Sebagai orang Kristen terutama di Indonesia kita harus menyadari bahwa banyak orang tidak dapat menerima konsep keilahian Yesus Kristus. Dalam sanggahan mereka terhadap doktrin mendasar kekristenan itu ialah tidak mungkin seorang manusia di saat yang sama juga sosok Tuhan yang disembah manusia. Pemahaman tersebut sesungguhnya menyingkapkan sebuah pola pikir yang terbalik. Justru karena Ia adalah Tuhan maka sangatlah mungkin dalam kemahakuasaan-Nya, Ia memilih menjadi manusia untuk menyelamatkan ciptaan-Nya.
Kemuliaan dan keilahian-Nya kembali ditegaskan dalam Injil Markus 9:7-13. Dalam episode dimuliakannya Yesus di atas gunung disaksikan oleh ketiga murid-Nya, "datanglah awan" menaungi mereka. Maksudnya ialah "awan kemuliaan ilahi", "wujud kehadiran Allah dalam kemuliaan-Nya".Lalu terdengar suara dari awan kemuliaan ilahi itu, suara Allah sang Bapa, "Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia." Penyingkapan status Yesus ini paralel dengan penyingkapan yang telah terjadi sebelumnya, ketika "langit terbuka" sesaat sesudah Yesus dibaptis, yang didengar oleh Yesus saja: "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan." (Markus 1:9-11). Seluruh peristiwa menakjubkan tersebut berpuncak pada pernyataan keilahian Kristus dan oleh sebab itu sudah sepantasnya bila manusia mendengarkan-Nya.
Pesan untuk mendengarkan Dia mungkin dimaksudkan oleh penulis Injil Markus untuk meredakan kegundahan para murid yang mungkin mendapat banyak tantangan dari luar yang meragukan Sang Mesias. Bagi kita saat ini-pun pesan untuk mendengarkan Sang Anak sungguh saat relevan. Di tengah kebisingan dunia modern yang menjejali mata dan telinga kita, masihkah kita teduh sejenak dan mendengarkan suara-Nya dengan sungguh. Suara yang menyapa kita untuk memberitahu bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan. Suara yang menguatkan kita di tengah banyaknya suara yang mungkin mencoba untuk meragukan karya-Nya.