Pada 31 Oktober 1517, Martin Luther memaklumatkan 95 dalil yang mengkritik penjualan surat penebusan dosa (indulgentia). Hari itu Luther mungkin tidak pernah mengira, teriakan kritisnya akan membawa perubahan bagi dunia, khususnya kehidupan gereja. Perpisahan, tapi sekaligus awal dari kebebasan dan keragaman. Sesungguhnya Luther tidak pernah berniat keluar dari Gereja Katolik Roma. Dalam sebuah pembelaannya, pada petang hari 18 April 1521, di persidangan kota Worms, Jerman, Luther berkata,”Di sini aku berdiri, aku tidak bisa berbuat yang lain. Kiranya Tuhan menolong saya. Amin.”
Luther lahir di Eisleben pada tanggal 10 November 1483. Sehari kemudian ia dibaptis dengan nama pelindung Martin(us) mengambil nama orang suci yang lahir pada hari yang bersangkutan. Ayahnya bernama Hans Luther dan ibunya bernama Margaretha Lidemann. Keluarga Luther berlatar belakang petani. Ayahnya, kemudian mencari keberuntungan di salah satu usaha yang menjanjikan yaitu pertambangan batubara di Mansfeld.
Luther dan ketiga adik perempuan dibesarkan dengan disiplin yang tinggi. Mereka dididik jujur, tangguh,, pada sembarang waktu mau melakukan jenis pekerjaan apa pun. Hanya akibat mencuri beberapa butir kacang, Luther dicambuk oleh ibunya sampai berdarah. Luther juga pernah dipukuli oleh ayahnya hingga ia lari ketakutan, menyembunyikan diri di tepi hutan. Takut bersalah, takut dimarahi, dan takut dihukum menghantui Luther hingga masa dewasanya. Akan tetapi, tiap kali ia bercerita tentang hal itu kepada teman-temannya ia berkata,”Namun, aku tahu betul ayah dan ibuku punya maksud yang sungguh-sungguh baik di balik semua hukuman itu.” Luther juga menyadari bahwa kerja keras dan peluh yang mengalir dari kedua orang tuanya memungkinkan dia menikmati pendidikan universitas.
Luther juga dibesarkan dalam suasana takhayul. Ayah dan ibunya sering bercerita tentang hantu yang mengawasi tingkah laku kita. Jika kita melakukan kesalahan, kita akan disihir dan ditelan oleh makhluk jahat itu. Oleh sebab itu, kita memerlukan ibadah-ibadah gereja untuk menangkal kuasa-kuasa jahat.
Memang orang tua Luther sungguh setia ke gereja. Luther selalu menyimak tiap detail ibadah dengan mata yang tajam dari awal hingga akhir Ia juga anggota paduan suara anak yang penuh semangat. Ia hafal semua lagu gereja. Sesuai dengan kelaziman pada waktu itu, Luther dan kawan-kawannya sering berkeliling ke desa-desa lain dan bernyanyi di depan rumah orang-orang di situ dengan suara yang nyaring. Seusai bernyanyi anak-anak ini pergi sambal melompat kegirangan melihat upah yang mereka terima beruba roti atau apel, dan kadang-kadang sekeping koin.
Pada usia 14 tahun, Luther meninggalkan rumah orang tuanya dan bersekolah latin di Magdeburg. Guru-guru di sekolah itu adalah lulusan Persaudaraan Hidup Bersama (Brethern of The Common Life), suatu organisasi pendidikan iman dan ilmu yang sangat bermutu di Belanda, bentukan filsuf Pendidikan Agama Kristen (PAK) bernama Geert Groote (1340-1384).
Setahun kemudian Luther pindah ke sekolah di Eisenach. Di sekolah mana pun Luther belajar ia selalu menonjol sebagai murid yang paling cerdas, rajin dan suka berprakarsa. Karena berkat-berkat Luther yang menonjol, ia dipersilakan oleh Ibu Ursula Cotta untuk tinggal di rumah keluarga bangsawan Schalbe dengan tugas menjadi guru les privat bagi anak mereka. Ibu Cotta ini mengikuti jejak Santa Elizabeth dari Puri Wartburg, tak jauh dari situ, yang sudah melegenda dari abad ke-13 sebagai penolong petani miskin.
Pada musim semi 1501 Luther meninggalkan Eisenach untuk masuk perguruan tinggi di Erfurt, yang terbaik di Jerman pada zaman itu. Ayahnya ingin agar Luther menjadi ahli hukum terkemuka. Sementara itu, diam-diam ayah Luther sudah menyiapkan seorang nona cantik dan kaya raya untuk dijodohkan dengan Luther. Pintu istana raja akan terbuka lebar untuk seorang ahli hukum yang berlimu dan berharta. Demikian dambaan ayahnya.
Dari luar jalan hidup Luther tampak lancar, namun sebenarnya ia menghadapi banyak pergumulan. Segala pengalaman baik dan buruk yang dialami sejak kecil membuatnya merasa takut. Ia meyakini Allah adalah sosok hakim. “Allah adalah hakim yang adil dan Allah yang murka setiap saat”(Maz. 7:12). Luther langsung berkesimpulan, kalau begitu semua orang pasti akan dihukum, termasuk dirinya sendiri, sebab dosanya banyak. Akibatnya, ia kadang-kadang berpikir untuk mencari kedamaian dengan cara menjadi biarawan.
Dalam perjalanan kembali dari mengunjungi orang tuanya, Martin Luther terserang hujan badai disertai petir di Stotternheim, sebuah desa dekat Erfurt. Halilintar menyambar begitu dekat sehingga ia terlempar beberapa meter akibat tekanan udara yang kuat dari halilintar tersebut. Dalam situasi penuh ketakutan, Luther pun refleks berteriak dan berikrar,”Santa Ana, tolonglah saya! Saya berjanji, saya mau menjadi biarawan!”
Tanpa setahu ayahnya Luther meninggalkan sekolah hukum, ia masuk biara yang paling ketat disiplinnya, yaitu Ordo Augustin. Baru beberapa waktu kemudian ia menyurati ayahnya. Pilihan Luther di luar harapan sang ayah dan membuat Hans ayahnya marah.
Akan tetapi, Marthin Luther sudah memastikan dirinya berada di biara. Jalan menuju hari depannya telah berganti arah. Bukan menjadi ahli hukum di istana raja, melainkan rahib sederhana di biara. Ia tidak tahu bahwa jalan di hadapannya ini justru akan membuatnya mengubah dunia.
Di biara Luther dikenal sebagai biarawan yang disiplin, tekun belajar dan cerdas. Memperhatikan semua potensi yang ada pada Luther, para pembimbingnya memberikan tugas tambahan padanya, yaitu menempuh studi formal ilmu biblika di perguruan tinggi, selain menlankan kewajiban sehari-harinya dng mulai biara. Bidang studi ini kurang lazim. Biasanya para biarawan mempelajari ilmu filsafat, namun Luther ditugaskan mempelajari ilmu biblika, sebuah bidang studi yang mulai berkembang berkat timbulnya gerakan Renaissance yang mendalami secara ilmiah bahasa-bahasa Ibrani dan Yunani sebagai bahasa asli Alkitab.
Sementara itu, kemarahan ayah Luther mulai agak mereda. Ayahnya mulai mau menerima kenyatan bahwa cita-citanya untuk mempunyai yang menjadi ahli hukum di kalangan istana raja agaknya sudah kandas. Putranya ternyata menjadi biarawan. Lalu pada suatu hari dengan perasaan masih jengkel, namun kangen, sang ayah mengajak sanak keluarga untuk mengunjungi Luther. Yang berminat ternyata banyak. Begitulah dua puluh ekor kuda berderap ke Erfurt, bagaikan sebuah pasukan dengan sang ayah memimpin di atas kuda paling depan.
Selama beberapa tahun di tahun di biara di kota Erfurt dan Wittenberg pelayanan dan kinerja Luther terus maju. Ia sangat diandalkan oleh kepala ordonya. Ia ditugaskan mengajar filsafat di fakultas artes liberals. Ia ditahbiskan menjadi imam. Ia dikirim ke Roma mewakili ordo untuk merundingkan sesuatu dengan Vatikan.
Selama di Roma Luther memanfaatkan tiap kesempatan sebaik-baiknya. Tiap hari ini berkeliling mengunjungi gereja-gereja yang bersejarah. Di tiap gereja ia mengikuti upacara untuk mendapatkan pengampunan dosa. Ia berpuasa Ia mereangkak dengan lututunya menaiki puluhan anak tangga. Di tiap anak tanggap ia berlutut dan mengucapkan Doa Bapa Kami. Ia sangat bersungguh-sungguh berdoa untuk membebaskan almarhum kakeknya dan api penyucian. Akan tetapi pada malam harinya ia gelisah mempertanyakan dasar di balik upaya-upaya seperti itu. Apakah penyesalan dosa kita diukur oleh Allah berdasarkan banyaknya anak tangga yang kita naiki, banyaknya dosa yang kita ucapkan, dan banyaknya jam puasa kita? Apakah Kristus menyuruh kita menyiksa diri?
Semua teman dan pembimbingnya di biara melihat Luther sebagai pribadi yang mantap. Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya Luther selalu gelisah. Yang meresahkan Luther adalah isu pengampunan dosa. Sejak kecil Luther sudah diajarkan bahwa untuk pengampunan dosa kita harus hidup saleh dan berbuat baik. Semua hal itu ia lakukan, apalagi di dalam biara. Ia menyiksa diri. Ia melakuka doa puasa bahkan pernah sampai pingsan. Dari subuh hingga larut malam ia mengucapkan puluhan doa. Seluruh hidupnya adalah ibadah. Namun, semakin giat ia melakukannya, semakin ia gelisah.
Untunglah bahwa para pembimbing ordonya terbuka untuk menampung kegelisahan Luther. Luther sangat kagum pada sifat bijak kepala ordonya, yaitu Johan von Staupitz yang ia anggap sebagai bapa rohani. Akan tetapi, para pembimbing itu pun tidak bisa menjawab kegelisahan Luther.
Untuk meredakan kegelisahannya, Luther juga membaca buku-buku renungan karangan Bernard Clairvaux dari Ordo Cisterciens di prancis yang dibaca oleh kalangan luas mulai dari petani sampai Sri Paus. Akan tetapi kegelisahan tidak teratasi.
Luther terus bekerja keras menjalankan tugas dari ordonya. Ia menjadi kepala atas sebelas biara Augustin di negara bagian itu dan menjadi penulis buku-buku tafsir Alkitab. Justru setelah Luther lulus sebagai doktor dalam ilmu Alkitab, ia semakin gelisah,”Sebagai Hakim yang memegang kebenaran, tentu Allah adil. Orang berdosa dihukum ke neraka, orang benar masuk surge. Supaya orang menjadi benar kita banyak beribadah dan beramal Akan tetapi, betulkah bahwa Allah bisa diperngaruhi dengan banyaknya ibadah dan amal kita?
Lalu, pada suatu hari ketika mempelajari Kitab Roma, batin Luther seakan-akan tercelik. Di situ tertulis,”…Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya…Sebab di dalamnya dinyatakan pembenaran oleh Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman…”(Rm. 1:16,17, TB-2).
Mula-mula Luther merasa ada kejanggalan dalam ayat itu sebab selama ini ia belajar bahwa kebenaran berarti keadilan hakim yang adil membenarkan orang bersih dan menghukum orang bersalah. Jika seandainya kebenaran Allah diartikan seperti itu, maka tidak ada orang bisa selamat.
Akan tetapi, ayat itu menunjukkan bahwa kebenaran Allah bukan membenarkan orang bersih, melainkan justur membenarkan orang berdosa. Artinya, kita semua dianggap benar atau dinyatakan benar oleh Allah. Itu terjadi dalam Injil (bukan dalam arti kitab, melainkan dalam arti perbuatan Kristus di salib). Itu adalah rahmat Allah. Kebenaran Allah berarti rahmat Allah. Itulah kekuatan Allah. Jadi, kita memperoleh pengampunan bukan karena perbuatan ibadah dan amal kita, melainkan karena rahmat Allah yang diberikan kepada kita. Rahmat atau anugerah adalah pemberian yang tidak berhak kita terima namun diberikan kepada kita.
Mendengar pergumulan dan penelitian Luther itu, para biarawan termenung-menung,”Sola Gratia!” “hanya karena anugerah” atau “hanya oleh anugerah”. Pada tahun itu juga yaitu antara 1514 atau 1515, hasil penelitian Luther tersebar melalui buku Tafsiran Surat Roma. Di banyak biara buku karangan Luther dipelajari secara cermat. Para biarawan mulai membuka dan memperbarui pikiran mereka. Mereka mulai mereformasi pola pikir mereka. Proses reformasi gereja pun mulai menggelinding.
Belasan tahun setelah penelitian Surat Roma itu, Luther menulis,”Saat itu aku merasa seolah-olah lahir kembali dan memasukki Firdaus melalui gerbang yang lebar. Alkitab menjadi berbeda sekali. Dulu aku begitu membenci istilah ”Kebenaran Allah”, namun setelah itu justru sangat menghargainya….Aku terbebas dari rasa takut yang menggelisahkan batinku sejak masa mudaku.”
Sebagai biarawan yang berdisiplin, Martin Luther tidak pernah meragukan ajaran resmi Gereja Katolik tentang pengampunan dosa. Keyakinan itu tetap ia pegang, juga setelah menulis buku Tafsiran Surat Roma yang memuat dalilnya bahwa kebenaran Allah berimplikasi Allah membenarkan atau membuat benar kita yang semula tidak benar. Pembenaran itu adalah rahmat atau anugerah Allah yang terwujud dalam penyaliban Kristus.
Akan tetapi, ajaran yang baku itu ternyata dipraktikkan berbeda di lapangan. Johan Tetzel, seorang kepala biara, mengajar bahwa pengampunan dari Allah bisa diperoleh jika kita mempersembahkan uang. Sebagai tanda terima pembayaran itu, Tetzel memberikan surat penghapusan siksa. Akibatnya, ada orang yang tidak perlu bertobat dari dosanya karena sudah membayar surat penghapusan siksa. Ajaran Tetzel itu melecehkan hakikat ajaran baku Gereja Katolik tentang sakramen pengampunan.
Luther menentang keras ajaran Tetzel dengan cara menempelkan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517. Dalil pertama berbunyi,” Bila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata ‘bertobatlah’, maksudnya adalah agar segenap hidup kita pertobatan…” Dalam tulisannya Martin Luther menyebut pertobatan merupakan sikap sepanjang hidup yang diharapkan dari seorang Kristen.
Dengan dalil-dalilnya Luteher bukan hendak melawan ajaran Gereja Katolik. Ia malah membela. Yang dilawan adalah pelaksanaan di lapangan. Yang paling jengkel pada gerakan Luther ini adalah para penjual surat penghapusan siksa dan negara-negara bagian yang menerima setoran hasil penjualan. Pada zaman itu kekaisaran Jerman meliputi Austria, Swiss, Belanda, sebagian Prancis, dan terbagi atas negara-negara bagian yang dikepalai oleh raja atau oleh uskup. Negara dan agama menjadi satu sehingga raja turut mengatur gereja dan ukusp turut mengatur negara.
Untuk menjelaskan polemik ini, Luther mengirim surat kepada Paus Leo X. Lalu Paus menetapkan agar Luther menghadap dewan hakim di Roma. Raja Friedrich menolak ketetapan Paus itu mengingat keamanan Luther tidak terjamin di Italia. Sambil menunggu perkembangan lebih lanjut. Luther terus bekerja. Ia mempelajari sejarah jabatan-jabatan gerejawi dan menemukan bahwa pemahaman tentang peran umat dan pejabat gereja sudah jauh menyimpang dari jiwa gereja abad pertama. Ia menemukan bahwa para rohaniwan terlalu banyak mengumpulkan kekuasaan dan berpretensi tidak bisa bersalah, padahal sudah terbukti ada beberapa persidangan sinode atau konsili yang ternyata membuat keputusan keliru. Menurut Luther, patokan kia yang paling tinggi bukanlah peraturan gereja, melainkan firman Allah. Tulisan Luther mengenai hal ini menggoyang kedudukan para rohaniwan, termasuk Sri Paus.
Kemudian Paus mengirim dewan hakim ke Jerman untuk memeriksa Luther. Setelah berpolemik selama sekitar tiga tahun, Kaisar Karel V mengadakan sidang yang dihadiri para kepala negara bagian yang anti Luther. Pada tanggal 26 Mei 1521 ditetapkan bahwa Luther dan tiap pengikut ajarannya dikutuk. Semua buku-buku karya Luther harus dibakar. Luther dinyatakan berstatus vogel vry verklaard, yaitu boleh dianiaya dan dibunuh siapa saja.
Pada malam itu, dalam perjalanan pulang, kereta Luther disergap oleh gerombolan penculik. Luther dibawa masuk ke hutan. Para pengawal Luther tidak berdaya. Keesokan harinya tersiarlah berita Luther dibunuh dan mayatnya belum bisa ditemukan. Padahal, para penculik itu suruhan Raja Friederich yang melindungi Luther. Luther pun disembunyikan di Puri Wartburg di Eisenach.
Selama bersembunyi Luther terus bekerja keras. Ia menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Jerman sehari-hari. Sebelumnya, Alkitab hanya bisa dicetak dalam bahasa Latin sehingga hanya para rohaniwan saja yang bisa membaca Alkitab. Padahal Luther ingini agar tiap orang termasuk para petani pun bisa mengerti dan menikmati Alkitab serta buku-buku renungan.
Kutuk yang ditetapkan oleh Kaisar Karel V berimplikasi bahwa gereja tidak memberi ruang lagi kepada Luther dan pengikutnya. Oleh sebab itu, sejumlah imam mulai mengadakan ibadah sendiri yang lepas dari gereja. Yang mencolok berbeda adalah liturginya yang lebih mengikutsertakan partisipasi umat dan digantinya bahasa Latin dengan bahasa nasional. Umat menyambut pembaruan ini. Ini menjadi awal lahirnya persekutuan sebuah gereja baru yang terpisah dari Gereja Katolik. Itulah benih lahirnya Gereja Reformasi.
Belum lagi Gereja Reformasi ini berakar, ia dirongrong dari dari dalam. Pada bulan Februari 1522 di Wittenberg sekelompok orang yang mengatasnamakan Gerakan Reformasi berpikir radikal dan bertindak biadab. Mereka menyerbu gereja-gereja Katolik dan merusak segala simbol Katolik seperti mezbah, salib, patung Kristus dan lainnya.
Mendengar peristiwa ini Luther keluar dari persembunyiannya lalu menghardik kelompok radikal ini. Luther memarahi Karlstadt (guru besar universitas Wittenberg) yang memimpin kelompok radikal ini,”Kamu bodoh! Reformasi bukan membenci dan menghancurkan, melainkan memperbaiki dan memperbarui!”
Sejak itu Luther tidak bersembunyi lagi. Ternyata kutuk Kaisar Karel V sudah luntur wibawanya. Sebab sang kaisar sudah tidak bersahabat lagi dengan Sri Paus. Lagi pula kaisar sedang bertikai urusan perbatasan dengan Prancis dan Turki.
Luther meneruskan gerakan pembaruannya dengan terus-menulis. Buku-bukunya membuka pikiran banyak orang. Ia diperbolehkan tinggal di biara. Pada usia 42 tahun ia menikah dengan Catharina von Bora dan mempunyai beberapa anak: Hanschen, Magdalena, Martin, Paul dan Margaretha. Untuk mengongkosi hidup, istrinya memelihara sapi dan menanam kentang. Istrinya menghiasi pintu gerbang rumahnya dengan ukiran,”Ia hidup!” juga ukuran “Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.” Kedua kalimat itu dikutip dari Lukas 24:23 dan Yesaya 30:15. Sekarang tempat tinggal keluarga Luther itu menjadi museum Wittenberg.
Luther meninggal pada usia 62 tahun. Sampai akhir hidupnya, ia terus tertantang untuk mendidik gereja meninjau ulang dan membarui pola pikir tentang iman. Ribuan karya tulis diwariskannya kepada gereja. Hampir lima abad kemudian, pada 31 Oktober 1999, dalam ibadah yang khidmat, utusan dari Vatikan yang mewakili Gereja Katolik dan utusan dari Federasi Lutheran se-Dunia yang memawili Gereja Protestan menandatangani Pernyataan Bersama tentang Doktrin Pembenaran dan menghapus semua kutuk dan penolakan yang pernah dilakukan kedua pihak di masa lalu. Ini berarti bahwa kita sebagai orang Kristen, baik Katolik maupun Protestan, mengakui telah sama-sama menerima anugerah Allah. Sudah sepantasnya sebagai orang-orang yang menerima anugerah Allah kita mau berbagi anugerah tersebut dengan sesama, yaitu dengan bersikap penuh kasih dan anugerah terhadap orang lain.