Koperasi Bukan Organisasi Kaleng-Kaleng

Berita | 4 Juli 2022

Koperasi Bukan Organisasi Kaleng-Kaleng


 

Purwokerto, sebuah kota di Jawa Tengah, di kaki Gunung Slamet. Bagi para pecinta kuliner, Purwokerto adalah ikon untuk Soto (H. Loso) Jalan Bank yang segar namun legit, apalagi ditambah dengan se porsi tempe mendoan hangat yang khas Purwokerto/Banyumasan. Namun tulisan ini tidak akan berbicara tentang kuliner, namun sesuatu yang lebih besar dari itu, yang kini menjadi salah satu penyangga ekonomi nasional.

Di ujung Jalan Bank itu terdapat sebuah bangunan tua “Museum Bank Rakyat Indonesia” yang berseberangan  dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Jl. R. Aria Wirjatmadja, Purwokerto. Raden Aria Wirjatmadja adalah sebuah legenda bagi dunia perbankan dan koperasi nasional. 

Sebagai Patih Banyumas yang berkedudukan di Purwokerto, suatu hari Raden Aria menghadiri hajatan dari pejabat yang menjadi bawahannya. Beliau terkejut dengan kemegahan upacara adat yang diselenggarakan. Sebuah upacara megah yang jelas diluar batas kemampuan bawahannya tersebut. Raden Wirjatmadja pun bertanya kepada bawahannya itu, “Darimana asal semua dana yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara semegah ini?”. Sang bawahan pun mengaku bahwa ia meminjam dana dari seseorang yang memang dikenal suka meminjamkan uang dengan bunga tinggi. Raden Wirjatmadja termenung. Kapan bangsa sendiri bisa maju jika sebagai pejabat pemerintah masih tergantung pada rentenir. Tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi secara mandiri.

Pada waktu itu di Eropa sedang berkembang pemikiran Friedrich Wilhelm Raiffeisen yang menyatakan bahwa, “Ada keterkaitan antara kemiskinan dan ketergantungan. Untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat harus melawan ketergantungan itu. Berdasarkan gagasan ini, Raiffeisen menawarkan Formula “3S”, yakni self-help, self-goverrnance dan self-responsibility. Dengan demikian, seseorang bisa bebas dari ketergantungan atas belas kasihan orang lain (charity), keterikatan dengan (partai) politik dan keterikatan dengan “lintah darah”/rentenir.” Filosofi Raiffeisen inilah yang kemudian melahirkan gerakan koperasi di Eropa dengan berbagai nama seperti Koperasi Raiffeisen, BPR Raifeisen, dll.

Mengadopsi pemikiran Raiffeisen, R. Aria Wirjaatmadja mendirikan “De Purwokertosche Hulp en Spaarbank Der Inlandsche Hoofden” yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai “Bank Tabungan untuk Menolong Pegawai Pemerintah Pribumi” pada tahun 1895, atau dalam terminologi sekarang adalah BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Bank yang diinisiasi oleh R. Aria Wirjaatmadja inilah yang sekarang dikenal sebagai BRI (Bank Rakyat Indonesia) yang berspesialisasi dalam pemeberian kredit di pedesaan.

Kepekaan hati seorang R. Aria Wirjaatmadja inilah yang hingga seabad kemudian menghasilkan sebuah konglomerasi bisnis yang tetap melayani orang-orang kecil di pedesaan, para petani, nelayan, pelaku UMKM mengembangkan usaha dan memperbaiki kehidupannya. Raden Wirjaatmadja menyadari, bahwa untuk mengentaskan ketergantung para pegawai pemerintah pribumi tidak mungkin ia lakukan sendiri, untuk itu ia harus menghimpun para pegawai tersebut dalam sebuah perkumpulan yang mampu menolong diri sendiri, tidak berafiliasi pada partai politik. Dampaknya bisa dirasakan oleh mereka sendiri. 

Sebagai umat Kristiani, apa yang dilakukan oleh Raden Wirjaatmadja mengingatkan kita pada sebuah ayat Alkitab yang berbunyi, “Hendaklah kalian saling membantu menanggung beban orang, supaya dengan demikian kalian mentaati perintah Kristus” [Galatia 6:2]. Koperasi dengan motto “Dari, oleh, dan untuk rakyat” memperkuat keinginan anggotanya untuk mengelola uang mereka sendiri secara adil dan sepenanggungan. Untuk itu, bank yang didirikan oleh R. Arya Wirjaatmadja berbentuk sebagai sebuah koperasi. Para nasabah adalah sekaligus pemegang saham, dan berlaku “one man one vote”. Keputusan koperasi tidak ditentukan oleh para investor, melainkan oleh para anggota. Jadi, bank seyogyanya didirikan untuk kesejahteraan anggota/nasabah, bukan demi kepentingan investor.

Hal yang serupa juga dilakukan oleh sekelompok guru di Magelang, Jawa Tengah pada tahun 1912. Demi menjamin kesejahteraan para guru setelah pensiun mereka mendirikan “Onderlinge Lavenzakering Maatschapij Persatoean Goeroe-Goeroe Hindia Belanda” (Perusahaan Asuransi Usaha Bersama Persatuan Guru-Guru India Belanda). Perusahaan Asuransi berbentuk koperasi.

Demikian pula Moh. Hatta, wakil presiden pertama kita, yang kuliah di Belanda pada awal abad XX juga dipengaruhi oleh pemikiran Raiffeisen dan gerakan koperasi di Eropa ikut menyumbang pemikirannya pada perumusan UUD ’45 pada pasal 33 ayat 1 yang berbunyi, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Dengan pernyataan ini Hatta menginginkan (dengan memperhatikan pasal 33 ayat 2,3,4) bahwa perekonomian nasional akan disokong oleh 3 pilar yakni BUMN, Sektor Swasta dan Koperasi.

Di negeri kita mungkin masih banyak yang meragukan peran koperasi dalam perekonomian nasional. Banyak yang bersikap apatis dengan menghubungkan koperasi sebagai produk Orde Baru yang sudah usang. Namun tahukan Saudara, bahwa Belanda adalah pengekspor bunga potong terbesar di dunia, dan bisnis tersebut dilakukan oleh koperasi petani bunga nasional Belanda. Saya ingatkan juga bagi para pehobi membuat kue tentu tidak asing dengan merk kismis Sunmaid Raisins, ternyata merk ini adalah merk dari koperasi petani anggur-kismis di California Amerika serikat. Jadi siapa bilang bahwa koperasi adalah organisasi kaleng-kaleng?

Merefleksikan perkembangan dua koperasi yang seabad kemudian mampu berkembang menjadi konglomerasi nasional, serta belajar dari koperasi petani bunga di Belanda atau petani anggur di California yang memasarkan Sunmaid Raisins, mungkin gereja atau sinode gereja khususnya yang banyak melayani umat di pedesaan atau wilayah terpencil di negeri ini dapat menginisiasi berdirinya koperasi diantara anggota jemaat untuk memberdayakan umat dan memperbaiki taraf hidup umat.  Saat ini sudah ada beberapa kisah sukses koperasi yang diinisiasi oleh gereja, seperti Koperasi Perempuan Waerana di Flores, Koperasi Bina Seroja di Jakarta Timur, Koperasi Muara Kasih di Pontianak yang berhasil meningkatkan taraf kehidupan umat. Dalam skala yang berbeda karyawan LAI juga membentuk koperasi karyawan  demi kesejahteraan bersama karyawan LAI. Tanggal 4 Juli adalah Hari Koperasi di negeri kita, mari kita berkoperasi untuk saling menanggung beban kita untuk menuju Indonesia Maju.

 

Pdt. Sri Yuliana



Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia