Apakah Kitab Mazmur mampu menjadi sumber inspirasi di saat hati kita dilanda kegalauan, kedukaan, getir, dan ketidakpastian? Jawabannya: ya. Di dalam 150 pasal Kitab Mazmur, tersimpan warisan iman yang sangat berharga bagi umat percaya. Mazmur tidak lahir dalam ruang aman yang jauh dari pergumulan hidup, tetapi justru hadir sebagai suara iman yang bergumul di tengah gejolak kehidupan sehari-hari. Di saat suka dan duka yang datang silih berganti dalam kehidupan umat Tuhan.
Tidak heran Martin Luther menyebut Mazmur sebagai “Alkitab mini.” Sebab di dalamnya, firman Tuhan tidak semata hadir sebagai pesan dari atas ke bawah, melainkan sebagai seruan dari bawah ke atas, suara manusia yang berseru, menangis, memuji, meratap, memohon, dan berharap kepada Allah. Kitab Mazmur menjadi buku doa umat: kumpulan nyanyian yang mengiringi langkah umat Tuhan dalam perjalanan panjang hidupnya.
Mazmur tersusun dalam lima bagian (Mazmur 1–41; 42–72; 73–89; 90–106; 107–150). Setiap bagian ditutup dengan doksologi yang menegaskan bahwa pergumulan iman manusia selalu berakhir pada pujian dan penyembahan. Kata terakhir dalam keseluruhan Kitab Mazmur adalah Haleluya, sebuah pengingat bahwa selama kita masih bernafas, hidup ini diarahkan untuk memuliakan Tuhan.
Mazmur sebagai Potret Realitas
Bahasa Ibrani menyebut mazmur sebagai מִזְמוֹר (mizmor), nyanyian yang diiringi alat musik berdawai. Namun kandungannya lebih dari sekadar lagu pujian; ia juga mencakup ratapan, keluhan, doa, pertobatan, dan pekik keadilan. Mazmur 1 bahkan menjadi pintu masuk yang menegaskan tujuan kitab ini: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut ajakan orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk di komplotan pencemooh,”
Namun di antara Mazmur 1 dan Mazmur 150 yang penuh pujian, terdapat jalan panjang penuh pergumulan. Walter Brueggemann, pakar Perjanjian Lama, menjelaskan bahwa Mazmur menggambarkan tiga fase pengalaman iman: orientasi (hidup terarah dan sejahtera), disorientasi (hidup kacau dan gelap), dan reorientasi (pemulihan dan pengharapan baru). Begitulah hidup umat Tuhan, tidak pernah mulus, tetapi selalu berada dalam genggaman kasih Allah.
Disorientasi: Saat Hidup Dikepung Maut
Disorientasi merupakan realitas yang sangat manusiawi. Pandemi kemarin mengingatkan kita bahwa kehidupan begitu rapuh, seperti pemazmur yang menulis, “Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku, supaya aku menyadari betapa fananya aku!” (Mazmur 39:5 TB2). Ketika kematian terasa begitu dekat dan hidup tampak tak aman, pemazmur berani berseru, “Sekarang, apakah yang kunanti-nantikan, ya Tuhan? Harapanku hanya pada-Mu” (Mazmur 39:8 TB2).
Iman tidak meniadakan realitas pahit, tetapi memberi poros untuk berdiri tegak ketika dunia runtuh di sekitar kita. Inilah realisme yang berpengharapan. Sikap iman yang tidak menolak kenyataan, tetapi menemukan terang di tengah pekatnya gelap.
Mazmur 90, yang sering dibacakan pada ulang tahun, sesungguhnya adalah refleksi mendalam tentang kefanaan manusia. Gerhard von Rad menyebutnya sebagai meditasi tentang kesia-siaan hidup dan kematian. Walau dikaitkan dengan Musa - לְמֹשֶׁה (Le-Moshe), penulisnya tidak pasti, karena huruf ibrani ל (Lamed) sering muncul sebagai awalan yang bisa diartikan sebagai kata: kepada, untuk, atau milik/oleh. Misalnya:
לְמֹשֶׁה — Le-Moshe → kepada/milik Musa
לְדָוִד— Le-David → kepada/milik Daud
לַיהוָה — La-Adonai → kepada/milik TUHAN
Namun yang pasti, ia berseru kepada Allah sebagai perteduhan turun-temurun, bahkan ketika murka dan keterbatasan hidup manusia tampak menyesakkan.
Sakit, Kesepian, dan Keheningan yang Menyakitkan
Mazmur juga menjadi suara bagi mereka yang terbaring dalam sakit, merasa ditinggalkan, bahkan oleh orang terdekatnya, “Sahabat-sahabatku dan teman-temanku menyingkir karena penyakitku, dan sanak saudaraku menjauh.” (Mazmur 38:12 TB2).
Situasi ini sangat akrab kala pandemi covid melanda: orang sakit bukan hanya menderita secara fisik, tetapi juga secara emosional dan spiritual. Mereka merasa sendiri, tak tersentuh, seolah dilupakan. Prof. Berthold A. Pareira mengingatkan bahwa sentuhan manusiawi (kehadiran, doa, perhatian) sangat berarti bagi mereka yang berada di ambang maut.
Selanjutnya, Mazmur 41 menyaksikan pahitnya hati yang dikhianati. “Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang biasanya makan sehidangan dengan aku, angkat tumit terhadap aku.” (Mazmur 41:10 TB2). Artinya, penderitaan sering disertai luka batin yang lebih dalam. Namun kitab ini juga mengingatkan bahwa mengampuni merupakan jalan menuju pemulihan bagi tubuh dan jiwa.
Ketika Tuhan Terasa Jauh
Mazmur paling kelam mungkin adalah Mazmur 88. Tidak ada pujian di akhir pasalnya, hanya ratapan dan rasa gelap yang penuh, “Sebab jiwaku jenuh dengan malapetaka, dan hidupku sudah dekat dunia orang mati” (Mazmur 88:4 TB2). “Telah Kautaruh aku dalam liang kubur yang paling bawah, di dalam kegelapan, di tempat yang dalam” (Mazmur 88:7 TB2). Namun justru di titik inilah iman diuji dan dimurnikan. Mazmur menunjukkan bahwa dialog dengan Tuhan tetap mungkin, bahkan saat yang kita teriakkan hanyalah “Mengapa?”.
Pemazmur pun bernegosiasi, “Apakah Kaulakukan keajaiban bagi orang mati? Bagaimana mungkin arwah bangkit untuk bersyukur kepada-Mu” (Mazmur 88:11 TB2). Sebuah jeritan agar hidup diberikan kesempatan untuk tetap memuji Tuhan.
Pada akhirnya, iman memegang janji ini, “Sungguh berat bagi TUHAN kematian orang yang dikasihi-Nya.” (Mazmur 116:15 TB2). Allah tidak pernah menutup mata atas air mata umat-Nya.
Yesus pun Bermazmur dalam Penderitaannya
Puncak solidaritas Allah terhadap penderitaan manusia tampak di kayu salib, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mazmur 22:2a TB2). Yesus sendiri berdoa memakai Mazmur, Mazmur orang yang merasa ditinggalkan. Dengan demikian, Tuhan Yesus hadir bukan hanya sebagai Penebus, tetapi juga sebagai Sahabat dalam penderitaan. Ia mengenal gelapnya lembah maut yang kita lalui.
Penutup
Di tengah kepungan maut, Mazmur mengajak kita untuk tetap bersuara: meratap jika perlu, menangis bila harus, dan pada waktunya memuji Tuhan kembali. Karena selama nafas masih ada, hidup ini tetap berada dalam pelukan Allah yang setia.
“Perspektif iman menolong kita menyikapi hidup, termasuk ketika berhadapan dengan kematian.” (Pdt. Anwar Tjen, Ph.D.)






















