Pengalaman bertemu dan rekonsiliasi dengan Saul yang terjadi hingga dua kali ternyata sudah cukup memberikan pelajaran bagi Daud untuk benar-benar menjauh dari Saul. Itulah sebabnya Daud memilih untuk menetap di Gat, kota orang Filistin. Nampaknya Daud merasa jauh lebih aman dan tenang untuk hidup di negeri musuh, dibandingkan harus terus melakukan pelarian dari Saul di wilayah Israel. Pertimbangannya itu sangat dapat dipahami, secara khusus ketika kita memperhatikan pendirian Saul yang tidak menentu. Bahkan, kekhawatiran Daud bahwa Saul akan kembali mengulangi niatan membunuhnya pun dibuktikan melalui narasi pada ayat 4, yakni Saul berhenti mencari Daud pada saat Saul mengetahui kepergian Daud ke Gat. Lantas, bukankah kepergian Daud ke Gat juga mendatangkan ancaman bagi dia dan rombongannya?
Sebagai seorang musuh, Daud tentu tidak diterima dengan leluasa oleh orang-orang Filistin. Terlebih lagi, kedatangan ini adalah yang kedua kalinya bagi Daud. Perbedaannya adalah kali ini Daud datang dengan membawa rombongan yang lebih banyak dengan identitas yang sesungguhnya. Namun, ternyata Daud mendapatkan ruang untuk hidup di tengah kota Gat meski mereka, terkhusus Akhis, mengetahui siapa dia sesungguhnya. Sangat dapat diyakini bahwa penerimaan itu dihasilkan melalui aksis diplomatis dan lobi-lobi politis yang Daud lakukan kepada Akhis. Hal ini akan dibuktikan pada ayat-ayat berikutnya. Intinya, kita melihat sebuah kecerdikan dalam membaca situasi dan melihat peluang untuk menjalani kehidupan.
Sahabat Alkitab, terkadang kita, entah sadar maupun tidak, menjalani kehidupan secara pasrah. Hal ini adalah sebuah kekeliruan karena sikap hidup beriman kepada TUHAN selalu melibatkan upaya dari dua pihak, yakni kita dan TUHAN. Artinya, umat percaya tidak dapat pasrah dalam menjalani kehidupannya, melainkan berserah dengan tetap melakukan beragam upaya yang maksimal. Hal inilah yang dapat kita temukan pada diri Daud di dalam perikop ini, yakni Daud tidak menjalani kehidupannya secara ‘cuma-cuma’ atau bermodalkan sebagaimana TUHAN mau saja. Daud mampu membaca situasi hubungannya dengan Saul sehingga ia memilih untuk mengambil jarak yang lebih jauh dari Saul. Daud juga melihat peluang dan menggunakannya secara optimal melalui pendekatannya kepada Akhis. Hal ini pun dapat kita maknai sebagai sikap hidup berserah dan berupaya di dalam TUHAN.
Kita memang hanya perlu menaruh harapan dan berserah kepada TUHAN. Namun, itu tidak berarti kita menjadi pasrah dan meninggalkan tanggung-jawab secara penuh. Justru, pandai membaca situasi dan menggunakan peluang secara bertanggung-jawab di hadapan TUHAN menjadi bagian dari proses beriman dan berharap kepada-Nya.