Seminar Alkitab | Pdt. Prof. Joas Adiprasetya, Th. D.
Roma 16:7 TB (1974):
“Salam kepada Andronikus dan Yunias, saudara-saudaraku sebangsa, yang pernah dipenjarakan bersama-sama dengan aku, yaitu orang-orang yang terpandang di antara para rasul dan yang telah menjadi Kristen sebelum aku.”
Roma 16:7 TB2 (2023):
“Salam kepada Andronikus dan Yunia, saudara-saudara sebangsaku, yang pernah dipenjarakan bersama aku. Mereka orang-orang yang terpandang di antara para rasul dan telah hidup dalam Kristus sebelum aku.”
Ayat ini menimbulkan perdebatan, terutama menyangkut dua hal. Pertama, apakah Yunia seorang perempuan atau laki-laki? Kedua, apakah ia benar-benar termasuk dalam lingkaran para rasul? Dalam Perjanjian Baru, istilah apostolos (ἀπόστολος) merujuk pada “yang diutus.” Namun dalam konteks kerasulan formal, seperti tampak dalam Kisah Para Rasul 1:21–22, terdapat kriteria khusus, yaitu: seorang rasul adalah saksi mata kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Meski Paulus tidak memenuhi kriteria ini secara literal, tetapi ia tetap diakui sebagai rasul karena pengalamannya menerima penglihatan khusus dari Kristus ketika perjalanan ke Damsyik (bdk. 1 Korintus 15:8–9). Di luar kedua belas rasul dan Paulus, kita mendapati Apolos, Barnabas, Yakobus saudara Yesus, dan Andronikus bersama Yunias atau Yunia sebagai tokoh-tokoh yang juga disebut rasul.
Siapakah Yunia(s)?
Nama Yunani Ἰουνιαν (Iounian) dalam ayat ini muncul dalam bentuk akusatif tunggal, yang secara gramatikal bisa merujuk pada bentuk feminin Ἰουνίαν (Iounían, Yunia) maupun maskulin Ἰουνιᾶν (Iouniân, Yunias). Namun, karena teks-teks Yunani paling awal tidak menggunakan aksentuasi, pertanyaan ini tidak dapat diselesaikan semata-mata melalui manuskrip awal. Ketika sistem aksentuasi diperkenalkan, naskah-naskah tertua seperti edisi Westcott-Hort dan Tischendorf secara konsisten memilih bentuk feminin. Aksentuasi maskulin baru mulai muncul dalam edisi-edisi modern, misalnya Novum Testamentum Graece (Nestle) tahun 1927 dan edisi The Greek New Testament dari UBS (United Bible Societies), yang menandai adanya perubahan tafsir yang mungkin dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya patriarkal. Secara filologis dan historis, studi oleh Bruce Metzger dan Eldon Jay Epp menunjukkan bahwa “Yunia” adalah nama Latin perempuan yang sangat umum di Kekaisaran Romawi, dengan kemunculan lebih dari 250 kali dalam prasasti Yunani dan Latin, sementara “Yunias” sebagai nama laki-laki tidak ditemukan. Dengan demikian, jauh lebih mungkin bahwa tokoh ini adalah seorang perempuan.
Terpandang “di antara” atau “bagi” Para Rasul?
Frasa kunci dalam Roma 16:7 adalah:
ἐπίσημοι ἐν τοῖς ἀποστόλοις (episēmoi en tois apostolois)
Dalam analisis linguistik:
- ἐπίσημοι (episēmoi) berasal dari epi (atas) dan sēma (tanda) yang berarti “menyandang tanda dari” atau “memiliki sebuah tanda dari”.
- ἐν τοῖς ἀποστόλοις pemakaian kata ἐν (en) disertai datif plural (tois apostolois) selalu berarti inklusif “di antara” dan tak pernah eksklusif “oleh”.
Dengan demikian, penerjemahan “terpandang di antara para rasul” (TB-LAI, TB2-LAI, NRSV) lebih akurat daripada “terpandang bagi para rasul” (NET, ESV). Ini menunjukkan bahwa Yunia bukan hanya dihormati oleh para rasul, melainkan termasuk dalam komunitas kerasulan itu sendiri.
Tradisi
Tradisi Gereja Ortodoks Timur menyimpan kisah-kisah menarik tentang Andronikus dan Yunia. Dikisahkan bahwa Andronikus ditahbiskan sebagai uskup di Pannonia dan bersama Yunia memberitakan Injil di wilayah tersebut. Mereka berdua diyakini berhasil menutup banyak kuil penyembahan berhala, membawa banyak orang kepada Kristus, serta dikaruniai kuasa untuk melakukan mukjizat seperti mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit. Dalam tradisi Ortodoks Timur, Katolik Roma, maupun beberapa Gereja Ortodoks Oriental, kedua tokoh ini dihormati sebagai orang kudus dan diperingati setiap tanggal 17 Mei sebagai hari Santo Andronikus dan Santa Yunia.
Mayoritas Bapa Gereja, seperti John Chrysostom, menganggap Yunia sebagai perempuan dan rasul. Chrysostom menulis dengan kekaguman, “Kemudian pujian lain selain itu. Siapa yang diperhatikan di antara para rasul. Dan memang menjadi rasul sungguh-sungguh hal yang luar biasa. Tetapi untuk menjadi salah satu dari yang terpandang, pertimbangkan saja betapa hebatnya pujian ini! Tapi mereka terkenal karena karya mereka, prestasi mereka. Oh! Betapa besar devosi (φιλοσοφία) perempuan ini, sehingga dia bahkan dianggap layak untuk gelar rasul! Tetapi bahkan di sini dia [Paulus] tidak berhenti, tetapi menambahkan pujian lain selain itu, dan berkata, ‘Yang juga berada di dalam Kristus sebelum aku.’” Pengecualian terdapat pada Origenes, yang dalam beberapa tulisannya terkesan mendua. Namun yang paling jelas adalah Epifanius dari Salamis (310–403) dalam tulisannya Index Discipulorum, ia menyebut Yunia sebagai seorang laki-laki dan bahkan mengklaim bahwa Yunia menjabat sebagai uskup di Apamea. Namun demikian, keakuratan tulisan Epifanius ini dipertanyakan oleh banyak ahli, mengingat ia juga mencatat Priskila, yang secara eksplisit disebut sebagai perempuan dalam Kisah Para Rasul 18:2, sebagai seorang laki-laki. Ketidakkonsistenan ini memperlemah kredibilitasnya sebagai sumber historis dalam isu identitas gender Yunia. Dalam konteks ini, Bp. Hortensius Mandaru, SSL, penerjemah Lembaga Alkitab Indonesia, menyatakan bahwa kasus Yunia merupakan contoh nyata bias patriarkal dalam sejarah penerjemahan.
Penemuan kembali Yunia bukanlah upaya revisionisme feminis, melainkan rekonstruksi historis yang membebaskan gereja dari pembacaan teks yang terlalu sedikit. Menurut Rena Pederson, “Yunia bukanlah penemuan baru dari agenda feminis. Ia adalah tokoh historis yang terlupakan, kini ditemukan kembali.” Melalui bukti filologis, sejarah tradisi, dan pemahaman teologis yang adil terhadap teks, Yunia berdiri teguh sebagai satu-satunya rasul perempuan yang diakui oleh Paulus dalam Alkitab. Dengan mengakui Yunia sebagai rasul perempuan, kita melihat inklusivitas radikal gereja mula-mula.
Dengan demikian, pengakuan akan kerasulan Yunia bukan hanya memperkuat sejarah gereja mula-mula, tetapi juga memperkaya pemahaman kita akan peran perempuan dalam pelayanan dan kepemimpinan gerejawi masa kini. Gereja yang kuat adalah gereja yang adil dalam membaca Alkitab, bebas dari bias patriarkal, dan berani mengakui kebenaran meski hanya lewat satu ayat.