Beberapa tahun lalu, dunia diguncang oleh berita tentang seorang nenek di suatu pelosok negeri yang dipenjara karena mencuri beberapa buah kakao dari sebuah perkebunan besar. Ironisnya, di waktu yang hampir bersamaan, tersiar berita dari daerah lain tentang pengusaha yang terbukti merampas ribuan hektar tanah adat lolos dari jerat hukum karena “kurangnya bukti.” Di ruang pengadilan yang seharusnya menjadi tempat penegakan keadilan, keadilan justru terasa seperti kemewahan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang berkuasa.
Kisah demikian bukan satu-satunya dan tampaknya selalu ada di setiap zaman, salah satunya tergambar dalam kisah Ayub 24:3–14. Dunia seringkali membiarkan pelaku-pelaku kejahatan berjalan dengan kepala tegak, dan yang lemah dibiarkan tergeletak di tepi jalan. Inilah dunia yang membuat Ayub menangis, bukan hanya karena luka pribadinya, tetapi karena luka dunia yang dibiarkan menganga. Ayub menyuarakan jeritan mereka yang tak bersuara, anak yatim yang keledainya dirampas (ayat 3), janda yang kehilangan jaminannya, orang miskin yang dipaksa mencari makan di padang tandus (ayat 4–5). Gambaran ini bukan sekadar keluhan sosial, melainkan sebuah protes moral terhadap sistem yang rusak. Ayub melihat, seperti kita pun melihat hari ini, bahwa yang jahat tidak selalu dihukum, dan yang benar tidak selalu dibela. Namun lebih dari itu, Ayub gelisah karena Allah tampak diam. Ia tidak hanya mempersoalkan manusia, tetapi juga menyasar hal-hal yang membuat ketidakadilan berakar. Inilah bentuk kritik terdalam atas penghayatan iman personal yang seolah-olah menemui jalan terjal, ketika yang Ilahi seakan-akan tidak terlibat dan tidak tergugah atas seruan umat-Nya. Ayub meminta penjelasan Allah atas derita yang merajarela. Ia tidak membenci-Nya, melainkan percaya bahwa Allah seharusnya berpihak pada yang tertindas.
Sahabat Alkitab, renungan hari ini mengajak kita untuk tidak menjadi apatis terhadap ketidakadilan di sekitar kita. Dunia boleh diam, sistem boleh rusak, tapi nurani kita harus tetap terjaga. Kita dipanggil bukan hanya untuk menjadi benar, tetapi juga untuk berani menyuarakan yang benar. Seperti Ayub, kita boleh bertanya, bahkan menangis di hadapan Tuhan—karena iman yang sejati bukanlah iman yang bungkam, melainkan iman yang hidup dan terus mencari wajah Allah.