Beberapa hari belakangan, jagad maya dihebohkan dengan pernyataan salah seorang pegiat media sosial yang menawarkan hadiah berupa mobil kepada siapa saja yang berhasil melakukan santet padanya. Ternyata, hingga batas waktu yang ditentukan, ia tidak mengalami gangguan apapun, yang menandakan tidak ada santet yang berhasil dijalankan.
Dalam pandangan kekristenan, santet sendiri merupakan bagian dari praktek perdukunan atau sering juga disebut okultisme. Namun, persoalan ini masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini. Ternyata banyak tanggapan kontradiktif yang terjadi di kalangan rohaniawan Kristen terkait fenomena gaib ini, yang memicu berbagai pemikiran dan tanggapan.
Respon para pemimpin Gereja
Setidaknya, ada dua macam respon dari para pemimpin Kristen modern mengenai dampak spiritual yang dipercaya diakibatkan oleh praktek okultisme. Respon pertama berupa sikap ‘denial’ tentang kasus ini. Para Pendeta dan pimpinan gereja sering menolak dengan berargumen bahwa masalah yang dialami adalah persoalan psikologis yang sebaiknya ditangani oleh ahli kejiwaan. Di sisi lain, ada respon yang mengakui bahwa okultisme memang memiliki dampak nyata. Sebagian gereja yang menerima keberadaan fenomena ini berasal dari aliran teologi tertentu yang terbuka terhadap kehadiran hal-hal supranatural. Salah seorang pendeta yang juga aktif dalam pelayanan terhadap dampak okultisme adalah Pdt. Asigor P. Sitanggang, Th.D., salah seorang pengajar di STFT Jakarta, yang juga memaparkan hal ini dalam salah satu konten Youtube LAI, Seminar Alkitab.
Pelayanan Eksorsisme.
Menurut penelitian Pdt. Asigor, secara historis gereja-gereja seperti ortodoks, Katolik Roma, Lutheran, serta gereja Metodis mengakui adanya masalah terkait okultisme. Gereja-gereja ini bahkan memiliki pelayanan khusus untuk eksorsisme, yaitu bentuk perlawanan terhadap praktik okultisme. Sebaliknya, gereja-gereja Calvinis yang muncul setelah gerakan Protestan Martin Luther cenderung menolak adanya dampak dari okultisme. Penolakan ini berkaitan dengan salah satu prinsip teologis mereka, yaitu desakralisasi. Desakralisasi merupakan penolakan terhadap penyucian benda atau tempat ibadah (seperti gedung dan patung, dll).
Prinsip Rasionalisme.
Desakralisasi ini secara tidak langsung juga ada kaitannya dengan paham rasionalisme yang berkembang di dunia barat. Masyarakat Barat cenderung skeptis terhadap keberadaan makhluk gaib dan fenomena mistis yang diceritakan dalam kitab suci agama. Mereka tetap percaya kepada Allah sebagai Roh, tetapi dalam pemahaman mereka hal lain terkait fenomena spiritual dapat dijelaskan secara sains dan psikologis. Ini menyebabkan penolakan terhadap adanya dampak dari praktek okultisme. Hal lain yang memengaruhi adalah Cartesian, yang dipaparkan oleh Paul G. Hiebert sebagai sebuah paham yang menyatakan konsep keterpisahan antara dunia ‘rohani’ dan ‘jasmani’. Konsep ini berkembang seiring menyebarnya paham rasionalisme, sehingga mempengaruhi doktrin gereja-gereja barat modern seperti di Eropa dan Amerika pada masa itu. Sementara itu, gereja-gereja ini banyak melakukan pelayanan-pelayanan misi di dunia, termasuk ke Asia dan Indonesia. Karena hal ini, banyak umat yang tidak mempercayai lagi dampak dari hal-hal spiritual selain eksistensi Roh Allah.
Pengalaman pribadi.
Dalam pemaparannya terkait okultisme dan sejarahnya, Pdt. Asigor juga menyatakan bahwa ia sendiri pernah menangani beberapa kasus yang terjadi di kalangan Kristen modern di Indonesia. Beberapa jemaat mengaku pernah menerima benda-benda aneh yang dikirim dengan maksud jahat, yang mengakibatkan kejadian-kejadian ganjil dalam kehidupan mereka. Menurut kesaksian jemaat, mereka bahkan beberapa kali mengalami percobaan santet. Pdt. Asigor juga bercerita tentang teror okultisme yang dialami jemaatnya melalui media internet.
Perdukunan di masa kini?
Mungkin di era modern sekarang ini praktek-praktek yang berkaitan dengan dunia gaib seperti perdukunan terasa 'mengada-ada'. Lalu karena pengaruh paham rasionalisme yang sudah mengakar di beberapa kalangan kristiani, persoalan terkait okultisme juga sudah dianggap tidak relevan lagi. Namun, apa yang sesungguhnya terjadi? Benarkah bahwa praktek-praktek perdukunan sudah tidak bisa dipercaya lagi? Apakah benar bahwa dampak dari okultisme sudah tidak perlu dipikirkan lagi?
Yuk, simak ulasan ini dalam segmen Seminar Alkitab berjudul Gereja dan Perdukunan di Indonesia.
Tautan ada di sini!