Ida B. Wells (kemudian dikenal sebagai Ida B. Wells-Barnett) lahir dari pasangan James dan Elizabeth Wells di Holly Springs, Mississippi, Amerika Serikat pada tahun 1862. Orang tuanya terlahir sebagai budak kulit hitam, dan Wells sendiri menjalani tiga tahun pertama hidupnya di tengah perbudakan sampai keluarga itu dibebaskan oleh Proklamasi Persamaan Hak yang dikumandangkan Presiden Abraham Lincoln pada tahun 1865.
Meski hanya mengalami masa singkat perbudakan, Ida dipengaruhi oleh pengalaman pahit orang tuanya. Ida tidak pernah melupakan bekas luka fisik maupun emosional yang dialami oleh ibunya sebagai akibat dari perbudakan. Paska pembebasan para budak, sang ibu Elizabeth, selama bertahun-tahun mencoba untuk menemukan kerabat mereka yang telah dijual ke pemilik yang berbeda. Sesuatu yang sia-sia dan tanpa hasil.
Ida juga menyaksikan ayahnya,James, berjuang untuk menegakkan dan melindungi martabat keluarga, sesuatu yang tidak mereka punyai saat diperbudak. Dia menggunakan pelatihan tukang kayunya untuk menghindari kehidupan sulit sebagai petani bagi hasil dan berusaha menafkahi keluarganya. Pada tahun 1867, ketika pria kulit hitam diizinkan untuk memilih tinggal di Mississippi untuk pertama kalinya, James meninggalkan majikan kulit putihnya dan memilih hati nuraninya.
James dan Elizabeth menjadikan belajar membaca sebagai salah satu prioritas pertama mereka setelah menjadi manusia merdeka. Ida B. Wells dan ketujuh adiknya tumbuh dengan menghargai pendidikan. “Tugas kami adalah pergi ke sekolah dan mempelajari semua yang kami bisa,” tulis Ida. Tetapi Elizabeth juga memastikan bahwa anak-anaknya tumbuh dengan menghargai Firman Tuhan. Ida selalu mengingat kebiasaannya membaca Alkitab bersama keluarganya setiap Minggu sore. Ia mulai membaca Kitab Suci sejak kecil. Saat Ida menginjak usia remaja, ia telah membaca seluruh isi Alkitab. Ida Wells menemukan bahwa pengajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam Kitab Suci memberinya “bimbingan, kekuatan, dan ketenangan selama sisa hidupnya.”
Sebagai remaja, Ida bersekolah di Rust College. Dia menganggap sebagian besar guru Episkopal Metodis Utara di sana sebagai "contoh keberanian Kristen yang luar biasa" karena mereka berjuang untuk memberikan pendidikan yang lengkap dan terbaik kepada orang-orang kulit hitam Amerika meskipun ada ancaman dan pelecehan dari beberapa komunitas lokal. Di Rust, Ida semakin memperdalam kecintaannya membaca saat dia berkenalan dengan karya penulis-penulis terkenal, seperti: Charles Dickens, Louisa May Alcott, dan Charlotte Brontë.
Ketika Ida menginjak berusia 16 tahun, orang tua dan adik bungsunya meninggal karena demam kuning (hepatitis), meninggalkannya untuk menafkahi enam saudara kandungnya yang tersisa. Lulus sekolah ia mendapatkan pekerjaan sebagai guru sekolah dan merawat saudara-saudaranya sambil terus belajar. Pada tahun 1881, dia dan dua saudara perempuan bungsunya pindah ke Memphis, Tennessee, di mana dia terus mengajar sampai dia dipaksa memilih panggilan baru sebagai seorang jurnalis.
Menghadapi Ketidakadilan
Ida Wells tumbuh selama masa-masa rekonstruksi nasional ketika orang-orang kulit hitam Amerika memperoleh kembali hak-hak dasar mereka yang sebelumnya tidak didapatkan selama masa perbudakan. Tetapi itu tidak lama, karena tak lama kemudian muncul undang-undang Jim Crow. Undang-undang ini berusaha untuk menerapkan kembali pemisahan masyarakat antara kulit putih dan kulit hitam. Mereka yang menolak undang-undang tersebut menghadapi intimidasi dan kekerasan.
Wells mengalami pengalaman pemisahan ini secara langsung. Waktu itu Ida berusia 22 tahun, dan dia membeli tiket kereta api kelas satu. Tak lama duduk di gerbong kelas satu, Ida dipaksa untuk berdiri dan pindah dari kursinya menuju gerbong yang disediakan khusus untuk warga kulit hitam. Ida amat marah dan kemudian menggugat perusahaan kereta api yang semena-mena. Ida Wells memenangkan gugatan terhadap perusahaan kereta api, tetapi kasusnya mendadak dibatalkan.
Pada tahun 1886, Ida Wells kehilangan jabatannya sebagai guru sekolah karena mengkritik pemisahan antara siswa kulit hitam dan putih di sekolah-sekolah Memphis. Ida memutuskan untuk melanjutkan perjuangannya melawan ketidakadilan ini dengan menulis bagi surat kabar lokal. Tiga tahun kemudian, dia menjadi pemegang saham di surat kabar Memphis Free Speech dan diangkat sebagai editor, menjadikannya pemilik bersama wanita pertama dan editor sebuah surat kabar kulit hitam. Di bawah nama pena "Iola", Ida Wells menjadi wartawan spesialis yang sering mengungkap praktik yang digunakan pemerintah dan orang-orang kulit putih untuk mengancam dan menghukum orang kulit hitam Amerika yang berjuang untuk kesetaraan. Salah satu taktik yang paling terkenal adalah hukuman mati tanpa pengadilan, atau eksekusi yang dilakukan oleh massa di luar sistem hukum.
Pada tahun 1892, massa menyeret penjual kelontong Thomas Moss dan dua pekerjanya, Calvin McDowell dan Will Stewart, dari sel penjara mereka dan menghukum mati mereka di luar Memphis. "Kejahatan" mereka adalah mempertahankan toko kelontong Moss dari vandalisme oleh saingan bisnis kulit putih.
Ida Wells pernah menjadi teman Moss. Dia menanggapi pembunuhan tersebut dengan mendedikasikan karirnya untuk mendokumentasikan dan mewartakan kejahatan serupa, yang seringkali tidak dilaporkan dan tidak dihukum. Dalam minggu-minggu setelah kematian Moss, dia melakukan perjalanan dari Texas ke Virginia untuk meneliti hukuman mati tanpa pengadilan dan mewawancarai saksi, sering kali mempertaruhkan nyawanya untuk mengungkap fakta. Dia menulis editorial dan pamflet yang menyebut tuduhan palsu yang sering dibuat terhadap para korban dan menyoroti kegagalan keadilan yang memungkinkan gerombolan agitator kulit putih membunuh tanpa takut akan hukuman. Secara total, Ida menulis dan mendokumentasikan lebih dari 728 kasus hukuman mati tanpa pengadilan yang terjadi antara tahun 1884 dan 1892.
Kampanye blak-blakan Ida Wells membuat marah banyak orang di Selatan. Ketika editor surat kabar kulit putih mencetak ulang salah satu editorial anti-hukuman mati untuk mengipasi api perpecahan rasial, kota Memphis meletus. Kantor surat kabar Well dibakar, peralatan percetakannya dihancurkan, dan rekan editornya terpaksa melarikan diri. Dia sedang berada di luar kota untuk menghadiri konferensi dan diancam akan dihukum mati tanpa pengadilan jika dia kembali ke Memphis.
Ida Wells kemudian menetap di Chicago dan mengubah nama penanya menjadi "Exiles (Orang Buangan)". Tapi dia terus berjuang mendokumentasikan dan menulis menentang hukuman mati tanpa pengadilan. Ida menyebut tujuannya menulis adalah untuk "membangkitkan hati nurani Amerika.
"Hukum, harus menjadi perisai bagi yang tidak bersalah, dan bagi mereka yang bersalah, hukumannya mesti cepat dan pasti,” demikian kata Wells dalam pidato yang disampaikan kemudian dalam karirnya.
Tetapi dia juga percaya bahwa ada lebih banyak yang dipertaruhkan daripada sistem hukum yang adil. Hukuman mati tanpa pengadilan tidak hanya "mengejek hukum kita", tetapi juga "mempermalukan kekristenan kita". Dia mengingatkan masyarakat Amerika tentang nilai-nilai alkitabiah yang telah mereka pelajari sejak masa kanak-kanak. Tak pernah lelah Ida mendesak setiap orang Kristen untuk bersama-sama menentang kejahatan hukuman mati tanpa pengadilan maupun pemisahan ras. Ia menghimbau gereja dan seluruh masyarakat bekerja sama untuk memastikan keadilan bagi setiap orang Amerika.
Mengejar Kebenaran
Saat Ida memperjuangkan kebenaran dan keadilan, Ida mendapatkan dukungan dari banyak orang Amerika lainnya yang memperjuangkan kesetaraan. Frederick Douglass menulis surat untuknya yang dia sertakan dalam salah satu pamfletnya yang paling terkenal, "Southern Horrors: Lynch Law in All Its Phases." Tentang perjuangan Ida Wells melawan hukuman mati tanpa pengadilan Douglass menulis:
Anda adalah wanita pemberani! Perjuganan Anda untuk melayani banyak orang dan saya begitu besar, tidak dapat ditimbang atau diukur. Jika hati nurani Amerika hanya setengah hidup, jika gereja dan pendeta Amerika hanya setengah dikristenkan, jika kepekaan moral Amerika tidak dikeraskan oleh kemarahan dan kejahatan terus-menerus terhadap orang kulit berwarna, jeritan ngeri, malu, dan marah akan naik ke Surga dan di tempat-tempat lainnya. Pamflet Anda akan dibaca Tuhan dan banyak orang.
Tapi sayang! Bahkan kejahatan memiliki kekuatan untuk mereproduksi dirinya sendiri dan menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi keberadaannya sendiri. Kadang-kadang kita merasa ditinggalkan oleh bumi dan surga namun kita masih harus berpikir, berbicara dan bekerja, dan percaya pada kuasa Tuhan yang penuh belas kasih untuk pembebasan akhir.
Wells mengingat kata-kata Douglass
Pada tahun 1895, Ida menikah dengan Ferdinand Barnett. Mereka memiliki empat anak, dan Ida memastikan bahwa anak-anak mereka tekun membaca Alkitab sama seperti dirinya. Selain membesarkan keluarganya dan melanjutkan jurnalismenya, Ida mendirikan klub wanita kulit hitam pertama di Chicago, taman kanak-kanak, dan organisasi hak pilih. Dia juga tetap aktif di gereja, termasuk sepuluh tahun mengajar kelas Alkitab untuk pemuda di sebuah jemaat Presbiterian. Selama periode ini dia juga membantu mendirikan Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Kulit Berwarna, meskipun dia mengundurkan diri segera setelah itu, dengan alasan tidak cukup aktif.
Pada tahun 1909, hukuman mati tanpa pengadilan di Kairo, Illinois memicu kerusuhan yang meluas. Pada awalnya, Wells enggan melakukan perjalanan ke ujung paling selatan Illinois untuk meliput kisah hukuman mati tanpa pengadilan lainnya. “Saya [tidak] mengerti mengapa saya harus pergi dan melakukan pekerjaan yang dihindari dan ditolak oleh orang lain,” tulisnya kemudian. Tetapi putra tertuanya, yang saat itu baru berusia sepuluh tahun, mengubah pikirannya.
Putranya berdiri di samping tempat tidur sebentar dan kemudian berkata, "Ibu, jika ibu tidak pergi, tidak ada orang lain yang akan pergi. "Saya melihat anak saya berdiri di sana di samping tempat tidur mengingatkan saya akan tugas saya, dan saya memikirkan perikop Kitab Suci yang menceritakan tentang hikmat dari mulut bayi dan menyusui [Mazmur 8:2]. Saya pikir jika anak saya ingin saya pergi, saya tidak boleh seperti benih yang jatuh di pinggir jalan [Matius 13:4].”
Ida Wells memang pergi, melakukan tugas jurnalistiknya dan menyuarakan keadilan dan kebenaran. Ida terus menjawab panggilan untuk mengejar kebenaran sampai kematiannya pada 4 Mei 1931. Sekitar 89 tahun kemudian, pada 4 Mei 2020, Ida mendapatkan anugerah Hadiah Pulitzer anumerta untuk "pelaporannya yang luar biasa dan berani" tentang hukuman mati tanpa pengadilan. .
Tujuan Ida Wells di balik keberaniannya menulis —ditemukan di halaman-halaman Kitab Suci yang dia baca sejak kecil dan terus dia hargai sepanjang hidupnya—masih dapat menginspirasi kita hari ini ketika kita mengingat bagaimana Firman Tuhan memerintahkan kita untuk hidup:
Tidak! TUHAN telah menyatakan kepada kita apa yang baik. Yang dituntut-Nya dari kita ialah supaya kita berlaku adil, selalu mengamalkan cinta kasih, dan dengan rendah hati hidup bersatu dengan Allah kita. (Mikha 6:8, BIMK)
Memperjuangkan keadilan dan selalu mengamalkan cinta kasih, demikian tujuan hidup Ida. Saat kita melihat kembali kehidupan Ida B. Wells, kita bersyukur kepada Tuhan untuk orang-orang yang memperjuangkan tujuan Alkitab di seluruh dunia. Hari ini, tanyakan pada diri Anda bagaimana Anda dapat membagikan pesan transformatif dari Firman Tuhan kepada teman, orang yang dicintai, tetangga, rekan kerja, dan orang lain di dekat dan jauh, dan menjadi Pembuat Perubahan untuk zaman kita sendiri!
Diterjemahkan dari: americanbible.org