Pada awalnya, pewartaan gereja perdana berfokus pada peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus. Dalam surat-surat Paulus, seperti yang tertulis dalam 1 Korintus 15:3-5, inti pemberitaan yang disampaikan adalah Kristus yang mati dan bangkit untuk menyelamatkan umat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa kelahiran Yesus, meskipun penting, tidak menjadi pokok utama pewartaan gereja mula-mula. Pada surat Galatia 4:4, kelahiran Yesus hanya disebut sepintas untuk menekankan kemanusiaan dan ke-Yahudi-an-Nya sebagai Anak Allah.
Mengapa gereja mula-mula tidak segera merayakan kelahiran Yesus? Setidaknya ada dua alasan utama. Pertama, gereja perdana sangat berhati-hati terhadap data historis yang tidak pasti. Kedua, tradisi merayakan kelahiran seseorang pada masa itu sering dianggap sebagai praktik kafir. Misalnya seperti yang disampaikan oleh Origenes, seorang teolog besar, melabel semua perayaan kelahiran sebagai perbuatan dosa. Tidak ada orang saleh yang merayakan hari kelahiran, hanya para tiran. Bahkan menurut Arnobius perayaan kelahiran merupakan budaya dewa-dewi kafir. Hal ini mendorong orang Kristen mula-mula untuk tidak merayakan kelahiran Yesus. Sebagai gantinya, perayaan Paskah yang memperingati wafat dan kebangkitan Kristus menjadi perayaan pertama yang dirayakan oleh gereja.
Fokus pada kelahiran Kristus mulai berkembang seiring berjalannya waktu. Injil Markus, yang ditulis sekitar tahun 70 M, memulai narasinya dari pembaptisan Yesus, bukan kelahiran-Nya. Namun, hal ini menimbulkan masalah teologis, seperti yang ditemukan dalam pemahaman adopsionisme. Pemahaman tersebut menyatakan bahwa Yesus menjadi Anak Allah hanya setelah pembaptisan. Untuk mengatasi potensi kesalahpahaman ini, Injil Matius dan Lukas, yang ditulis sekitar tahun 80-90 M, memberikan penekanan pada asal ilahi Yesus sejak dikandung oleh Roh Kudus. Pendekatan Injil Yohanes agak sedikit berbeda dengan menegaskan pra-eksistensi Yesus sebagai Firman yang telah ada sejak awal mula (Yohanes 1:1-14).
Dalam tradisi Gereja Timur, pada tahap awal Epifani dirayakan pada tanggal 6 Januari untuk mengenang semua tahap “awal” dalam kehidupan Yesus, yaitu persiapan kedatangan-Nya (Adven), kelahiran-Nya (Natal), pembaptisan-Nya, dan mukjizat pertama-Nya (Perkawinan di Kana). Bahkan hingga saat ini, Gereja Timur tetap merayakan Natal pada tanggal 6 Januari.
Sedangkan di Gereja Barat, pada akhir abad ke-4 Masehi, perayaan Natal dan Epifani mulai dirayakan secara terpisah di beberapa wilayah. Epifani secara resmi ditetapkan sebagai Hari Raya tersendiri oleh Konsili Tours pada tahun 567. Sementara itu, perayaan Natal pada tanggal 25 Desember sudah dirayakan jauh sebelum tahun 336 di Roma (paling lambat sudah dirayakan sejak 336 M di Roma). Sedangkan 25 Desember sebagai perayaan Sol Invictus (Matahari tak terkalahkan) tidak ada evidensi sebelum Chronograph 354/362. Oleh karena itu, jika kita menelusuri kronologi sejarah, dapat disimpulkan bahwa Sol Invictus justru dipengaruhi oleh perayaan Natal pada 25 Desember yang telah dirayakan oleh jemaat Kristen sejak sebelum tahun 336.
Kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember telah dinyatakan oleh tokoh seperti Tertulianus dan Sextus Julius Africanus (160–230/240 M), bahkan oleh Proto-Injil Yakobus sekitar tahun 145 M. Perayaan Epifani pada tanggal 6 Januari, serta periode 12 hari di antara kedua perayaan tersebut, kemudian dikenal sebagai “Masa Natal” (bdk. Weihnachten yang berarti “Hari-Hari Suci”).
Natal mulai dirayakan di Gereja Barat pada 25 Desember. Penanggalan ini diyakini berasal dari ‘teori kalkulasi,’ yang menyatakan bahwa Yesus dikandung pada 25 Maret (hari yang sama dengan wafat-Nya), sehingga kelahiran-Nya jatuh pada 25 Desember. Tradisi ini secara resmi diakui pada tahun 336 M di Roma, sementara di Gereja Timur, Natal tetap dirayakan pada 6 Januari, bertepatan dengan Epifani.
Epifani berasal dari kata Yunani ἐπιφάνεια (epiphaneia), yang berarti “penampakan dari atas”. Perayaan ini menggarisbawahi inisiatif Allah dalam karya keselamatan. Dalam tradisi Gereja Timur, Epifani pada awalnya mencakup peringatan semua tahap awal kehidupan Yesus: kelahiran, pembaptisan, dan mukjizat pertama di Kana. Perayaan ini dikenal sebagai "Hari Raya Cahaya," sejajar dengan Hanukah dalam tradisi Yahudi. Di Gereja Barat, Epifani mulai difokuskan pada penampakan Yesus kepada para Majus (Matius 2:1-12). Kisah ini menekankan universalitas keselamatan Allah, yang diwahyukan kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Dengan pemisahan perayaan Natal dan Epifani pada akhir abad ke-4 M, Hari Raya Pembaptisan Tuhan dipindahkan ke Minggu setelah 6 Januari, mengawali masa biasa dalam tahun liturgi.
Pada akhirnya, kita dapat menangkap sebuah pesan bahwa melalui Epifani, Allah menyingkapkan karya keselamatan-Nya yang agung di tengah-tengah dunia. Epifani, sebagai "Natal yang paling asli," memiliki akar yang kuat dalam tradisi gereja mula-mula. Perayaan ini menegaskan bahwa kelahiran Yesus adalah bagian integral dari karya keselamatan Allah, yang diwujudkan melalui inisiatif-Nya di tengah sejarah. Dengan memahami perkembangan sejarah dan teologi Natal dan Epifani, kita diajak untuk merenungkan makna kelahiran Kristus sebagai penampakan kasih dan terang Allah bagi dunia. Perayaan Epifani dan Natal mengingatkan kita akan janji keselamatan yang diwujudkan melalui inkarnasi Sang Firman.
Bagaimana pemahaman tentang Epifani sebagai "Natal yang paling asli" memperkaya iman kita terhadap karya keselamatan Allah?