Kata-kata yang kita ucapkan memiliki kuasa yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Dalam kata-kata tersebut ada nasehat yang menggugah jiwa atau pedang tajam yang menyayat-nyayat jiwa. Bukankah dalam hidup yang kita jalani, pernyataan tersebut mendapatkan pembuktiannya? Terlintas berbagai kesempatan saat hati terluka karena kata yang diucapkan orang lain, ataupun jiwa yang diliputi kesukacitaan dikarenakan kalimat penghiburan yang menggugah jiwa.
Pada bacaan kali ini kita melihat tanggapan Ayub atas ucapan keras yang disampaikan oleh Bildad, sahabatnya. Pasal sebelumnya memperlihatkan teguran Bildad yang memperingati Ayub agar tidak menjadi seperti orang-orang fasik yang akan menerima ganjaran hebat atas perbuatan mereka. Ucapan keras itu tidak menggambarkan kenyataan sesungguhnya yang tengah dijalani Ayub, karena Ayub bersikeras sebagai yang benar di hadapan Allah. Maka pada Ayub 19:1 dengan lantang Ayub berseru, “Berapa lama lagi kamu menyakiti hatiku, dan meremukkan aku dengan perkataan?” Dengan menyampaikan kalimat tersebut, Ayub hendak menjawab pertanyaan Bildad yang selalu menganggap Ayub berkeras hati dengan bertanya “berapa lama lagi?”. Ayub menegaskan bahwa sudah sebanyak sepuluh kali mereka menghinanya dan tidak ada sedikitpun keraguan untuk menyiksanya. Kalimat tersebut untuk menunjukkan telah begitu seringnya mereka mengajukan serangan dan tuduhan kepada Ayub.
Jika Ayub memang sungguh tersesat atau menyimpang dari jalan Tuhan, maka baginya segala konsekuensi yang akan dihadapi merupakan bagian dari pertanggung jawabannya secara pribadi kepada Allah. Hal tersebut tidak menjadi urusan dari para sahabat-sahabatnya dan bukan bukti dari kebenaran atas segala pendapat-pendapat mereka. Sebab persis seperti itulah yang hendak dikerjakan oleh mereka, yakni menjadikan celaka yang diderita Ayub sebagai bukti kesalahan Ayub serta kebenaran dari argumentasi mereka. Ucapan mereka pada akhirnya semata-mata bukanlah upaya untuk mengembalikan Ayub ke jalan yang benar, melainkan pembuktian atas kebenaran pernyataan mereka.
Ayub sekali lagi mencoba untuk menggaris bawahi posisinya dalam ayat 7-12 bahwa Ia merasa didesak dari berbagai sisi melalui derita yang dialaminya. Allah sendirilah yang berada di balik itu semua. Ayub merasa bahwa Allah murka kepadanya dan seolah-olah menempatkan Ayub sebagai lawan. Ia terdesak dan merasa terkepung, bahkan kediaman-Nya pun tidak lagi menjadi tempat amannya.
Bacaan kita kali ini paling tidak menyediakan sebuah gambaran yang jelas atas suara seorang korban yang tertindas dalam persekusi verbal yang justru dilakukan oleh sahabat-sahabatnya. Seharusnya lewat seruan Ayub kita dapat berefleksi tentang apa yang mungkin selama ini telah diperbuat kepada orang-orang di sekeliling kita. Jangan-jangan kata-kata kita telah menyakiti seseorang dan menorehkan luka yang begitu dalam pada benak seseorang. Maka mintalah ampun kepada Tuhan atas segala sesuatu yang telah kita lakukan baik itu disengaja atau tidak disengaja serta melukai hati sesama kita. Pada saat yang sama kiranya Tuhan juga memulihkan hati kita yang mungkin saja juga pernah dilukai melalui perkataan-perkataan orang lain.