Kehidupan mempertemukan kita pada situasi yang tak selalu menyenangkan. Ada masa, ketika langit terasa tertutup awan kelabu—doa seakan tak menembus surga, dan kita merasa Tuhan begitu jauh. Di saat seperti itu, godaan untuk meragukan kasih dan keadilan Allah begitu besar. Ayub mengalami momen semacam ini. Ditambah, ia juga mendapat tuduhan yang keras dari sahabatnya, Elifas.
Dalam Ayub 22:11–20, Elifas menuduh Ayub sebagai orang fasik yang hidup dalam kegelapan, ketakutan, dan kesombongan rohani. Ia menggambarkan Ayub seolah menyangka bahwa Tuhan, yang tersembunyi di balik awan, tidak dapat melihat perbuatannya (ayat 13–14). Elifas menyamakan Ayub dengan orang-orang jahat zaman dahulu yang merasa bisa hidup tanpa Allah, tetapi akhirnya binasa oleh murka Tuhan. Secara teologis, apa yang dikatakan Elifas memang benar, Tuhan memang Maha Tahu dan Maha Kuasa, tidak ada yang tersembunyi dari hadapan-Nya. Namun ia salah dalam penerapannya. Ia gagal memahami bahwa penderitaan tidak selalu berarti hukuman. Di balik retorika rohaninya, Elifas lebih sibuk membela doktrin dan pengertiannya sendiri ketimbang memahami penderitaan sahabatnya.
Sahabat Alkitab, berhati-hatilah dalam menilai penderitaan orang lain. Tuhan memang tinggi di langit, tetapi Ia juga dekat di hati yang remuk. Ketika orang lain bergumul dalam gelap, panggilan kita bukan menghakimi, melainkan menemani, menjadi sahabat yang bersedia mendengar dan menjadi teman dalam proses pemulihannya.
Awan bisa menutupi pandangan kita ke langit, tetapi tidak pernah menutupi pandangan Tuhan kepada kita. Dalam kegelapan hidup, iman bukanlah soal mengerti semua jawaban, tetapi percaya bahwa Allah tetap melihat, peduli, dan bekerja—bahkan di balik awan kelabu sekalipun. Maka, jadilah sahabat yang hadir, bukan hakim yang menekan. Di dunia yang sering terlalu cepat menilai, kiranya kita menjadi suara kasih yang menguatkan.