Seminar Alkitab | Rm. Indra Sanjaya, Pr.
Penjelasan Kekerasan dalam Perjanjian Lama
Kisah-kisah kekerasan kerap ditemukan dalam Alkitab, khususnya ketika kita menyelami Perjanjian Lama secara lebih mendalam. Setidaknya terdapat tiga pokok utama yang menjadi sorotan terkait keberadaan kekerasan dalam berbagai narasi tersebut. Ketiga poin ini menunjukkan bagaimana kekerasan ditampilkan, dimaknai, dan berperan dalam konteks dunia Perjanjian Lama yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan konteks Perjanjian Baru maupun realitas masa kini.
Berikut ini adalah tiga pokok utama yang mencerminkan bentuk-bentuk kekerasan dalam Perjanjian Lama:
1. Kekerasan Antar Manusia
Bentuk kekerasan ini muncul dalam relasi antar manusia, seperti dalam kisah Kain dan Habel (Kej 4:1–26, TB 2), ketika iri hati dan amarah mendorong Kain untuk membunuh saudaranya sendiri. Narasi ini menjadi gambaran pertama tentang kekerasan antar manusia dalam Alkitab.
2. Kekerasan dalam Doa
Bangsa Israel sering kali meluapkan pergumulan mereka melalui doa yang penuh emosi, terutama karena kondisi mereka yang dikelilingi oleh banyak musuh pada masa itu. Mazmur-mazmur kutukan (imprecatory psalms) mencerminkan seruan permohonan akan keadilan dan pembalasan terhadap musuh. Dalam doa-doa ini, umat Israel memohon kepada Tuhan agar diberikan kekuatan dan kemenangan atas bangsa-bangsa penindas. Penting untuk dipahami bahwa kitab Mazmur tersebut merupakan bagian dari genre sastra doa yang mencerminkan jeritan hati orang-orang yang sangat tertindas. Sebab itu, ekspresi kekerasan dalam mazmur perlu dibaca dalam konteks sastra dan teologis, bukan sebagai dorongan harfiah untuk membalas dendam.
3. Kekerasan yang Dilakukan atau Diperintahkan oleh Tuhan
Dalam beberapa bagian Alkitab, kekerasan ditampilkan sebagai bagian dari tindakan ilahi, baik sebagai bentuk penghakiman maupun sebagai perintah langsung kepada umat-Nya. Contohnya meliputi kehancuran Sodom dan Gomora (Kej 19:12-29, TB 2), air bah pada zaman Nuh (Kej 6–7, TB 2), serta perintah Tuhan untuk memusnahkan bangsa Amalek, termasuk perempuan, anak-anak, dan bayi (1 Sam 15:2-3, TB 2). Narasi-narasi ini sering kali menimbulkan ketegangan etis dan teologis bagi pembaca modern, sehingga memerlukan penafsiran yang bijaksana dalam konteks sejarah, sastra, dan iman.
Tujuan Teks Kekerasan
Penulis Perjanjian Lama tidak menulis kisah kekerasan tanpa alasan kuat, melainkan dengan maksud tertentu yang berkaitan dengan pesan moral dan teologis. Kekerasan ditampilkan sebagai konsekuensi dosa, bentuk keadilan Allah, atau pergumulan umat dalam menghadapi penindasan. Narasi-narasi tersebut bukan sekadar catatan historis, tetapi sarana untuk menyampaikan kebenaran iman, memperlihatkan relasi antara Allah dan manusia, serta menggugah kesadaran akan tanggung jawab moral dalam sejarah keselamatan.
Solusi Hukum
Beberapa teks kekerasan dalam Perjanjian Lama disaji sebagai bentuk hukuman bertujuan untuk mencegah kejahatan dan menegakkan keadilan. Salah satu contoh yang kerap disalahpaham adalah prinsip "mata ganti mata”. Kerugian akibat konflik yang melibatkan perempuan hamil harus diganti. Hukuman yang setara juga harus diberlakukan padanya sebagai konsekuensi atas perbuatannya (Kel 21:24, TB 2); jika seseorang sengaja mengakibatkan kehilangan anggota tubuh, maka harus diganti dengan yang sama dilakukan oleh orang tersebut sebagai ganti rugi (Im 24:20, TB 2); Seseorang yang memberikan kesaksian palsu dan menyebabkan kerugian bagi sesamanya akan menerima konsekuensi yang setara dengan kerugian yang ia timbulkan (Ul 19:15-21, TB 2). Prinsip ini bukan dimaksudkan untuk membenarkan balas dendam, melainkan sebagai batasan hukum yang adil dan proporsional, sebuah perlindungan terhadap hukuman yang berlebihan, sekaligus mekanisme keadilan restoratif dalam masyarakat kuno.
Makna Simbolis
Narasi pemusnahan, seperti dalam kitab Yosua dan 1 Samuel 15:2-3, mengandung makna simbolis yang menekankan kekudusan umat pilihan Allah dan pengakuan terhadap kuasa tertinggi Tuhan atas seluruh bangsa. Kekerasan dalam konteks ini tidak selalu harus dimaknai secara historis literal, tetapi sebagai representasi teologis mengenai pemisahan umat Allah dari pengaruh dosa dan ketidaktaatan, serta peneguhan otoritas ilahi dalam sejarah keselamatan.
Doa Emosional
Mazmur-mazmur yang menyerukan pembalasan sering kali merupakan luapan emosi dari orang-orang yang mengalami penderitaan dan penindasan. Doa-doa ini mencerminkan jeritan hati umat yang mempercayakan rasa sakit dan keadilan mereka sepenuhnya kepada Tuhan. Dalam konteks ini, seruan pembalasan bukanlah ajakan untuk kekerasan, melainkan ekspresi iman bahwa Tuhan adalah hakim yang adil, yang akan bertindak membela mereka yang tertindas.
Tantangan Kekerasan dalam Alkitab
Munculnya teks-teks kekerasan dalam Alkitab kerap menimbulkan kebingungan dan ketegangan bagi orang percaya, karena tampak bertentangan dengan gambaran umum tentang Allah sebagai pribadi yang penuh kasih. Namun, sebagaimana dicatat oleh beberapa pembicara dan pengkaji Alkitab, meskipun teks-teks tersebut ada, sangat sedikit orang Kristen yang benar-benar melakukan kekerasan berdasarkan kisah-kisah Alkitab. Hal ini menunjukkan bahwa umat percaya cenderung memprioritaskan ajaran-ajaran utama dalam Alkitab, khususnya pengajaran kasih yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Ketegangan ini biasanya muncul ketika seseorang mulai membaca Alkitab secara mandiri, bukan sekadar mendengar pembacaan atau penjelasan dalam konteks kebaktian gereja, sehingga makna teks menjadi lebih langsung dan terkadang membingungkan tanpa bimbingan tafsir yang memadai.
Memahami dan Menanggapi Kekerasan dalam Teks Kitab Perjanjian Lama
Penting untuk menerapkan pendekatan seimbang dalam membaca Alkitab, yaitu dengan mempertimbangkan konteks, narasi, dan teologi secara keseluruhan, bukan hanya berfokus pada satu atau dua ayat terpisah. Pembacaan yang terlalu literal terhadap teks tertentu, terutama yang menggambarkan Tuhan secara tidak lazim atau mengganggu, dapat menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman. Karena itu, dalam kasus seperti ini, teks perlu ditafsirkan secara metaforis atau alegoris. Tujuannya agar makna yang lebih dalam sesuai dengan pesan kasih, keadilan, dan keselamatan dalam Alkitab dapat dipahami dengan tepat.
Konteks Sejarah
Dalam memahami teks-teks Alkitab, penting disadari bahwa para penulisnya hidup dalam konteks sejarah dan budaya pada zamannya. Mereka menulis berdasarkan pengalaman hidup, situasi sosial-politik, serta sistem nilai yang berlaku saat itu. Hal ini tercermin dalam gaya penulisan, pilihan kata, dan cara mereka menggambarkan Allah, umat, maupun dunia di sekitar mereka. Sebab itu, banyak teks yang memuat unsur kekerasan perlu dibaca dengan mempertimbangkan latar belakang budaya dan historisnya. Dengan pendekatan semacam ini, pembaca dapat memahami bahwa pesan ilahi disampaikan melalui bahasa dan simbol yang relevan bagi masyarakat pada masa itu, tanpa harus menerapkannya secara literal dalam konteks masa kini.
Peran Yesus Kristus
Yesus Kristus dipahami sebagai puncak wahyu Allah, yang kehadiran dan ajaran-Nya menjadi tolok ukur utama bagi moralitas Kristen. Dalam diri-Nya, umat percaya melihat perwujudan kasih, pengampunan, dan keadilan ilahi yang sejati. Ajaran-ajaran Yesus, seperti perintah untuk "...kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Mat 5:44 , TB 2), secara radikal menggeser paradigma kekerasan yang muncul dalam beberapa teks Perjanjian Lama menuju etika kasih yang inklusif dan transformatif. Dengan demikian, Yesus menjadi kunci penafsiran utama dalam memahami keseluruhan isi Alkitab, termasuk bagian-bagian yang sulit dan kontroversial. Segala bentuk pengajaran dan tindakan umat Kristen seharusnya selalu dikembalikan kepada teladan hidup dan kasih Kristus.
Sikap Gereja Membaca Teks Kekerasan dalam Alkitab
Kehadiran teks-teks kekerasan dalam Alkitab sering menimbulkan pertanyaan, namun hal itu tidak serta-merta merusak otoritas dan keutuhan Kitab Suci. Justru, keberadaan teks-teks tersebut menunjukkan bahwa Alkitab tidak menyembunyikan realitas keras kehidupan manusia dan pergumulan iman yang menyertainya. Dalam konteks pastoral, gereja kerap mengambil langkah bijaksana dengan tidak menyertakan beberapa bagian Alkitab yang paling keras atau penuh kekerasan dalam leksionarium liturgi yakni daftar bacaan resmi dalam ibadah. Pilihan ini bukan untuk menghindari kebenaran Alkitab, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab pastoral guna mencegah kebingungan, kesalahpahaman, atau bahkan skandal di kalangan umat beriman, terutama bagi mereka yang belum siap memahami konteks historis dan teologis dari teks-teks tersebut.