Di bawah cakrawala yang terbentang luas, manusia mendongakkan kepala, berusaha memahami rahasia alam semesta. Ia menggali pengetahuan, membangun peradaban, dan merumuskan hukum-hukum dunia. Namun, pada suatu titik, ketika badai datang dan mengguncang kehidupannya, ia tersadar bahwa segala yang dimilikinya hanyalah kefanaan belaka. Seperti pasir yang terhembus angin, kebijaksanaan dan kekuatan manusia tak lebih dari sekadar embusan napas di hadapan Sang Khalik yang kekal. Ayub, seorang yang dikenal karena kebajikannya, memahami kebenaran ini dalam kesedihan dan penderitaannya. Dalam Ayub 12:13-25, ia mengungkapkan kebesaran Allah yang tak terbandingkan dengan kefanaan manusia.
Di dalam tangan Allah terdapat hikmat, kekuatan, dan pengertian yang tak tertandingi. Manusia boleh merancang dan membangun, tetapi jika Allah berkehendak menghancurkan, tidak ada yang dapat membangunnya kembali. Jika Ia menutup jalan, tak ada yang bisa membukanya. Jika Ia menahan air, bumi menjadi kering, dan jika Ia mencurahkannya, banjir melanda (Ayub 12:13-15). Kekuasaan-Nya mutlak, mengingatkan kita bahwa segala sesuatu terjadi atas izin-Nya. Orang bijak, hakim, dan pemimpin dunia mungkin memiliki kuasa di mata manusia, tetapi di hadapan Allah, mereka bisa kehilangan akal dan kehormatan. Para raja yang berkuasa dapat dijatuhkan, dan penasihat yang bijaksana dapat menjadi bodoh (Ayub 12:17-21). Tak ada kebijaksanaan atau kekuasaan yang bisa melebihi kehendak Tuhan.
Lebih jauh, Ayub menegaskan bahwa Allah bukan hanya mengetahui segala sesuatu, tetapi Ia juga mengatur jalannya dunia. Rahasia yang tersembunyi dalam kegelapan pun Ia singkapkan (Ayub 12:22). Bangsa-bangsa bisa bangkit dan jatuh sesuai kehendak-Nya. Para pemimpin yang dulunya kuat bisa tersesat dalam kebingungan seperti orang berjalan dalam kegelapan tanpa cahaya (Ayub 12:23-25). Ini menjadi pengingat bahwa manusia bukanlah penguasa sejati atas hidupnya, melainkan sepenuhnya bergantung pada Allah.
Sahabat Alkitab, sadarkah kita, bahwa seringkali kita merasa mampu mengendalikan segala sesuai dengan mengandalkan kecerdasan dan teknologi. Tentu hal tersebut tidak sepenuhnya keliru, tetapi dengan perkenanannya segala yang dianggap kuat bisa runtuh. Maka dari itu, marilah kita senantiasa menjalani hidup dengan rendah hati, menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Sebab, melalui kesadaran akan keterbatasan diri, kita justru dapat menemukan kebesaran Tuhan.