Kita perlu berhati-hati dalam memaknai perikop-perikop di Alkitab yang menampilkan narasi kekerasan. Salah satuny adalah perikop yang menjadi bacaan pada hari ini, yakni ketika Daud memusnahkan beberapa kota yang berafilisasi dengan orang Filistin pada saat ia sendiri menumpang hidup di tanah Filistin, Terdapat realitas kontekstual yang perlu kita sadari mengenai hadirnya narasi seperti ini, misalnya adalah kondisi peperangan yang menjadi bagian keseharian masyarakat kuno pada saat itu.
Pada satu sisi Daud terkesan licik karena telah menipu Akhis yang telah memberikan perlindungan kepadanya. Namun, kita juga perlu mempertimbangkan bahwa sangat besar kemungkinan Akhis memanfaatkan keberadaan Daud yang terkenal sebagai kepiawaiannya dalam peperangan atau pertempuran. Meski demikian, di dalam pemahaman iman Kristen kita percaya bahwa kelicikan, apa pun alasannya, tidak dapat dibenarkan. Kemudian, tindakan Daud yang membasmi habis warga dari setiap kota yang ia serang juga perlu dilihat secara objektif. Narasi ini juga menampilkan kepahlawanan dan nasionalisme Daud sebagai bangsa Israel. Meskipun Daud tinggal dan mencari perlindungan di tanah Filistin, ia tidak sampai hati untuk mengkhianati bangsanya sendiri.
Tanpa merendahkan kekayaan narasi yang tertulis dalam perikop ini, kita dapat menyoroti tindakan Daud itu sebagai sebuah kesadaran terdalam mengenai identitas dan kesungguhan hati dalam mengingat ikatan relasi sebangsa yang ada di dalam dirinya. Keberadaan Daud di tanah Filistin tidak serta-merta menjadikannya pengkhianat yang melupakan identitasnya sebagai orang Israel dan merendahkan nilai ikatan emosional-spiritual sebagai bangsa Israel. Justru, di dalam narasi ini kita melihat seorang Daud yang menggunakan kondisi hidupnya sebagai sebuah strategi politis untuk mengamati dan mempelajari cara hidup, berpolitik serta strategi perang bangsa Filistin, musuh dari bangsa Israel.
Sahabat Alkitab, perikop ini tidak mengajak kita untuk menjadi benalu atau pun sebagai serigala berbulu domba. Tentu itu adalah pemaknaan yang keliru terhadap perikop ini. Salah satu nilai yang dapat kita ambil adalah mengenai konsistensi dalam mempertahankan identitas dan pengalaman. Melalui cara demikian, kita tidak hanya sedang mempertahankan eksistensi sebagai seorang pribai melainkan juga menjadi pelatihan konsistensi beriman. Pada saat kita mengingat identitas dan pengalaman kita, berarti kita juga sedang mengingat karya dan peran TUHAN di sepanjang sejarah kehidupan kita. Hal ini tentu menjadi penting agar kita tidak menjadi manusia yang plinplan, secara khusus dalam mengikut TUHAN. Kita memang harus mengikuti perkembangan zaman dan menyesuaikan diri dengan ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’, namun bukan berarti iman dan nilai emosional-spiritual kita dengan TUHAN juga ikut berubah. Setiap identitas dan pengalaman yang kita miliki perlu terus diingat serta dihargai sebagai upaya pelatihan dan pengokohan iman.