Praktik kesaksian sudah menjadi bagian dari budaya hidup beriman umat Tuhan. Setiap kelompok gereja pun memiliki tradisi praktik yang mereka sebut sebagai ‘kesaksian’ tersebut. Banyak pula yang menjadikan kisah hidupnya sebagai bagian dari kesaksiannya kepada khalayak ramai. Kisah hidup itu biasanya berisikan pengalaman personal mengenai perubahan hidup yang mereka alami, entah dari keterpurukan menuju kebangkitan hidup secara finansial, mental maupun spiritual, maupun perubahan hidup dari yang tidak terlalu mengenal Kristus menjadi pribadi yang memiliki ikatan relasi yang intim dengan-Nya. Tentu hal ini bukanlah hal yang salah atau keliru sebagai praktek hidup beriman, sejauh hal tersebut dilakukan dalam alasan dan tujuan yang bertanggung jawab. Salah satu indikator yang perlu dijawab secara personal dan jujur di hadapan Allah oleh setiap pemberi kesaksian semacam itu adalah, “apakah saya melakukannya demi kemuliaan Kristus atau sesungguhnya sekadar pemenuhan aktualisasi diri saya di hadapan manusia lainnya?” Jawaban terhadap pertanyaan ini pun penting untuk kita gumuli sebagai umat Tuhan yang bersaksi.
Paulus pun sedang memberikan kesaksian mengenai pengalaman transformasi hidupnya dari yang sebelumnya tidak mengenal Kristus mejadi pemberi kesaksian atas kuasa-Nya. Paulus telah diubahkan menjadi seorang pengajar umat Tuhan, bukan karena kemampuannya melainkan karena kuasa Tuhan yang mewujudkan itu semua terjadi. Kesaksian ini pun tidak dimaksudkan untuk meninggikan dirinya, melainkan menekankan kuasa Kristus yang mengubahkannya.
Sahabat Alkitab, kesaksian Paulus yang kita baca dan renungkan hari ini merupakan bentuk karya transformasi yang Tuhan lakukan pada hidup umat Tuhan. Kita pun dihantarkan pada sebuah nilai bahwa perubahan hidup dari seorang umat Tuhan akan menghadirkan sukacita bagi dunianya, bukan justru sekadar ajang kebanggaan personal. Hal ini berarti setiap orang yang mengaku dan mengamini telah mengalami perubahan hidup oleh Kristus, idealnya menghadirkan dampak sukacita bagi dunianya, yaitu keluarganya, pertemanannya, lingkungan kerjanya dan lingkungan bermasyarakatnya. Sungguh disayangkan jika seorang umat yang menggembar-gemborkan kepada khalayak ramai bahwa ia telah diubahkan oleh Tuhan, justru menampilkan sikap hidup beriman yang penuh keangkuhan, haus penghormatan dan kesombongan terhadap sesama yang ia anggap tidak lebih baik secara iman daripada dirinya. Tentu, ini bukanlah perubahan hidup beriman yang nyata, melainkan sebuah kesemuan dari kondisi beriman yang perlu segera ditinggalkan.