Ketika hendak bepergian menuju ke suatu tempat, kita biasanya akan mempertimbangkan rute terbaik dan sepanjang perjalanan sebisa mungkin mematuhi aturan lalu lintas agar sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Hal ini juga berlaku untuk perjalanan iman kita, Allah telah menyediakan jalur khusus menuju tempat tertuju atau yang oleh penulis surat Ibrani disebut dengan “tempat perhentian”. Sebuah tempat yang dipenuhi kedamaian sejati. Awal dari keabadian bersama Allah yang menanti setiap orang yang percaya kepada-Nya.
Perikop yang kita baca hari ini merupakan bagian integral dari pasal sebelumnya, yaitu Ibrani 3:7, “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya”. Kini dilanjutkan dengan kata pembuka “Sebab itu, baiklah kita waspada, supada jangan ada seorangpun diantara kamu yang dianggap ketinggalan, sekalipun janji akan masuk ke peristirahatan-Nya masih berlaku” (4:1). Peringatan ini menegaskan bahwa janji Allah memang masih berlaku pada saat surat Ibrani ditulis dan diterima jemaat pada masa itu, tetapi suatu saat janji itu pasti akan berakhir dan mereka yang belum masuk akibat kelalaian dan ketidak percayaannya akan ditinggalkan. Kata ‘waspada’ merupakan terjemahan dari kata Yunani ‘phobeomai’, yang dapat juga diterjemahkan sebagai ‘takut’. Oleh karena itu kita dapat menangkap bahwa pesan yang ingin disampaikan sangatlah, agar jangan sampai jemaat mengalami nasib tragis seperti umat Israel di masa lalu, seperti yang dibicarakan pada pasal 3. Orang kristen harus sangat waspada, bahkan merasa takut, jangan-jangan ada dari antara mereka yang tidak berhasil memasuki tempat perhentian yang dijanjikan Allah, padahal janji itu masih berlaku. Mengingat gereja adalah satu tubuh, maka keselamatan pribadi dan komunitas sangatlah penting.
Mendengarkan kabar baik saja bukanlah jaminan keselamatan, diperlukan juga iman, penyerahan diri secara total kepada Allah. Firman Allah memiliki kekuatan luar biasa, mengetahui segala sesuatu dalam diri manusia dan akan menuntut pertanggungjawaban dari setiap umat yang mendengarnya. Firman Allah itu hidup, sebagaimana Allah yang mengucapkannya adalah Allah yang hidup. Sebagaimana perumpamaan yang Yesus sampaikan tentang Penabur, bahwa Firman dapat bertumbuh dan menghasilkan buah (Matius 13: 1-23). Firman itu kuat, aktif, dan efektif, bagaikan air hujan yang membasahi bumi dan menghasilkan (Yesaya 55: 10-11). Selain itu Firman Allah juga sangat tajam, melebihi tajamnya pedang bermata dua, yang sanggup menembus sampai ke dalam bagian rohani manusia, yaitu jiwa dan roh. Jiwa merupakan bagian rohani dari manusia yang menjadi tempat perasaan dan pikirannya, sedangkan roh adalah bagian rohani manusia yang lebih dalam lagi, suatu bagian dari manusia yang paling tepat untuk berjumpa Roh Tuhan dan diubahkan oleh-Nya (Roma 8:5). Perbandingan antara firman/perkataan dan pedang ini dapat kita lihat terkait dengan kemiripan cara kerja di antara keduanya. Sebagaimana pedang yang tajam bisa menusuk sampai ke dalam tubuh manusia, begitu juga Firman Allah yang tajam, sehingga bisa menembus dan menyelidiki bagian-bagian terdalam dari pribadi manusia (hati, jiwa, dan roh). Seluruh diri manusia, bahkan semua makhluk “telanjang dan terbuka” sekaligus tak berdaya di hadapan Firman Allah yang menghakimi (ayat 13).
Pada akhirnya keterbukaan manusia menuntunnya pada penyerahan diri kepada Allah. Penyerahan diri inilah yang menghasilkan ketaatan. Satu hal yang perlu disadari adalah ketaatan tersebut hanya dapat terwujud saat seseorang berani untuk menyangkal dirinya serta menjadikan kehendak Tuhan sebagai pedoman utama hidupnya. Bukankah seringkali kita begitu sombong dan mencoba untuk membenarkan tindakan yang salah, alih-alih berjuang untuk mentaatinya. Upaya ini memang tidaklah mudah, maka dari itu mintalah pertolongan kepada Tuhan, agar IA menyertai, membimbing, dan menuntun kita.