Siapa yang tidak pernah marah? Sebaik apapun seseorang di mata orang lain, dia pasti pernah marah. Bahkan Tuhan Yesus sendiri pernah marah ketika Ia menyucikan Bait Allah (Yoh.2:13-25). Hanya saja cara setiap orang mengekspresikan kemarahannya tentu berbeda-beda. Tujuannya pun berbeda-beda. Memang, selama kita masih hidup, kemarahan, dan beragam emosi lainnya, pasti akan datang berkunjung. Kemarahan adalah emosi manusia. Ia merupakan reaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang menyakitkan atau yang tidak sesuai dengan harapannya. Misalnya: dikecewakan, dikhianati, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, diperlakukan dengan tidak sepantasnya, rasa tidak puas, disakiti dan sebagainya. Setiap orang tidak dapat menghindari kemarahan. Sebab pengalaman yang menyakitkan itu tidak dapat dihindari oleh siapapun. Cepat atau lambat, semua orang akan menghadapi pengalaman menyakitkan dan terdorong untuk marah.
Kemarahan juga bisa menyebabkan kelemahan pada tubuh kita. Jantung berdetak keras. Kepala terasa sakit. Seluruh badan menegang. Jika mungkin, ingin sekali rasanya berteriak. Pada puncaknya, orang lupa diri. Semua kesadaran lenyap. Itulah kemarahan. Gejalanya menyakitkan. Namun, ia tak dapat begitu saja dihindarkan.
Karena itu, kemarahan perlu dipahami, supaya ia tak menjajah hidup kita. Pemahaman muncul dalam dua titik, yakni pemahaman akan akar kemarahan, sekaligus pemahaman tentang keluar dari kemarahan. Pemahaman adalah kunci kebebasan.
Kemarahan adalah racun bagi diri.
Berbagai penelitian menunjukkan, bahwa ketika orang marah, seluruh sistem biologis tubuhnya menjadi kacau. Sesungguhnya, dengan marah, orang menyakiti dirinya sendiri. Ketika kemarahan menggumpal menjadi dendam, berbagai penyakit pun datang mengunjungi diri, mulai dari ketidakseimbangan hormon, sampai dengan kanker.
Bagaimana jalan keluar dari kemarahan? Kita perlu memiliki pemikiran yang melepas setiap saat. Apapun yang muncul di kepala, perlu segera dilepas, supaya tidak menghasilkan ambisi baru, yang berujung pada penderitaan. Bagaimana cara melepas?
Orang dapat melepas, jika ia menerapkan just do it (lakukan saja) mind. Artinya, apapun yang ia lakukan, ia lakukan sepenuhnya, tanpa keraguan. Ketika berjalan, ia sekedar berjalan. Ketika duduk, ia sekedar duduk. Ketika bernapas, ia sekedar bernapas. Ketika menderita, ia sekedar menderita. Ketika berpikir, ia sekedar berpikir. Dengan cara ini, kemarahan, dan semua emosi lainnya, akan turun, dan kebenaran akan tampak di depan mata, yakni kebenaran disini dan saat ini. Hidup pun akan menyentuh dimensi yang sebelumnya tak tampak.
Apakah lalu kemarahan akan langsung lenyap, dan orang tak akan marah lagi? Tidak. Kemarahan lalu dibalut dengan kesadaran, sehingga bisa digunakan sesuai dengan konteks kebutuhan. Ada kalanya, kemarahan itu perlu, asal dilakukan secara kontekstual, yakni dengan sikap welas asih dan kebijaksanaan. Dengan cara ini, kemarahan tak lagi menjadi sumber penderitaan, melainkan justru bisa menolong orang lain.
Dalam Alkitab sendiri, Paulus mengatakan “apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa.” (Efesus 4: 26). Paulus tidak melarang orang menjadi marah. Marah boleh saja. Sebab yang menjadi masalah bukan marahnya itu, melainkan bagaimana ekspresi atau cara mengungkapkan dan motivasi kemarahan itu sendiri yang perlu diperhatikan. Karena itu, supaya kita bisa berdamai dengan kemarahan kita sendiri, kita harus belajar memahami kemarahan itu. Sebab memahami kemarahan adalah kunci kebebasan, sekaligus kunci dari kebahagiaan kita.
Orang yang mampu mengendalikan kemarahannya akan menjadi orang yang paling bahagia dalam hidupnya. So, kenapa harus marah kalau bisa dibicarakan baik-baik?
Oleh: Pdt. Sri Yuliana