Pada tahun 1928 terjadi sebuah peristiwa memilukan mengenai seorang ibu yang kehilangan anak lelakinya yang berumur 9 tahun. Permasalahan menjadi semakin besar ketika setelah sekian lamanya ia menantikan hasil pencarian, pihak kepolisian mengklaim telah menemukan anak lelakinya. Namun, ia menyadari bahwa anak itu bukanlah anaknya yang asli. Si ibu begitu bersikeras kepada pihak kepolisian dan menuntut mereka untuk segera menemukan anaknya yang asli. Sungguh disayangkan bahwa tuntutannya tersebut justru dianggap sebagai gangguan kejiwaan hingga membuatnya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Fakta pun terkuak setelah beberapa waktu kemudian si anak yang berikan oleh pihak kepolisian mengakui bahwa ia bukanlah anak dari si ibu. Kenyataan pun menjadi semakin pahit ketika si anak diyakini telah menjadi korban pembunuhan tidak lama setelah ia hilang. Kisah ini diangkat menjadi sebuah film berjudul ‘Changeling’ yang telah berhasil menghadirkan nilai sentimentil dari perjuangan cinta tak kenal lelah dari seorang ibu untuk menemukan anaknya.
Teks Kidung Agung yang kita baca hari ini pun menampilkan sebuah perjuangan cinta yang tak luruh dari seorang mempelai di tengah beragam resiko dalam pencarian akan kekasihnya. Ketiadaan sang kekasih hati telah menimbulkan kecemasan yang menuntutnya untuk melakukan pencarian penuh resiko. Secara khusus bagi seorang perempuan yang hidup di tengah budaya patriakal yang menganggap perempuan sebagai objektivikasi lelaki, sudah tentu keputusannya berkeliaran pada tengah malam adalah sebuah tindakan yang berpotensi melukai dirinya sendiri. Di dalam luapan cintanya dalam bentuk puitis, ia pun mengakui betapa terlukanya ia di tengah upaya pencarian yang ia lakukan. Si mempelai perempuan berkata, “Aku ditemui peronda-peronda kotam dipukulinya aku, dilukainya, selendangku dirampas oleh penjaga-penjaga tembok.”. inilah sebuah bukti keseriusan dan ketulusan cinta sekaligus menjadi sebuah teladan bahwa cinta adalah upaya yang perlu diwujudkan.
Sahabat Alkitab, teks Kidung Agung ini telah membawa kita kepada sebuah perenungan tentang nilai perjuangan cinta sekaligus menjadi ajakan bagi setiap umat TUHAN untuk mengevaluasi perilaku mencintai yang selama ini kita bangun dalam relasi, entah terhadap pasangan, relasi orang tua-anak, persaudaraan, persahabatan maupun dengan TUHAN. Kita perlu melakukannya karena tidak sedikit manusia yang terlalu mudah mengatakan cinta, namun membuatnya menguap dengan begitu lekas lenyap seiring waktu. Oleh sebab itu, jangan biarkan kita membangun cinta yang begitu ringkih, tak berdasar bahkan cenderung pengecut untuk membela dirinya sendiri. Kita perlu menyadari bahwa cinta adalah tindakan nyata yang membutuhkan keberanian dan kesediaan yang menghasilkan perjuangan, bukannya persoalan kata-kata hampa tak berwujud.