Ada pepatah lama yang berkata, malu bertanya sesat di jalan. Kita semua menerima nasehat ini. Ketika tidak tahu jalan, memang sebaiknya kita bertanya. Tapi, ketika sedang dalam perjalanan bersama rombongan besar dan kita terus bertanya-tanya apakah kita sudah di jalan yang benar, maka orang akan mentertawakan kita. Bagaimana mungkin kita tidak mempercayai orang-orang dalam rombongan itu sehingga terus saja kita bertanya? Tapi inilah yang juga dilakukan penulis kitab pengkotbah. Tak peduli semua orang menjalani hidup mereka tanpa bertanya, dia mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan paling mendasar atas sifat hidup manusia.
Dalam ayat yang kita baca ini pengkotbah menayakan 3 pertanyaan 1) untuk apa manusia harus bekerja keras, karena toh akhirnya mereka akan mati dan tidak dingat-ingat lagi? 2) kenapa fonomena-fenomena alam terus berulang dan tidak ada sesuatu yang baru? Dan 3) kenapa manusia seperti tidak pernah puas dengan seberapa banyak pun yang didapatkannya? Bagi banyak orang, ini adalah sesuatu yang memang demikian adanya. Mereka menerimanya begitu saja dan berusaha menjalankan hidup mereka disana sebaik-baiknya. Tapi pengkotbah mengambil sikap berbeda. Dia ingin tahu hidup macam apa yang sesungguhnya sedang dijalaninya.
Sahabat Alkitab, mempertanyakan hal-hal yang dianggap sudah seharusnya bukanlah sesuatu yang tidak baik. Apalagi ketika sesuatu itu ternyata menyebabkan ketidakbaikan, baik bagi diri kita sendiri ataupun bagi orang lain yang jauh dan tidak kita kenal.
Kitab pengkotbah telah mencontohkannya pada kita. Bukan sesuatu yang buruk untuk berhenti sejenak dan mulai bertanya kenapa kita disini; di kota ini, dalam pekerjaan ini, bersama orang-orang ini, mengejar mimpi-mimpi ini, dst. Kita boleh mempertanyakan semua itu, dan mungkin memang perlu sesekali untuk melakukannya. Jadi bagaimana sekarang, apakah kita bisa mulai belajar untuk melakukannya?
Salam Alkitab Untuk Semua