Krisis ekologis semakin hari semakin nyata. Polusi udara, deforestasi, kekeringan hebat, banjir, dan kepunahan spesies endemik menjadi bukti nyata kerusakan lingkungan yang parah. Kita hidup di zaman yang dikenal sebagai Capitalocene, istilah yang diciptakan oleh James Moore untuk menggambarkan era kapitalisme ekstraktif di mana alam dipandang sebagai sumber daya tak terbatas. Di era ini, lingkungan menjadi korban dari hasrat manusia untuk mengakumulasi keuntungan tanpa batas, sehingga menciptakan ketimpangan ekologis dan sosial yang semakin tajam. Pada sisi lain, perkembangan kecerdasan buatan (AI) menghadirkan peluang besar, tetapi juga membawa tantangan ekologis yang signifikan. Menurut laporan National Geographic oleh Charley Locke, konsumsi energi dan air yang dibutuhkan untuk mengoperasikan pusat data AI sangat besar. Misalnya, perusahaan teknologi pada tahun 2022 menggunakan 34% lebih banyak air dibandingkan sektor lainnya. Dampaknya, satu pertanyaan yang diajukan kepada AI seperti ChatGPT membutuhkan energi setara dengan menyalakan lampu LED 4 watt selama satu jam. Hal ini memicu pertanyaan, apakah inovasi teknologi ini berkontribusi pada keberlanjutan atau justru memperburuk krisis ekologis?
Krisis ekologi di era Capitalocene tidak terpisahkan dari krisis sosial. Dalam pandangan Hariati Sinaga (2024), produksi yang berfokus pada akumulasi keuntungan telah menggeser nilai keberlanjutan dan keadilan ekologis. Tantangan utamanya adalah bagaimana kita mengubah paradigma dari sekadar sustainability menjadi keadilan ekologis yang melibatkan dimensi agama, sosial, ekonomi, dan politik.
Mazmur 104, Sebuah Refleksi Teologis tentang Relasi Manusia dan Ciptaan
Mazmur 104 memberikan perspektif teologis yang mendalam tentang hubungan manusia dengan alam. Dalam ayat 1-9, Allah digambarkan sebagai Pencipta yang terus memelihara ciptaan-Nya. Alam tidak diperlakukan sebagai objek yang dieksploitasi, melainkan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik. Gambaran penciptaan dalam Mazmur ini mengajak manusia untuk membayangkan kembali (reimagining) hubungan yang setara dan saling terhubung antara manusia dan alam. Berbeda dari narasi Kejadian 1-2 yang menyusun penciptaan secara kronologis, Mazmur 104 menggambarkan proses penciptaan yang dinamis dan terintegrasi. Alam memiliki peran yang khas, dari mata air yang mengalir di lembah hingga awan yang menjadi tenda langit. Perspektif ini menolak pandangan antroposentrisme yang memposisikan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, dan mengajak kita untuk menghargai kehadiran Tuhan yang tercermin dalam setiap aspek ciptaan.
Mazmur 104 menekankan konsep environmental stewardship, di mana manusia dipanggil untuk mengelola alam secara bijaksana dan bertanggung jawab. Tantangan di era Capitalocene memerlukan solidaritas ekologis lintas sektor. Respon yang interseksional dari berbagai disiplin—agama, sosial, politik, dan ekonomi diperlukan untuk menciptakan keseimbangan antara keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial.
Bagaimana peran kita sebagai manusia dalam era Capitalocene dapat mencerminkan tanggung jawab ekologis yang sejati, sehingga setiap tindakan kita tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga menghormati nilai intrinsik ciptaan?
Yuk saksikan videonya di sini!