Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir (1 Korintus 1:10)
Lelah sekali melihat anak bangsa begitu mudahnya terpecah belah oleh karena isu Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) yang dimainkan oleh orang-orang intoleran di negeri ini. Emosi kita mudah sekali tersulut hanya karena desas-desus yang belum jelas, komentar atau statement dari orang-orang tertentu, ataupun berita yang telah dipelintir kebenarannya, tanpa kita pernah mencari fakta sebenarnya.
Seluruh tenaga, waktu dan pikiran telah terkuras hanya untuk membahas masalah yang sebenarnya telah lama terselesaikan oleh para pendiri bangsa ini dan juga para pejuang terdahulu. Seluruh energi yang seharusnya telah diberdayakan untuk memajukan bangsa ini justru terbuang sia-sia. Para politisi, pejabat negara, kaum rohaniawan sekalipun, bahkan kaum intelektual dan akademisi pun sudah tidak lagi memiliki pemikiran yang produktif tetapi malahan ikut berkubang di dalam pemikiran dan sikap yang anti sosial dan intoleran itu, sesuatu yang tidak dapat membawa negara ini semakin maju, tetapi justru sebaliknya membuat langkah kita semakin mundur jauh ke belakang, tertingal oleh bangsa-bangsa lain.
Mari kita kembali belajarlah dari sejarah. Bangsa ini akhirnya dapat menjadi satu kesatuan yang sekarang kita sebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah karena mereka yang telah ada jauh sebelum kita lahir, mereka yang namanya tercantum dalam buku sejarah bangsa ini, dengan rela menundukkan egoisme kesukuan, agama, ras, serta golongan masing-masing kepada satu cita-cita bersama dan dengan kesadaran penuh bahwa kesatuan terjadi bukan karena semuanya sama tetapi karena banyaknya perbedaan. Karena sejak awalnya kita memang telah berbeda, Indonesia dulunya adalah deretan pulau-pulau yang terdiri atas banyak kerajaan, banyak aliran kepercayaan ditambah dengan agama-agama yang datang dari India, Arab, Eropa dan Tiongkok, beragam budaya dan bahasa, yang semuanya tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Inilah yang dilihat oleh Muhammad Yamin – seorang muslim – sehingga ia mengusulkan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai semboyan bangsa Indonesia, yang diambil dari karya sastra seorang sastrawan Buddha bernama Mpu Tantular. Karena itulah sangat mustahil untuk tetap mempersatukan Indonesia tanpa memelihara perbedaan di dalamnya. Marilah merawat perbedaan itu agar kita semua hidup sentosa bersama.