Di tengah kultur yang masih menganggap kekerasan sebagai hal biasa, tarian peperangan merupakan sesuatu yang dilakukan dalam gegap-gempita dan semangat yang membara. Salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui tarian peperangan, misalnya membangkitkan semangat para pejuang perang. Oleh sebab itu, tarian peperangan selayaknya dilakukan dengan semangat yang besar. Meski demikian, semangat yang dirayakan dalam tarian ini tetaplah bersifat destruktif, bukan sesuatu yang membangun secara damai.
Mempelai pria, yang adalah seorang raja sekaligus pejuang perang, menyadari betapa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh sebuah tarian peperangan. Namun, ia tidak menyetujui jika dampak tarian tersebut disetarakan dengan sukacita untuk menyambut kehadiran sang mempelai perempuan. Malahan, di tengah kerinduannya yang begitu besar akibat keterpisahan untuk sementara waktu dengan sang kekasih hati, si mempelai pria tetap tidak sudi untuk menyambut kehadiran sang mempelai perempuan dalam sukacita layaknya melakukan tarian peperangan. Baginya, merayakan cinta semestinya diwujudkan dalam luapan cinta yang siap untuk membangun bukan untuk meruntuhkan. Mempelai pria Kidung Agung telah menunjukkan bahwa ia memiliki cinta yang konstruktif, bukan luapan cinta untuk menghancurkan.
Dua ayat yang muncul dalam bacaan Kidung Agung pada hari ini telah membawa kita kepada sebuah pemaknaan cinta yang menghidupkan. Merupakan sesuatu yang miris jika sebuah hubungan berubah menjadi benalu yang menggerogoti kesehatan mental, cinta, dan pikiran para individu yang menjalaninya. Inilah contoh cinta yang dibentuk berlandaskan semangat untuk menghancurkan, bukan untuk membangun. Sesungguhnya, wujud cinta yang menghidupkan dan membangun ini bukanlah sesuatu yang hanya dapat kita temukan dari kisah asmara pasangan Kidung Agung. Justru, TUHAN telah memberikan bentuk cinta yang konstruktif ini sejak awal Ia melakukan penciptaan, tampil dalam peristiwa penebusan hingga perawatan yang terus-menerus terjadi di sepanjang waktu kehidupan. Artinya, kita pun sangat perlu untuk membangun teladan cinta yang demikian dalam setiap wujud relasi, entah itu dalam hubungan dengan suami-isteri, dengan kekasih, dengan orang tua-anak, dengan saudara, dengan sahabat, maupun dengan TUHAN. Pada dasarnya, cinta yang membangun inilah yang memampukan setiap manusia untuk saling menguatkan dan membawa hubungan ke tahap yang semakin kokoh, bukan sebaliknya.