Hidup sering dipandang sebagai perjalanan yang bergerak di antara dua kutub: terang dan gelap, keteraturan dan kekacauan, kehidupan dan kematian. Namun, siapa yang menentukan di mana seseorang berpijak? Apakah penderitaan merupakan tanda kejahatan, dan keberhasilan tanda kebenaran? Di bagian akhir pasal 18 ini, kita berhadapan dengan gambaran paling mengerikan dari nasib orang fasik menurut Bildad. Ia tidak lagi menasihati, tetapi mengutuk. Ia tidak lagi berdiskusi, melainkan menghakimi. Dan dalam retorikanya yang gelap, kita dihadapkan pada refleksi mendalam tentang bagaimana ketakutan, kematian, dan kehampaan bisa menjadi bagian dari hidup manusia—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual.
Ayub 18:11–21 menyuguhkan potret simbolik tentang kehancuran mutlak orang fasik. Bildad menggambarkan mereka sebagai sosok yang dikejar oleh teror dari kuasa maut (Ayub 18:11), Kulit bahkan tubuhnya dimakan penyakit (ay. 13), dan akhirnya diusir dari terang ke dalam kegelapan (Ayub 18:18). Mereka kehilangan segalanya: tempat kediamannya, keturunan, bahkan ingatan akan keberadaan mereka pun dilenyapkan (Ayub 18:17, 19). Dalam pemikiran kuno, ini bukan sekadar kematian biologis, tetapi pemusnahan total dari segala identitas dan warisan. Ditegaskan pula bahwa semua itu terjadi karena mereka “tidak mengenal Allah” (Ayub 18:21)—bukan dalam arti tidak tahu, tetapi karena tidak hidup dalam ketaatan kepada-Nya.
Teks ini penuh dengan metafora kosmis, menggambarkan bahwa alam semesta pun seolah tidak memberikan tempat bagi orang fasik, karena "tempat mereka" dihapus dari tatanan kosmik. Namun, penting untuk kita sadari bahwa ini adalah perspektif Bildad—pandangan dari seseorang yang meyakini teologi retribusi mutlak yakni sebuah keyakinan bahwa setiap tindakan manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan, baik ganjaran atau hukuman, sesuai dengan perbuatannya. Dalam pemahamannya, Ayub pantas mendapat malapetaka karena ia dianggap fasik. Namun seperti yang kita lihat di akhir kitab, Tuhan justru menegur Bildad dan para sahabatnya karena tidak berkata benar tentang-Nya (Ayub 42:7).
Gambaran kematian yang disuguhkan Bildad menjadi simbol dari keadaan batin yang jauh dari Tuhan: hidup dalam ketakutan, kehilangan makna, tercabut dari relasi, dan terasing dari cahaya pengharapan. Ini bukan sekadar ancaman bagi pelanggar hukum moral, tetapi peringatan akan pentingnya mengenal dan berjalan bersama Allah, bukan hanya di masa damai, tetapi juga di tengah penderitaan. Hal tersebut penting untuk kita ingat dalam menjalani peziarahan hidup sehari-hari.