Bincang Alkitab | Lady Mandalika
Masa Adven secara teologis dipahami sebagai waktu penantian dan pengharapan, sekaligus ruang refleksi iman. Dalam tradisi gerejawi, Adven bukan sekadar persiapan liturgis menuju Natal, melainkan momentum untuk menafsir ulang perjalanan hidup umat sepanjang tahun, yang diwarnai oleh sukacita sekaligus kesedihan. Namun, dalam praktik keseharian, Adven kerap direduksi menjadi romantisme spiritual yang terlepas dari realitas konkret kehidupan. Situasi bencana yang melanda berbagai wilayah di Indonesia menantang pemahaman semacam ini dan memaksa umat beriman untuk kembali mempertanyakan makna pengharapan, keselamatan, dan kehadiran Allah di tengah krisis.
Pengharapan Adven dan Tantangan Eskatologis
Salah satu problem teologis yang mengemuka dalam masa Adven adalah kecenderungan memahami pengharapan secara semata-mata eskatologis, yakni sebagai realitas yang sepenuhnya berada di masa depan. Kerajaan Allah dibayangkan sebagai sesuatu yang “nanti,” setelah dunia yang kini dianggap rusak dan penuh dosa ini berlalu. Pemahaman ini berisiko melahirkan sikap pasif dan keterasingan umat dari pergumulan dunia. Padahal, kesaksian Alkitab, sejak para nabi hingga Yesus dan para rasul, justru menegaskan bahwa iman harus terus berakar dalam realitas kehidupan sosial, politik, dan ekologis manusia.
Bencana, Teodise, dan Pergeseran Pertanyaan Iman
Dalam konteks bencana, pertanyaan teodise “di manakah Tuhan?” sering kali muncul. Namun, dalam perkembangan refleksi iman kontemporer, pertanyaan ini mulai bergeser. Banyak penyintas dan komunitas terdampak tidak lagi berhenti pada pencarian sebab ilahi, melainkan menyaksikan kehadiran Allah melalui wajah-wajah para relawan, komunitas solidaritas, dan tindakan kasih yang konkret. Dengan demikian, fokus refleksi iman bergerak dari spekulasi teologis menuju pertanyaan praksis: apa yang harus dilakukan sebagai komunitas beriman untuk menghadirkan pengharapan di tengah penderitaan?
Yeremia dan Pengharapan di Tengah Krisis
Kitab Yeremia, khususnya Yeremia 33:14–16, menawarkan kerangka teologis yang relevan bagi refleksi Adven di tengah bencana. Nubuat tentang “tunas keadilan” yang akan menegakkan keadilan dan kebenaran disampaikan dalam konteks krisis nasional: ancaman penaklukan Babel dan pengalaman pembuangan. Menariknya, pengharapan yang diberitakan Yeremia bukan berupa janji kemenangan instan, melainkan ajakan untuk menghadapi realitas pahit dengan keberanian iman. Bahkan dalam Yeremia 38:17, penyerahan diri kepada Babel justru dipahami sebagai jalan hidup. Di sini, pengharapan tidak berarti lolos dari krisis, melainkan bertahan dan hidup di dalamnya dengan penyertaan Allah.
Dari Polikrisis ke Metakrisis: Membaca Krisis Secara Teologis
Dalam konteks Indonesia, wacana “polikrisis” sering digunakan untuk menggambarkan tumpukan krisis sosial, politik, ekonomi, dan ekologis. Namun, kritik teologis terhadap istilah ini, sebagaimana dikemukakan oleh Joas Adiprasetya, mengusulkan pemahaman “metakrisis,” yakni kesadaran bahwa manusia tidak berdiri di luar krisis, melainkan terlibat dan berproses di dalamnya. Perspektif ini sejalan dengan nubuat Yeremia yang tidak mengajak umat untuk melarikan diri dari krisis, tetapi untuk mengambil keputusan etis dan eksistensial di tengahnya. Krisis, dengan demikian, menjadi ruang transformasi iman dan praksis keadilan.
Adven, Eskatologi, dan Tanggung Jawab Ekologis
Refleksi Adven di tengah bencana juga menuntut perluasan horizon eskatologis. Pemikiran Catherine Keller tentang eskatologi ekologis menegaskan bahwa pengharapan Kristen tidak hanya menyangkut keselamatan manusia, tetapi juga seluruh ciptaan. Bencana alam tidak dapat dilepaskan dari relasi manusia dengan alam dan konsekuensi dari tindakan eksploitatif. Oleh karena itu, pengharapan Adven harus diwujudkan dalam pertobatan ekologis, solidaritas dengan sesama makhluk, dan komitmen pada keadilan ekologis sebagai bagian integral dari iman Kristen.
Penutup: Mengerjakan Pengharapan di Masa Kini
Masa Adven di tengah bencana menantang umat beriman untuk memahami pengharapan bukan sebagai penantian pasif akan intervensi ilahi di masa depan, melainkan sebagai panggilan untuk mengerjakan keadilan dan kebenaran sejak sekarang. Pengharapan itu hadir dalam tindakan-tindakan sederhana: doa, solidaritas, berbagi sumber daya, dan keberpihakan kepada mereka yang menderita. Dengan demikian, Adven menjadi ruang di mana iman bertemu dengan realitas, dan pengharapan eskatologis diwujudkan dalam praksis kasih yang konkret, sebuah kesaksian bahwa Allah tetap bekerja di tengah dunia yang terluka.

























