Manusia adalah makhluk yang relasional. Keberadaan kita selalu terkait dengan sesama, maka dari itu kita perlu berhikmat untuk membangun dan memelihara relasi. Kadangkala hambatan dalam berelasi muncul dari kecenderungan kita untuk menilai dan menghakimi sesama tanpa memberi kesempatan untuk mendengar serta menghargai pendapatnya. Inilah yang tercermin dalam seruan Bildad saat ia merespons Ayub.
Dalam Ayub 18:1–10, Bildad, sahabat Ayub, menyerang karakter Ayub dengan keras. Ia menuduh Ayub sebagai orang yang merusak tatanan dan hendak “membuat bumi terlantar dan gunung bergeser dari tempatnya” (Ayub 18:4)—suatu sindiran bahwa Ayub dianggap ingin menggulingkan tatanan moral dunia dengan mempertanyakan keadilan Tuhan. Bildad menggunakan berbagai metafora tentang jebakan dan kegelapan untuk menggambarkan nasib orang fasik. Ia berkata bahwa terang orang fasik akan dipadamkan (Ayub 18:5), langkah-langkahnya akan menyempit (Ayub 18:7), dan ia akan jatuh ke dalam perangkap yang dipasangnya sendiri (Ayub 18:8–10). Di mata Bildad, ini adalah hukum moral yang pasti: kejahatan akan menuntun kepada kehancuran.
Bildad begitu yakin akan nasib orang fasik. Ayub disuruhnya untuk berhati-hati agar tidak bernasib seperti orang-orang fasik dengan menjelaskan segala ganjaran yang akan mereka terima. Namun, perenungan yang jujur terhadap teks ini mengajak kita untuk tidak sekadar menerima pandangan Bildad begitu saja. Kitab Ayub secara keseluruhan justru membongkar dan menantang pemahaman timbal balik yang kaku ini. Melihat realita yang ada selama ini, bukankah kita telah dapat menemukan letak kekurangan argumentasi Bildad? Bildad bicara mengenai hukuman lahiriah orang-orang fasik, padahal nyatanya banyak orang-orang Fasik yang justru mengalami beragam kenikmatan duniawi saat ia hidup di dunia. Maka, walau secara retoris dan simbolik ucapan Bildad menggugah, kebenaran mutlak tidak ada padanya.
Argumentasi yang cukup membuat kita memicingkan mata ialah saat Bildad menggambarkan kematian dan penderitaan sebagai “perangkap” yang tersembunyi, seolah-olah hidup adalah ladang jebakan bagi mereka yang tidak berhati-hati. Ia meyakini bahwa kejahatan membawa konsekuensi yang pasti, bahwa orang fasik pada akhirnya akan tertangkap oleh rancangannya sendiri. Di satu sisi, ini mengandung kebijaksanaan—bahwa hidup yang dipenuhi tipu daya dan kebencian memang cenderung menghancurkan pelakunya. Namun, saat kebenaran ini dipaksakan pada orang yang sedang menderita tanpa tahu sebabnya, ia berubah menjadi kekerasan verbal, seperti yang dilakukan Bildad pada Ayub.
Maka berhati-hatilah saat kita merasa bisa menebak atau merengkuh segala kemungkinan yang ada. Sesungguhnya kita adalah manusia yang penuh keterbatasan. Sesuatu yang dapat kita lakukan adalah menjalani hidup sebaik-baiknya seraya mencari kehendak Tuhan dalam segala sesuatu termasuk melalui segala penderitaan yang kita alami. Konsekuensi tindakan manusia adalah hak prerogatif Allah untuk menentukan, kita sebagai ciptaan yang terbatas harus berhati-hati dalam menilai atau menghakimi sesama.