakyat yang dipimpin Yerobeam datang membawa tuntutan sederhana, “Ayahmu telah memberatkan kuk kami. Sekarang, ringankanlah pekerjaan berat dari ayahmu dan kuk berat yang dibebabnkannya kepada kami, maka kami akan mengabdi padamu” (1Raja-raja 12:4). Sayangnya, Rehabeam memilih menolak nasihat para tua-tua yang mendorong kepemimpinan yang melayani, dan justru mengikuti nasihat orang-orang muda sebaya dengannya yang menekankan arogansi kekuasaan. Rehabeam menjawab dengan kasar, “Sekarang, ayahku telah membebani kamu kuk yang berat, tetapi aku akan memperberat kukmu; ayahku telah menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku menghajar kamu dengan cambuk berduri besi.” (1Raja-raja 12:11). Penolakan terhadap kritik rakyat inilah yang memicu pecahnya kerajaan menjadi Israel Utara dan Yehuda.
Bentuk Perlawanan Rakyat
Menurut narasi Alkitab, rakyat Israel mengekspresikan perlawanan dalam dua bentuk:
-
Perlawanan pasif (public disobedience) 🡪 berupa penolakan untuk tunduk kepada kekuasaan, kembali ke kemah masing-masing (1Raja-raja 12:16), menolak membayar pajak, dan tidak mau lagi menjalani kerja paksa.
-
Perlawanan aktif 🡪 berupa tindakan keras yang berujung pada kekerasan fisik, misalnya pelemparan batu terhadap Adoram, kepala pekerja paksa, hingga tewas (1Raja-raja 12:18).
Kedua bentuk perlawanan ini memperlihatkan bahwa ketika ruang kritik dibungkam, rakyat mencari cara untuk menegakkan keadilan, meskipun harus menempuh jalan radikal.
Implikasi Teologis
Kisah pemberontakan Israel terhadap Rehabeam mengandung pesan teologis yang penting. Pertama, kepemimpinan yang sejati dalam perspektif iman Israel bukanlah dominasi, melainkan pelayanan. Hal ini ditegaskan para tua-tua, “Jika hari ini engkau mau menjadi hamba rakyat, mau mengabdi pada mereka, dan menjawab mereka dengan kata-kata yang baik, maka mereka akan menjadi hamba-hambamu seumur hidupmu” (1Raja-raja 12:7). Pemimpin dipanggil untuk mengabdi, bukan menguasai.
Kedua, Alkitab mengingatkan bahaya kesenjangan sosial dan konsentrasi kekuasaan. Ketika kekuasaan dipakai untuk memperkaya diri dan melanggengkan hegemoni, sementara rakyat diperas, maka kehancuran politik tidak terhindarkan. Pecahnya kerajaan Israel menjadi Yehuda dan Israel adalah konsekuensi dari ketidakadilan struktural.
Ketiga, ada dimensi profetis dalam perlawanan rakyat. Tindakan mereka mencerminkan suara nurani yang menuntut keadilan. Pemberontakan bukan sekadar reaksi politik, melainkan ekspresi teologis bahwa Allah berpihak kepada yang tertindas dan menentang arogansi kekuasaan.
Refleksi Kontekstual
Narasi Alkitab mengenai penindasan dan perlawanan rakyat menegaskan dinamika yang terus berulang dalam sejarah bangsa-bangsa, termasuk Indonesia. Penolakan rakyat Israel terhadap pajak yang menindas dan kerja paksa sejajar dengan berbagai bentuk perlawanan sipil di Indonesia ketika keadilan sosial diabaikan. Demonstrasi, boikot, hingga aksi ketidaktaatan publik merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap pemimpin yang gagal menjalankan amanat kerakyatan.
Peristiwa 1 Raja-Raja 12 memperlihatkan dengan jelas bahwa arogansi penguasa adalah jalan menuju keruntuhan. Rehabeam memilih mendengarkan nasihat yang mempertebal dominasi, bukan suara yang mendorong pelayanan. Hasilnya adalah perpecahan kerajaan dan kehilangan legitimasi. Refleksi teologis atas kisah ini menegaskan bahwa kepemimpinan sejati tidak boleh dipahami sebagai “tuan” yang memperberat “kuk rakyat”, melainkan sebagai pelayan yang meringankan beban mereka (lihat 1 Raja-raja 12:7).
Kritik terhadap gaya hidup Salomo dan penerusnya sejatinya telah lebih dahulu ditegaskan dalam Ulangan 17:16–17, “Hanya saja, janganlah raja itu memperbanyak jumlah kudanya dan janganlah ia membawa bangsa ini kembali ke Mesir untuk mendapatkan banyak kuda, sebab TUHAN telah berfirman kepadamu: Jangan sekali-kali kamu kembali melalui jalan ini lagi. Janganlah ia memperbanyak jumlah isterinya, supaya jangan hatinya menyimpang. Jangan pula ia memperbanyak jumlah emas dan peraknya.” Teks ini menjadi tolok ukur teologis bahwa raja Israel seharusnya tidak jatuh pada hedonisme, akumulasi kekayaan, dan dominasi militer, tetapi hidup dalam kesederhanaan dan ketaatan pada hukum Allah. Ketika prinsip ini diabaikan, relasi antara penguasa dan rakyat berubah menjadi relasi penindasan yang pada akhirnya memicu perlawanan.
Bagi konteks Indonesia, teks ini menghadirkan peringatan profetis: kekuasaan yang abai terhadap suara rakyat akan berhadapan dengan resistensi sosial yang meruntuhkan tatanan. Sebaliknya, pemimpin yang rendah hati, mendengar kritik, dan berkomitmen pada keadilan sosial akan meneguhkan stabilitas dan kesatuan bangsa. Dengan demikian, jalan kepemimpinan yang dikehendaki Allah adalah jalan pelayanan, bukan dominasi.