Di sebuah pengadilan yang penuh sesak, seorang pria berdiri di hadapan hakim. Tuduhan-tuduhan dilemparkan kepadanya, dan para saksi berbicara dengan penuh keyakinan, meyakinkan semua orang bahwa ia bersalah. Namun, pria itu tetap diam. Ia apa yang benar, tetapi ia juga tahu bahwa orang-orang di sekelilingnya telah lebih dahulu membentuk opini mereka. Mereka berbicara seolah mengenalnya dan memahami setiap detail hidupnya, tetapi tidak seorang pun benar-benar mendengarkan suaranya. Ilustrasi ini menggambarkan situasi Ayub dalam pasal 13. Di tengah penderitaan dan kritik yang tajam terhadapnya, Ia menegaskan bahwa imannya tidak berdasar pada pendapat orang lain, melainkan pada pengalaman pribadinya dengan Tuhan.
Ayub membuka tegurannya dengan berkata, “Sesungguhnya, semuanya itu telah dilihat mataku, didengar dan dipahami telingaku. Apa yang kamu tahu, aku juga tahu, aku tidak kalah dengan kamu.” (Ayub 13:1-2). Dengan kata lain, ia menegaskan bahwa ia memahami prinsip-prinsip keadilan dan ketuhanan yang sahabat-sahabatnya bicarakan, tetapi yang mereka katakan tidak berlaku dalam situasi yang ia alami. Di tengah pergumulannya, Ayub tidak ingin mendengar penjelasan yang hanya berupa kata-kata kosong. Ia ingin berbicara langsung dengan Tuhan, “Tetapi, aku, aku hendak berbicara dengan Yang Maha Kuasa, aku ingin membela perkaraku di hadapan Allah.” (Ayub 13:3). Di sinilah keberanian iman Ayub terlihat. Ia tidak hanya puas dengan ajaran turun-temurun, tetapi berusaha mengalami kebenaran Tuhan secara langsung.
Pada sisi lain, jawaban Ayub merupakan tantangan bagi sahabat-sahabatnya, apakah mereka benar-benar membela Tuhan dengan jujur? Ataukah mereka hanya berbicara karena ingin membenarkan diri sendiri? Ia menambahkan, “Sudikah kamu berbohong untuk Allah, sudikah kamu mengucapkan dusta untuk Dia?” (Ayub 13:7). Ayub memahami bahwa Tuhan tidak membutuhkan pembelaan manusia, apalagi pembelaan yang tidak jujur.
Sahabat Alkitab, melalui pembelaan Ayub ini kita diingatkan bahwa iman yang sejati tidak berdiri di atas pendapat orang lain, melainkan berdasarkan pengalaman rohani yang mendalam dengan Tuhan. Dunia ini penuh dengan suara-suara yang berusaha memberi tafsir atas penderitaan kita. Ada yang berkata bahwa penderitaan adalah hukuman, ada yang menganggapnya sebagai ujian, ada pula yang mencoba memberikan jawaban sederhana atas hal yang kompleks. Namun, seperti Ayub, kita harus berani mencari Tuhan secara pribadi serta membangun relasi dengan-Nya. Mendengarkan nasihat orang lain adalah pilihan yang baik, tetapi jangan lupa untuk datang kepada Tuhan dan mendengarkan pendapat-Nya sebagai yang utama. Biarlah iman kita tidak menjadi sekadar proverbs of ashes (Ayub 13:12), nasihat kosong yang rapuh seperti abu, tetapi menjadi iman yang kuat karena telah melewati badai dan tetap berdiri teguh.