Usianya belum sampai emeritus saat menulis karya “Abide With Me” yang terdapat dalam Kidung Jemaat 329 dengan judul “Tinggal Sertaku”. Penyakit tuberkulosis yang kronis menghentikan karya pelayanannya di dunia. Dia adalah Pdt. Henry Francis Lyte seorang keturunan Inggris, yang lahir di Ednam sebuah desa kecil dekat Kelso di daerah Perbatasan Skotlandia pada 1 Juni 1793. Pada tahun tersebut Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte sedang berusaha menguasai wilayah Inggris. Ayah Henry, Thomas Lyte, seorang perwira militer yang ikut bergabung mempertahankan bangsanya dari penjajahan Prancis. Situasi perang membuat masa kanak-kanak Henry tidak bahagia, karena ayahnya yang berpangkat kapten berpindah-pindah tempat tinggal karena penugasan dari negara.
Kasih Ibu Sepanjang Masa
Ayahnya yang jarang pulang membuat Henry lebih banyak diasuh oleh ibunya Anna Maria. Henry merupakan anak kedua, yang paling tua bernama Thomas dan adiknya bernama George. Sedari kecil ibunya sudah mengajarkan kepada Henry dan saudara-saudaranya tentang kasih dan kebaikan Allah, mengajarkannya untuk berdoa, dan membacakan kisah-kisah dalam Alkitab. Situasi perang membuat kesempatan memperoleh pendidikan formal menjadi terbatas. Ibunyalah turun tangan langsung mendidik mendidik Henry dan kedua saudara laki-lakinya dalam berbagai pengetahuan dan iman, sehingga mereka semakin bertumbuh dalam iman dan juga menikmati berbagai pengajaran sambil bermain di sekitar rumah.
Ayahnya kemudian memindahkan Thomas dan Henry untuk mengikuti pendidikan formal di Irlandia Utara. Sementara ibunya dan si bungsu George pindah ke Inggris. Hubungan ibu dan anak yang sedemikian erat pun harus terputus. Henry harus kehilangan sosok ibunya yang sudah dengan penuh kasih sayang merawatnya. Henry menjadi sosok pemurung. Perasaan sedih dan sendirian kemudian menuntun Henry untuk menulis setiap jalan hidup yang dilaluinya dalam lirik-lirik puisi.
The Chancellor’s Prize
Henry kemudian diangkat anak oleh Dr. Robert Burrows yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Sekolah di tempat Henry menempuh pendidikan. Robert jugalah orang pertama yang menyadari bakat Henry dalam menulis puisi. Sebagai ayah angkat dia membiayai penuh pendidikannya dan juga memberikan kasih sayang yang sempat hilang dari hidupnya. Henry seperti mendapat kesempatan kedua dan tidak menyia-nyiakan kebaikan yang sudah diberikan ayah dan ibu angkatnya.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya, Henry mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan studi teologi di Trinity College yang terletak di Dublin, Irlandia. Henry juga tidak perlu memikirkan kebutuhan sehari-harinya terkait makan dan biaya asrama karena termasuk dalam tanggungan beasiswa tersebut.
Henry sadar bahwa kasih sayang ibunya semasa kecil dan ajarannya tentang kebaikan Tuhan yang mengarahkannya untuk masuk sekolah teologi. Dia tidak melupakan setiap ajaran ibunya untuk tetap rendah hati saat dianugerahi penghargaan the Chancellor's Prize untuk kategori Syair Inggris terbaik selama 3 tahun berturut-turut padahal saat itu Henry masih seorang mahasiswa. Syairnya “To a Field Flower,” ditulis pada tanggal 27 April 1812, disusul syairnya berjudul “Sad Thoughts,” dan “Yes! I am calm, am humbled now,” yang dibuat pada tahun 1815 menandakan bahwa dia pernah mengalami berbagai pengalaman yang mengecewakan dan bahkan pahit dalam hidupnya.
Bersahabat dengan penderitaan
Lulus dari pendidikan teologi Henry kemudian masuk ke dalam Gereja Episkopal pada tahun 1815 dan mulai melayani sebagai pendeta di Tagmon, sebuah desa di County Wexford, Irlandia. Di sana Henry berkawan dekat dengan Pdt. Abraham Swanne karena memiliki banyak minat dan perhatian yang sama. Keduanya juga memiliki cara pandang yang oikumenis pada saat toleransi beragama berada di titik terendah. Persahabatan mereka hanya dapat dipisahkan oleh maut, Pdt. Abraham mendahului pulang ke rumah Bapa di surga karena sakit yang dideritanya. Saat sehabatnya dalam kondisi kritis, Henry seperti dituntun untuk melihat dasar pengharapannya sendiri. Keteguhan hati dan kepercayaan diri Swanne akan penyertaan Allah menorehkan kesan yang abadi pada Henry. Iman Abraham Swanne mempengaruhi Henry di sisa hidupnya dan di sepanjang pelayanannya. Meski Henry hanya melayani di paroki itu selama kurang lebih 3 tahun, ia selalu melihat Taghmon sebagai tonggak besar dalam kehidupan rohani dan pastoralnya.
Kepergian sahabatnya cukup memberikan ketegangan mental dan fisik Henry. Dia harus mengerjakan tugas-tugas pelayanannya sendirian yang membuat kesehatan Henry rapuh sehingga akhirnya paru-parunya bermasalah. Penyakitnya makin lama semakin bertambah parah sehingga dokter menyarankan untuk beristirahat di daerah yang beriklim hangat. Henry patuh dan melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang hangat dan pelan-pelan tubuhnya berangsur pulih.
Setelah agak baikan Henry tinggal di daerah pelabuhan Bristol yang masih beriklim hangat. Di sana Henry bertugas di dua atau tiga wilayah pelayanan berturut-turut. Pada tahun 1817 Henry menerima penunjukan sebagai dosen kapel-kapel yang ada di kota Marazion. Tempatnya masih ada di garis pantai Inggris bagian utara dan tepat di depannya ada biara Gunung St. Michael. Di masa itu di tahun 1818 Henry kemudian menikahi Anne Maxwell, putri tunggal Pendeta W. Maxwell, yang melayani di kota Bath. Henry memberi nama baptis kepada istrinya, Anna Maria sama seperti nama ibunya yang sangat dia kasihi. Henry dan istrinya kemudian tinggal di Lymington. Anne dengan setia menjadi penolong yang baik bagi suaminya. Tidak hanya mengatur rumah tangga tapi juga membantu paroki dengan melakukan pekerjaan lokal seperti mengunjungi yang sakit. Anne juga mampu mengelola keuangan dari gaji pendeta suaminya dengan hati-hati. Mereka sempat dikaruniai seorang anak namun meninggal karena sakit sehingga mendatangkan kesedihan bagi keduanya. Tampaknya Henry seperti bersahabat dengan penderitaan karena harus melalui hidup yang penuh dengan pergumulan.
Produktif menulis syair
Untuk menjaga agar kesehatannya tidak semakin buruk Henry mengambil cuti yang panjang dan beristirahat saat musim dingin tiba. Henry tetap produktif di masa-masa istirahatnya dan menuliskan karyanya yang menawan yang berjudul “Tales on the Lord’s Prayer” (Kisah Doa Bapa Kami) diterbitkan pada tahun 1826. Kecintaannya akan musik membawanya untuk menulis syair lagu pujian pengiring ibadah gereja. Karyanya "God of Mercy God of Grace" di terjemahkan juga ke dalam Kidung Jemaat 288: “Mari Puji Raja Sorga”.
Pada tahun 1827 Henry diberi tanggung jawab untuk melatih dua pemuda Afrika untuk menjadi guru sekolah dan katekis. Mereka nantinya ditempatkan melayani di tempat asalnya di Sierra Leone. Henry juga mengelola sebuah perpustakaan yang luas yang koleksi bukunya terus menerus bertambah. Di dalamnya Henry mencurahkan banyak waktu untuk penelitian teologi. Kerja kerasnya menyebabkan kesehatannya kembali turun dan ia terpaksa mencari pemulihan dengan melakukan perjalanan ke Italia. Sekali lagi, pada bulan Oktober 1844, ia pergi ke Italia, di mana ia menghabiskan musim dingin dan tahun berikutnya dan tetap produktif menulis syair “Longings for Home,”, “Thoughts in Weakness,” dan “Czar in Rome,” dan menerbitkannya pada tahun 1846.
Tinggal sertaku
Dalam waktu-waktu terakhir penderitaan akibat penyakit yang berkepanjangan, ia menulis naskah kidung pujian terakhirnya, "Tinggal Sertaku". Isinya diilhami dari cerita tentang dua orang Emaus yang memohon kepada Tuhan Yesus,”Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari menjelang malam dan matahari hampir terbenam”(Lukas 24:29). Demikianlah Lyte mengawali lagu ini dengan kalimat,”Tinggal sertaku, hari t’lah senja; G’lap makin turun, Tuhan tinggallah.”
Pdt. Andar Ismail dalam bukunya Selamat Pagi Tuhan!, menyatakan lagu ini ditulis bukan sebagai lagu pujian senja, namun merupakan doa memohon iman dalam menghadapi kematian. Dan dalam masa-masa “senja” tersebut andalan iman hanyalah Tuhan Yesus. Tampak jelas curahan perasaan Henry Lyte dalam bait kedua lagunya:
Hidupku surut, ajal mendekat
Nikmat duniawi hanyut melenyap
Tiada yang tahan, tiada yang teguh
Kau yang abadi, tinggal sertaku
Dia kemudian mengirimkan naskah itu kepada istrinya dari Avignon. Nafasnya makin pendek dan Henry sepertinya tahu bahwa dirinya mungkin tidak akan mampu kembali pulang ke rumah. Dua bulan setelah mengarang lagu ini dan ketika hampir tiba di Nice dalam perjalanan berobat ke Roma, sakitnya bertambah parah dan menghembuskan nafas terakhirnya pada 20 November 1847 di hotel de Angleterre. Henry meninggal di usianya yang ke 54 dan dimakamkan di Gereja Holy Trinity dua hari kemudian. Henry telah mengakhiri pertandingannya dengan baik. Sampai kematian menjemput ia tetap setia. Seperti tersimpul dalam kalimat terakhir lagu Tinggal Sertaku: ”In life, in death, O Lord, abide with me” yang artinya: “baik pada waktu saya hidup, maupun nanti setelah meninggal dunia, ya Tuhan tinggal sertaku.” Itulah juga kerinduan kita semua. O, Lord abide with me.