Ada sebuah anggapan bahwa Filsafat dan teologi berbeda total. Filsafat dimulai dengan pertanyaan, diakhiri oleh pertanyaan juga. Sedangkan Teologi dimulai dengan tanda seru, harus ada asumsi iman, dan berakhir dengan tanda seru juga yaitu kesimpulan. Maka orang sering mempertentangkan kedua hal ini.
Tertulianus pernah mempertanyakan tentang hubungan antara Yerusalem dan Athena. Mengingat pada masa itu Yerusalem adalah pusat kekristenan sedangkan Athena adalah pusat filsafat. Menurutnya, beberapa orang kristen sezamannya sudah terlalu banyak minum air & anggur filsafat. Agustinus juga menyampaikan bahwa filsafat adalah “pelayan” teologi, dibutuhkan untuk melayani teologi. Pemahaman demikian bertahan hingga abad pertengahan. Memasuki zaman pencerahan filsafat menjadi ‘bebas’ dari teologi, bahkan seolah menjadi musuh atau paling tidak pengganggu bagi teologi. Pada masa itu Friedrich Nietzsche, menjadi salah satu filsuf yang pemikirannya bertentangan dengan pemahaman teologi yang sedang berkembang. Nietzsche menyampaikan pemikirannya bahwa surga adalah tempat yang tidak nyata, hanya sebatas “dunia ide”. Bahkan demi menggaungkan kebebasan atau otonomi penuh manusia atas dirinya, ia berujar bahwa “Allah sudah mati”.
Pada akhirnya filsafat dan teologi ditempatkan seolah-olah dalam posisi yang berseberangan. Jika boleh jujur merunut pada sejarah yang ada filsafat sesungguhnya dibutuhkan oleh teologi. Keduanya adalah representasi dari iman dan akal, memiliki kaitan erat meskipun tidak selalu akrab.
Lalu, bagaimana Alkitab melihat hubungan itu? Dalam Kolose 2:8 Paulus mengingatkan jemaatnya akan bahaya filsafat, yang dicapnya “kosong dan palsu” karena hanya hasil ajaran manusia dan roh-roh dunia. Siapa sebenarnya “para filsuf” di Kolose itu? Mengapa Paulus menganggap filsafat mereka itu berbahaya dan dapat menjerat serta menawan jemaat di Kolose?