Cerita ini menampilkan sebuah bentuk keterbukaan dalam tradisi keagamaan Yahudi. Kesimpulan ini memang terkesan sederhanan meski terdapat banyak aspek yang juga pelru dipertimbangkan. Namun, paling tidak cerita pencarian makan oleh Daud ke salah satu lokasi bagi roang Israel untuk melakukan ritus keagamaan. Itulah sebabnya, pada ayat 6 kita melihat imam Ahimelekh memberikan ‘roti sajian’, sebuah roti kudus yang bisanya digunakan dalam ritus perayaan Sabath dan tidak dapat dimakan secara sembarangan. Namun, pada perikop ini kita justru melihat imam Ahimelekh memberikan roti itu kepada Daud untuk menjadi makanan utama, ditengah kelaparan yang sedang dialami oleh Daud dan orang-orangnya. Tindakan ini tentu dapat dimaknai secara teologis dalam berbagai perspektif, termasuk dalam sudut pandang mesianik. Misalnya, bagiamana roti itu menjadi simbol kerjaan Allah yang merasuk ke dalam diri Daud sebagai pemenuhan janji tahta kerajaan Daud dan nubuatan mesianik dari gari keturunan Daud. Namun, selain itu cerita ini juga dapat digunakan sebagai sebuah autokritik oleh umat percaya, secara khusus sebagai gereja.
Kita perlu menyadari dan mengakui bahwa tidak jarang gereja mengambil sikap terlalu kaku dan eksklusif dalam menjadi saluran berkat TUHAN. Bahkan, kita secara personal pun menciptakan batasan-batasan yang rupanya tidak lagi esensial. Tidak jarang, kita justru membangun ‘tembok-tembok’ yang menghalangi berkat TUHAN untuk tersalurkan melalui kita kepada orang-orang yang ada di sekitar kita, entah itu pemikiran-pemikiran yang terlalu formalistik maupun pemahaman iman yang terlalu eksklusif.
Pemberian roti sajian oleh imam Ahimelekh kepada Daud perlu kita jadikan bahan untuk mengkritik diri sendiri, bukan dengan tendensi untuk menjatuhkan melainkan membangun dan membenahi diri (gereja) menjadi semakin efektif dalam menjalankan tugas-fungsi misionalnya di dunia ini. Segala nilai dan pemahaman teologis yang kita miliki sejatinya menolong serta memampukan kita sebagai rekan kerja Allah dalam mewujudkan damai dan keselamatan-Nya di dunia, bukan justru menjadi penghambat itu semua terjadi. Pertanyaannya sekarang, apakah kita bersedia melakukannya? Bahkan, dimulai dengan mengkritisi diri sendiri?
AMIN