Benjamin Frederik Matthes: Penerjemah Alkitab dan Pelestari Budaya

Berita | 16 Januari 2025

Benjamin Frederik Matthes: Penerjemah Alkitab dan Pelestari Budaya


Alkisah, pada zaman bumi masih kosong dan belum berpenghuni, Sang Penguasa Kerajaan Langit, Patotoqé, bangun dari tidur panjangnya. Yang pertama dicari adalah Rukelleng Mbopa bersaudara, yang menjadi penjaga ayam kesayangannya. Karena Rukelleeng Mbopa bersaudara tidak nampak, Patotoqé murka dan memerintahkan pengawal untuk mencari mereka.

 

Rukkelleng Mpoba bersaudara datang tergopoh-gopoh dan dengan takut mereka langsung bersembah sujud di hadapan Patotoqé. Kata mereka,“Mohon maaf ya, Tuanku. Kami baru saja berkeliling bumi untuk memperlagakan kilat dan guntur. Kami menyaksikan tidak ada satu pun manusia di dalamnya, tidak ada arti kekuasaan dan ketuhananmu tanpa ada manusia yang menyembahmu”.

 

Sejenak Patotoqé terpekur dan berkata dalam hati: “Betul juga apa kata Rukkelleng Mpoba itu”. Maka Patotoqé pun memerintahkan untuk menyelenggarakan musyawarah agung di Istana Langit, untuk memutuskan siapakah putranya yang akan diturunkan di dunia untuk menghuni dunia yang kosong. Ia ingin di bumi lahir anak-anak manusia yang nanti akan menyembah dan mengagungkannya.

 

Musyawarah memutuskan untuk mengirim putra Patotoqé bernama La Togeq Langiq, yang setelah di dunia bernama Batara Guru. Patotoqé menurunkan pula seluruh warisan Batara Guru di langit termasuk istana, selir-selir, pasukan, pengawal, dayang-dayang,  pendeta-pendeta bissu, sanro (dukun), dan para pelayan yang kelak akan menghibur, menemani, dan melayani  Batara Guru agar ia betah dan bertahan hidup di bumi.

 

Batara Guru dijodohkan dengan Putri Dewi Sinauq Tojang dari Buriq Liu/Pérétiwi (Kerajaan Bawah Laut), bernama Wé Nyiliq Timoq. Pertemuan, percintaan, dan perkawinan Batara Guru dengan sang putri dari istana bawah laut ini, penuh dengan kisah-kisah unik, mistis, magis, dan romantik yang secara purba menggambarkan hubungan manusia secara natural dan universal. Perkawinan dewa dari Boting Langiq dan dewi dari Buriq Liu ini kemudian menghuni dunia tengah (Alé Kawaq/Alé Lino) dan diyakini sebagai manusia pertama yang mengisi bumi. Manusia-manusia pertama lahir di daerah Luwu Utara di Teluk Bone. Mereka kemudian berkembang-biak, beranak-pinak, dan  meramaikan dunia yang sekarang lebih dikenal sebagai tanah Bugis dan  manusia Bugis.

 

Putri pertama dewa-dewi ini bernama Wé Oddang Riuq, yang meninggal ketika berusia tujuh hari, dan dari kuburnya muncul padi menguning, itulah yang dikenal Sangiang Serri (mirip Dewi Sri di Jawa), yang kelak akan memberi kehidupan manusia. Anak kedua pasangan Batara Guru dengan We Nyiliq Timoq adalah La Tiuleng atau lebih dikenal sebagai Batara Lattu’.

 

La Tiuleng atau Batara Lattu’ punya anak kembar, yakni Sawérigading dan Wé Tenriabéng. Sengaja keduanya dibesarkan terpisah. Sebagai saudara kembar mereka baru bertemu lagi saat menginjak usia dewasa. Sawérigading terpesona dan jatuh hati pada saudara kembarnya. Sawérigading pun berniat menikahi Wé Tenriabéng.

 

Rahasia keluarga yang selama ini disimpan pun dibeberkan. Diceritakanlah kepada Sawérigading, Wé Tenriabéng sejatinya ialah saudara kembarnya. Perkawinan sedarah diyakini akan mendatangkan bencana.

 

Sawerigading patah hati. Sawérigading memutuskan untuk pergi menjelajahi dunia. Hingga suatu ketika di Negeri Cina, Sawérigading bertemu putri yang berwajah cantik dan mirip saudari kembarnya bernama Wé Cudaiq, anak seorang raja di daratan China. Setelah melewati serangkaian kisah dan peristiwa, lahirlah anak laki-laki sebagai buah cinta dan perkawinan mereka. Anak laki-laki inilah kemudian diberi nama ‘La Galigo’.

 

Penggalan kecil kisah di atas bukan cerita yang bersumber dari Alkitab. Kisah penciptaan dunia yang tertulis dalam naskah La Galigo berbeda dengan kisah penciptaan seperti yang diceritakan dalam Kitab Kejadian. Kisah penciptaan menurut La Galigo ditulis menurut cara pandang leluhur masyarakat Bugis kuno dalam menggambarkan hubungan manusia dengan alam dan sang pencipta semesta.

 

La Galigo disebut-sebut sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia. Lebih panjang daripada kisah kepahlawanan India, Mahabarata, dan Ramayana. Juga lebih panjang daripada epik Yunani, Homerus. Naskah La Galigo yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden dengan nama arsip”NBG 188” yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden panjangnya 2850 halaman dengan ukuran 21 cm x34 cm yang terbagi dalam 12 jilid buku ditulis tangan dalam aksara Bugis, dan tediri dari 225.000 baris. Menurut keyakinan Benjamin Frederik Matthes dan para ahli lainnya, naskah ribuan halaman itu hanya sepertiga dari keseluruhan kisah La Galigo yang hidup dan tersebar di masyarakat Bugis. Sayangnya popularitas La Galigo di tanah air masih kurang dibandingkan epik India. Tidak banyak dari kita yang mengenalnya. Padahal, sejak 2011, La Galigo sudah ditetapkan oleh UNESCO (Badan Pendidikan dan Kebudayaan Dunia) sebagai sastra warisan dunia.

 

Padahal bagi sebagian masyarakat Bugis yang menganut agama lokal, kepercayaan Tolotang, posisi La Galigo sebenarnya ialah kitab suci mereka. Berbentuk puisi epik, karya ini awalnya berupa tuturan lisan. Namun memasuki paruh pertama abad 19, karya ini mulai ditulis. Berbentuk puisi tradisional Bugis atau Lontara. Komposisi bahasa penyusun puisi ini dianggap indah. Berkualitas susastra tinggi. Menariknya, tradisi pembacaan La Galigo dilakukan sembari dinyanyikan. Cara melagukan La Galigo dalam bahasa Bugis disebut laoang atau selleang. Lazimnya dilakukan dalam sebuah upacara adat. Jadi, sebenarnya bicara La Galigo, selain mewariskan tradisi tulisan juga tradisi lisan.

 

Menurut bebebara ahli, La Galigo kisah La Galigo awalnya ditulis sekitar permulaan abad ke-14, beberapa ahli malahan yakin permulaan kisahnya telah muncul di kalangan masyarakat Bugis lebih awal lagi. Menariknya, sekalipun La Galigo bukanlah teks sejarah karena aspek mitologis narasi itu terasa sangat kuat, tetapi teks ini diakui oleh banyak ilmuwan memiliki pengaruh besar pada bagaimana sejarawan melihat masa lalu peradaban Bugis. Khususnya, masyarakat Bugis di periode sebelum era masuknya Islam.

 

Apa hubungan La Galigo dengan penerjemahan Alkitab? Siapakah Benjamin Frederik Matthes? Apa yang dilakukan Matthes selama lima puluh tahun berkarya dan melayani sebagai utusan Lembaga Alkitab Belanda (Nederlands Bijbelgenootscap-NBG)?

 

Dalam pertemuan di Amsterdam pada 1847, Dewan Pengurus Lembaga Alkitab Belanda (NBG) mengambil keputusan untuk memulai penerjemahan Alkitab dalam bahasa Bugis dan Makassar. John Leyden, misionaris yang berkarya di Sulawesi Selatan menyampaikan bahwa Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis. Jika Badan Pekabaran Injil ingin memperkenalkan Agama Kristen di Sulawesi Selatan maka penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa setempat harus mulai dikerjakan. Seorang tenaga penerjemah harus dikirimkan ke Sulawesi Selatan dan menurut NBG orang tersebut harus memiliki kemampuan teologi dan sekaligus keahlian ilmu bahasa. Pilihan NBG jatuh pada sosok Dr. Benjamin Frederik Matthes.

 

Benjamin Frederik Matthes lahir di Amsterdam pada 18 Januari 1818. Setelah menyelesaikan sekolah menengah, ia melanjutkan studi teologi di Universitas Leiden. Di Leiden selain belajar ilmu teologi, Matthes juga belajar bahasa dan kesusastraan Semit. Setelah itu ia memperdalam ilmu bahasa Semit di Universitas Heidelberg, Jerman. Antara 1844-1848, Matthes menjabat sebagai pengajar dan Wakil Direktur Pusat Pendidikan Misi (Zendelingshuis) dari Badan Pekabaran Injil Belanda (Nederlands Zending Genootscap-NZG) di Rotterdam. Ketika Lembaga Alkitab Belanda (NBG) mencari seseorang yang bisa meneliti bahasa Bugis dan Makassar, Matthes dianggap orang yang paling tepat. Maka, pada 13 Oktober 1847 Matthes diangkat secara resmi sebagai utusan NBG untuk daerah Sulawesi Selatan. Awalnya Matthes sedikit keberatan atas penunjukannya, karena ia tidak menyetujui kebijakan NBG yang tidak memberikan pensiun di masa tua maupun pensiun janda kepada pegawainya. Meskipun tidak setuju, ia pasrah pada kebijakan yang berlaku di lingkungan NBG. Namun, di kemudian hari ia mendengar kabar NZG menetapkan pengadaan pensiun bagi para karyawannya dan ia bergembira karena menyebut hal itu menunjukkan “prinsip dan semangat kristiani sebuah lembaga”.

 

Pada Juni 1848, Matthes menikah dengan C.E. Engelenburg di Kampen, dan pada 7 Juli ia bersama istrinya berangkat dengan kapal ke Indonesia. Nyonya Matthes adalah satu-satunya penumpang wanita di kapal tersebut. Walaupun mula-mula menderita mabuk laut selama beberapa hari, Matthes menikmati perjalanan panjang lintas benua tersebut. Setelah melewati Kepulauan Kanari, baru mereka melihat daratan lagi, yaitu Kepulauan Natal, di Selatan Jawa. Pada 27 Oktober 1848, Matthes dan istrinya mendarat di Batavia.

 

1848-1860

Tiba di Batavia, Matthes langsung mencari arsip-arsip tentang Bugis dan Makassar peninggalan dari Pdt. W.C. Toewater, yang menjabat pendeta jemaat Makassar selama tahun 1840-1843 dan meninggal pada tahun 1844. Ternyata bahan-bahan tersebut hampir tidak bisa dipergunakannya, karena hanya berupa catatan-catatan pendek. Sebulan kemudian pasangan Matthes berangkat menuju Makassar dan tiba di sana pada 20 Desember 1848. Bagi seorang ahli bahasa yang biasa terdidik dalam cara pendidikan barat pada masa itu, Matthes mengutamakan naskah-naskah tertulis dalam bahasa sasaran sebagai pijakan dasar metode penerjemahan dibanding wawancara dan perbincangan langsung dengan para penutur bahasa tersebut. Ia menganggap naskah-naskah tertulis memiliki kaidah bahasa dan kosakata yang lebih murni dan lebih lengkap dibanding bahasa lisan.

 

Setiba di Makassar, Matthes segera mulai bekerja, mula-mula dengan bantuan orang Indo-Eropa yang dapat berbahasa Makassar. Tak lama kemudian ia mulai bekerja sama dengan seorang bernama Intje Papu (dari namanya agaknya ia bukan orang Makassar asli). Di seputar tempat tinggalnya hampir semua orang fasih berbahasa Makassar. Pada tahun 1850, Matthes melakukan perjalanan ke Pantai Selatan dengan maksud belajar bahasa Makassar di pedalaman. Ketika sampai di Bonthain dan Bulukumba, ia terkejut melihat keadaan jemaat-jemaat Gereja Protestan di sana, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang Indo-Eropa. Jemaat-jemaat itu betul-betul terbengkelai. Segera ia menyurati NZG dan mengusulkan untuk menempatkan seorang utusan Injil untuk ditempatkan di Sulawesi Selatan.

 

Sementara menunggu kedatangan utusan Injil, Matthes membantu melayani katekisasi, berkhotbah, dan memberikan pelayanan pastoral. Baginya beban tugas tersebut cukup berat, di luar tugas utamanya meneliti bahasa dan penerjemahan Alkitab. Sebagai misionaris hal tersebut ia jalani dalam semangat pengabdian untuk memelihara jemaat Tuhan.

 

Pada 1852, akhirnya seorang utusan Injil dikirim oleh NZG untuk melayani di Bonthain dan Bulukumba, yaitu W.M. Donselaar. Dua tahun kemudian datang utusan Injil yang kedua, A. Goudswaard.

 

Sementara itu, Matthes sedikit demi sedikit mulai memperoleh kepercayaan penduduk setempat, sehingga banyak hal yang berhasil dilacaknya. Dalam perjalanan ke Parangtambung, ia menemukan Al-Qur’an yang disertai terjemahan interlinear dalam bahasa Makassar. Namun, sebagai orang yang memahami bahasa Arab, Matthes memandang terjemahan tersebut terlalu bebas, bahkan menyerupai parafrasa. Terjemahannya terlalu bertele-tele, sehingga panjangnya menjadi tiga kali lipat. Katanya,”Kalau nanti menerjemahkan Alkitab, sebaiknya tidak mencontoh cara penerjemahan Al-Qur’an tersebut.”

 

Setelah beberapa lama meneliti, Matthes menganggap Bahasa Makassar lebih mudah dipelajari, tetapi tidak sepenting bahasa Bugis, karena jumlah penutur bahasa Bugis yang lebih banyak dan wilayah penyebaran yang lebih luas. Sambil meneliti dengan tekun bahasa Makassar, Matthes mulai mengumpulkan naskah-naskah dalam bahasa Bugis kuno antara lain naskah La Galigo.

 

Pada 1852, Matthes melakukan perjalanan ke utara. Dalam perjalanan selama dua bulan tersebut, ia untuk pertama kalinya mengunjungi daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya adalah orang Bugis. Matthes mulai dapat memahami bahasa Bugis, karena menemukan beberapa orang yang mau memberikan keterangan kepadanya, antara lain Bupati Aru Mandalle dan ayahnya, Daeng Mamanggung di Kekeang, dan Aru Pancana, seorang putri Raja Tanette, yang digambarkan Matthes sebagai berikut:

 

“Ia berusia sekitar 40 tahun, suaminya sudah meninggal. Ia seorang wanita yang boleh disebut pelajar. Semua surat-surat penting ayahnya ia yang mengarsipkan dan menyusunnya. Aru Pancana tidak hanya mengerti bahasa Keraton Bone, tetapi ia juga menguasai bahasa kuno, yaitu bahasa La Galigo, yang sudah tidak dipergunakan lagi.”

 

Matthes sangat menghargai perempuan terpelajar seperti itu, meskipun tak jarang dalam suratnya Matthes berpendapat negatif terharap taraf pendidikan dan budaya orang-orang Bugis dan Makassar.

 

Di tengah perjuangannya mempelajari bahasa Bugis dan Makassar, Matthes mengalami banyak masalah keluarga. Anak pertamanya meninggal beberapa saat sebelum dilahirkan pada Juni 1850, yaitu saat Matthes sering meninggalkan Makassar untuk melayani jemaat gereja di Bonthain dan Bulukumba. Setelahnya, kesehatan istrinya tidak pernah dalam kondisi yang benar-benar fit. Pada tahun 1852, ia melaporkan kepada NBG bahwa istrinya menderita sakit pernapasan. Sehingga mereka mempertimbangkan untuk mengunjungi kakak lelaki istrinya di Klaten, Jawa Tengah. Pada 1854, anak perempuannya yang masih kecil juga sakit parah. Matthes sempat mengeluh hidupnya berkisar dari kamar studi dan kamar orang sakit. Pada akhir 1854, Matthes dan keluarganya pindah ke Maros, sebab iklim di sana dipandang lebih baik. Tetapi ternyata itu tidak terlalu berguna. Pada 9 Maret 1855, Nyonya Matthes meninggal dunia akibat penyakit TBC yang semakin parah.”

 

Kematian istrinya menyebabkan Matthes sangat terpukul. Kepada sahabatnya Hiebink, Matthes menceritakan kenangan-kenangan indah dalam hidup berumah tangga bersama istrinya. Ia pun terpaksa menitipkan dua orang anaknya yang masih kecil (anak perempuan berusia 3 tahun dan anak laki-laki berusia setahun) pada keluarga salah seorang temannya, yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Pekerjaannya yang mengharuskan sering pergi ke pedalaman, menyebabkan Matthes tidak mungkin untuk mendidik dan mengurus anak-anaknya. Karena para pegawai pemerintah sering dipindah tugaskan, Matthes sampai dua kali mencari keluarga lain untuk menitipkan anak-anaknya.

 

Di tengah berbagai kesulitan, Matthes kembali bekerja keras. Ia sudah mulai bisa membaca bagian-bagian syair La Galigo yang ditulis dalam aksara Bugis kuno. Pada 1856, kembali ia melakukan perjalanan ke utara. Dalam perjalana itu ia dibantu oleh para raja dan mengumpukan sejumah naskah tulisan tangan, antara lain kotika (tulisan mengenai cara membedakan waktu yang baik dan kurang baik) dan hukum-hukum adat. Matthes juga bekerja sama dengan para bissu (dukun-dukun yang berlaku seperti perempuan). Setelah kembali ke Makassar dari perjalanan panjang ke wilayah utara, Matthes mulai menimbang untuk membawa dan menitipkan anak-anaknya di Belanda. Maka, ia pun mengajukan cuti kepada NBG. Sambil menunggu keputusan NBG, pada 1857 Matthes  melakukan perjalanan yang cukup panjang melintasi Sulawesi Selatan dari pantai barat hingga pantai timur. Tujuan utama perjalanannya adalah Watampone, pusat Kerajaan Bone. Tetapi di perbatasan wilayah Bone ia mengalami kekecewaan besar. Raja dan para pembesar Bone tidak memberinya izin masuk wilayah Bone dan menuntut ia pulang esok harinya. Kemalangannya makin bertambah, ketika pada malam itu, kudanya dicuri sehingga ia terpaksa pulang dengan berjalan kaki selama lima hari melintasi pegunungan. Perjalanan yang berat dan berbahaya ini tidak memabawa hasil yang cukup berarti dalam upayanya belajar bahasa Bugis.

 

Tetapi yang tidak diduga olehnya, akibat Matthes pulang ke Makassar dengan berjalan kaki, pemerintah Hindia Belanda marah. Mereka menuntut ganti rugi kepada Kerajaan Bone. Ketika Kerajaan Bone tidak mengindahkan mereka, maka diadakan sebuah ”ekspedisi penghukuman” dan akhirnya Kerajaan Bone ditaklukkan pemerintah. Sampai beberapa tahun berikutnya Matthes seringkali masih harus membela diri terhadap tuduhan bahwa dirinya yang menjadi penyebab ekspedisi penyerangan itu. Meskipun ia menyesalkan kejadian tersebut, sebagai orang Belanda secara tersirat ia ”membenarkan” tindakan pemerintah tersebut.

 

Pada awal 1858, di Makassar terbit buku karya Matthes Boegineesch heldendicht op Daeng-Kaleboe (Syair Kepahlawanan Bugis mengenai Daeng Kaleboe), terdiri atas pengantar, naskah asli dan terjemahan. Inilah karya Matthes yang pertama dalam bahasa Bugis. Tidak lama kemudian, Pengurus NBG mengizinkan permohonan cutinya. Matthes dan anak-anaknya berangkat ke negeri Belanda. Mereka tiba di sana pertengahan 1858.

 

Saat ia tiba di Belanda, ternyata naskah buku Tata Bahasa Makassar yang ia kirimkan ke NBG belum terbit. Baru pada tahap penyusunan huruf. Sudah sejak 1855 ia mendesak pengurus NBG sebagian bahan-bahan yang sudah dikirimkannya. Ia kecewa dan marah, tetapi sebenarnya tindakan pengurus NBG cukup masuk akal. Tidak mungkin mencetak naskah  yang berasal dari materi-materi dalam bahasa yang tidak dikenal jika penyusun buku belum sempat melihat dan mengoreksi draftnya. Matthes segera berusaha mengusahakan penerbitan kedua karyanya itu. Kamus Makassar-Belanda terbit pada 1859, dan disusul Bunga Rampai 1860. Kedua karya tersebut menunjukkan ketekunan dan keahlian Matthes di bidang bahasa Makassar.

 

Berdasarkan terjemahan awal karya Matthes, misionaris Donselaar menyusun selebaran dalam bahasa Makassar yang berisi Sepuluh Firman, Hukum Yang Terutama, Doa Bapa Kami dan Mazmur 1. Saat selebaran itu selesai dicetak dan hendak disebarkan di masyarakat, Gubernur Sulawesi menyita selebaran tersebut. Pengurus NZG mengajukan surat keberatan pada pemerintah Hindia Belanda, tetapi pemerintah tidak bersedia membatalkan penyitaan tersebut. Agaknya pemerintah merasa jengkel oleh pernyataan pihak Badan Pekabaran Injil (NZG) yang bernada militan namun kurang memahami situasi dan kondisi setempat, seperti berikut:

 

”Di bagian selatan Sulawesi, dua orang kita (misionaris) sudah siap siaga untuk memulai serangan terhadap orang Makassar dan Bugis dengan sabda Injil (cuplikan-cuplikan Alkitab dalam selebaran Donselaar), dalam bahasa daerah mereka.”

 

Pernyataan NZG dianggap tidak peka rawan dan sensitifnya kondisi pemerintahan di wilayah kolonial. Donselaar tetap boleh melayani jemaat Indo-Makassar dan belajar bahasa Makassar, namun dilarang menyebarkan bahan bacaan kepada orang-orang Makassar. Meski demikian, pemerintah Hindia Belanda tidak menghalangi upaya NBG dan Matthes dalam menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Makassar dan Bugis. Tetapi, untuk sementara waktu upaya penerjemahan dan pekabaran Injil tidak dapat berjalan bersama.

 

Pada 1859, Matthes bermaksud kembali ke Makassar. Namun, ia terjatuh dari tangga dan mengalami cedera cukup parah, yang menyebabkan ia tinggal lebih lama di Negeri Belanda. Ia baru berangkat pada musim gugur 1860 dan meninggalkan anak-anaknya pada keluarga istrinya di Kampen. Kali ini untuk pertama kalinya ia menggunakan kapal api, teknologi baru pada masa itu. Ia tiba di Makassar pada awal tahun 1861 dan memulai masa kerjanya yang kedua.

 

1861-1869

Pada masa pelayanan Matthes yang kedua, Dewan Pengurus NBG memandang bahwa setelah beberapa waktu peluang pekabaran Injil di tanah Makassar mulai terbuka. Tetapi memandang usia Matthes yang sudah menjelang 43 tahun, mereka khawatir Matthes tidak akan mampu menyelesaikan tugas penerjemahan Alkitab yang ditugaskan kepadanya. NBG berharap Matthes masih mampu menyelesaikan satu kitab Injil dalam kedua bahasa daerah (Bugis dan Makassar) sebagai dasar bagi terjemahan Alkitab berikutnya.

 

Sementara itu, Matthes bertemu dengan Aru Pancana, seorang yang dapat memberi informasi seputar bahasa Bugis, yang namanya telah disebut di atas. Mengenai pertemuan dengan Aru Pancana, Matthes berkata,” Permaisuri ini adalah ibu….ratu yang kini berkuasa di Tanette, salah satu kerjaan yang takluk kepada pemerintah. Wataknya dominan dan terus-menerus bertengkar dengan putrinya, pemerintah membuatnya tinggal di Makassar. Tidak dapat disangkal ia memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam bahasa dan kesusastraan Bugis.”

 

Aru Pancana menjadi tempat Matthes bertanya seputar bahasa dan kesusastraan. Matthes juga memberinya imbalan untuk menyalin naskah-naskah La Galigo maupun berbagai naskah bahasa daerah lainnya. Meski menurut Matthes agak memalukan bagi seorang ratu bekerja dengan mengharapkan upah. Memperoleh kawan sekerja yang memahami bahasa dan budaya setempat, Matthes memperoleh kemajuan yang cepat dalam mempelajari bahasa dan kesusastraan Bugis.

 

Pada 1863 Injil dalam bahasa Makassar akhirnya terbit, dan disusul tahun berikutnya Injil dalam bahasa Bugis. Tiga tahun kemudian pada 1866, terbit Kitab Kejadian dalam bahasa Bugis.Masing-masing dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Orang-orang Indo-Eropa yang lahir dari ayah Eropa dan ibu pribumi lebih memahami terjemahan ini daripada membaca Alkitab dalam terjemahan bahasa Melayu dan Belanda. Tetapi jumlah mereka sedikit, dan sebagian besar adalah orang miskin. Sementara penduduk muslim, tentu saja tidak bersedia mengeluarkan biaya untuk membeli Alkitab. Van der Tuuk, misionaris dan penerjemah Alkitab rekan Matthes yang berkarya di Tanah Batak tidak setuju NBG mencetak Injil dalam jumlah ribuan dan berkomenta demikian,”Matthes, seperti halnya penerjemah yang lain, pastilah tidak langsung menghasilkan karya terjemahan yang baik. Jadi jika edisi awal ini dicetak dalam jumlah kecil, Matthes akan lebih cepat mendapat kesempatan memperbaiki karyanya itu.”

 

Perkataan Van der Tuuk terbukti. Terbitan Injil yang berhasil disebarkan hanya sedikit, itu pun kalau diberikan secara gratis. Setelahnya NBG sempat menerbitkan jilid pertama Bunga Rampai, kumpulan karya Matthes tentang bahasa dan budaya Bugis. Setelahnya NBG sedikit berhemat dan hanya benar-benar ingin mencetak buku yang mereka pandang penting dan mendukung misi penginjilan. Hubungan Matthes dan NBG sempat tegang karena adanya salah paham. Matthes mengomentari kebijakan NBG tentang berbagai persoalan, di pihak lain pengurus merasa harus melakukan berbagai penghematan dan menghentikan beberapa rencana pencetakan buku terjemahan. Lebih parah lagi, akibat kelalaian Sektretaris NBG yang selama 15 bulan lebih tidak memberikan jawaban atas surat-surat yang dikirim Matthes dari Makassar. Matthes kemudian mengajukan protes resmi ke Dewan Pengurus NBG melalui saudara laki-lakinya di Belanda. Matthes memandang NBG mulai “kurang peduli” akan diri dan pekerjaannya. Protes Matthes membuat pengurus agak sakit hati. Namun, peristiwa ini tidak membawa akibat yang terlalu serius karena NBG kemudian mengangkat seorang sekretaris yang baru, Pdt. J. van Leuwen. Matthes sudah mengenalnya sejak studi di Amsterdam. Korespondensi antara NBG dan Matthes menjadi lebih akrab.

 

Sementara itu, Matthes terus berjuang menyelesaikan kamus dan tata bahasa Bugis. Ia meletakkan dasar kamus Bugis dengan meminta orang menerjemahkan naskah kamus Makassar-Belanda ke dalam bahasa Bugis kemudian melengkapi naskah hasil terjemahan itu dengan data yang telah dikumpulkan melalui penelitian, wawancara dan membaca naskah-naskah asli dalam bahasa Bugis. Buku-buku itu tidak dapat dicetak di Makassar, yang membuat Matthes meminta izin pulang ke Negeri Belanda sekaligus dalam upaya mencetak kamus dan buku tata bahasa Bugis. Akhirnya, Matthes pulang ke Belanda pada 1870.

 

1870-1880

Setelah beberapa lama di Den Haag, Matthes kemudian menetap di Kampen. Matthes terus berjuang agar berbagai karyanya dapat segera dicetak,terutama karya-karyanya di bidang ilmu bahasa, tetapi juga karangannya dalam bidang etnografi, dan terjemahan Alkitab yang telah diselesaikannya, namun belum dicetak (Kitab Kejadian dalam bahasa Makassar, dan Injil Markus, Lukas, Yohanes dan Kisah Para Rasul dalam bahasa Makassar dan Bugis). Atas bantuan Van Leeuwen, karya-karya Matthes akhirnya dapat dicetak dan diterbitkan.

 

Sekitar tahun 1873, pengurus NBG memiliki rencana pelayanan yang baru untuk Matthes. Dalam rapat pengurus NBG disampaikan akan berdiri sekolah pendidikan juru bahasa dan guru pribumi di Makassar. Matthes dengan pengalamannya yang panjang diusulkan menjadi pimpinan sekolah tersebut selama 3-4 tahun. Sesudahnya, Matthes akan kembali melayani sebagai utusan NBG.

 

Maka pada 1875, Matthes untuk kesekian kalinya kembali ke Hindia Belanda, kali ini bukan sebagai utusan NBG, namun untuk memimpin sebuah sekolah. Rekannya sesama penerjemah, Van der Tuuk, mengibaratkan kali ini Matthes datang untuk ”makan dari piring pemerintah”. Mulai awal 1876, Matthes memulai tugas barunya di Makassar. Ia tidak kesepian seperti dahulu, karena anak perempuannya yang telah berusia 24 tahun ikut serta untuk mengurus segala keperluan sehari-harinya.

 

Sebagian besar tugas mengajar di sekolah tersebut ia serahkan kepada guru-guru lain di bidang terkait. Matthes hanya mengajar bahasa Bugis dan Makassar pada para calon juru bahasa. Di samping itu Matthes memimpin sekolah dan mengerjakan urusan administrasi. Karena kehadiran Matthes, sekolah tersebut cukup terkenal dan memiliki nama baik di kalangan masyarakat. Ia juga menyadur tiga buku pelajaran ilmu bumi dalam bahasa Bugis dan Makassar. Matthes sesungguhnya tidak terlalu suka menjadi seorang direktur sekolah, namun ia menjalaninya dengan penuh pengabdian, keramahan dan kerendahan hati, sifat baik yang selalu diingat oleh masyarakat Makassar darinya hingga bertahun-tahun kemudian.

 

Sementara itu, Matthes tidak lagi melanjutkan upaya penerjemahan Alkitab, karena bagian-bagian Alkitab yang sudah diterjemahkan dan dicetak tidak laku di pasaran. Sebaliknya, karena keberadaan sekolah tersebut, karya-karya Matthes lainnya di bidang ilmu bahasa, seperti kamus dan buku bahasa, nasibnya lebih baik hingga dicetak ulang.

 

Pada 1879, Matthes minta diberhentikan dari tugasnya sebagai direktur sekolah. Ia mengadakan pesta perpisahan besar-besaran. Terhitung sejak awal, ia hanya tiga tahun menjabat sebagai pimpinan sekolah pendidikan dan juru bahasa tersebut. Tetapi ia tidak segera kembali ke Negeri Belanda, karena sebelumnya ia telah mengajukan agar putranya, setelah menjadi letnan dua dalam kesatuan tentara Hindia Belanda, ditempatkan di Makassar. Pemerintah mengabulkan permintaan tersebut, sehingga Matthes dan kedua anaknya sejak 1880 untuk sementara waktu bersatu kembali. Tak lama kemudian, Matthes dan putrinya pulang kembali ke Belanda, mereka tiba pada September 1880 dan menetap di Den Haag. Anak perempuannya tidak berusia panjang, ia meninggal pada tahun 1886. Hingga kematiannya, ia dengan setia mengurus rumah tangga ayahnya.

 

Kembali Menerjemahkan Alkitab

Kembalinya Matthes ke Negeri Belanda menempatkan NBG pada posisi sulit, karena janji awal bahwa setelah Matthes tidak melayani lagi di Makassar, akan kembali menjadi utusan NBG. Artinya NBG harus kembali rutin memberikan ”uang tunggu” bagi Matthes 3.000 gulden per tahun, kecuali Matthes mendapatkan pekerjaan lainnya. Usulan Dewan Pengurus NBG untuk mencarikannya tempat sebagai guru besar di Negeri Belanda juga tidak mendapatkan hasil.

 

Maka pada 1881 NBG mengambil keputusan untuk membayar Matthes 3.000 gulden per tahun selama NBG memberi tugas kepada Matthes untuk menerjemahkan Alkitab. Hasil karyanya nantinya akan disimpan berupa naskah tulisan tangan. Pencetakan baru dilakukan bila sudah ada waktu yang tepat dan menguntungkan bagi upaya bagi upaya pekabaran Injil di wilayah Sulawesi Selatan. Ini adalah keputusan darurat, karena NBG tidak pernah mau memberikan pensiun untuk Matthes, sementara juga tidak mau memberhentikannya. Selanjutnya Matthes melanjutkan upayanya menulis berbagai bunga rampai tentang bahasa Makassar dan Bugis dan juga memperbarui cetakan kamus Makassar-Belanda.

 

Pada 1884, Matthes mengirim surat kepada Sekretaris NBG, Van Leeuwen, setelah beberapa tulisan ilmiah apakah ada lagi pekerjaan yang diharapkan darinya. Ia menyampaikan agak keberatan bila harus segera melanjutkan karya penerjemahan Alkitab. Alasannya, ia menganggap taraf pendidikan masyarakat Makassar dan Bugis masih terlampau rendah untuk menerima Alkitab dalam bentuk cetak (tertulis). Lebih lanjut ia menegaskan, kalaupun para utusan Injil dibebaskan untuk datang di tanah Sulawesi, mereka tidak akan mungkin memanfaatkan cetakan-cetakan dari berbagai bagian Alkitab hingga masyarakat setempat memiliki budaya baca dan tulis. 

 

Akan tetapi, dua bulan setelah ia mengirim surat itu pandangan Matthes tiba-tiba berubah. Ia mengajukan permohonan kembali untuk menyelesaikan terjemahan seluruh Perjanjian Baru. Pengurus NBG menerima permohonannya dan Matthes pun segera bekerja. Pada awal 1887, pekerjaan itu selesai. Pengurus melaporkan dalam rapat umum bahwa Perjanjian Baru dalam bahasa Bugis dan Makassar sedang dicetak. Padahal, boleh dikatakan “saat yang tepat” itu belum tiba bagi pekabaran Injil di Makassar dan Bugis. Tampaknya para pengurus NBG telah lupa pada keputusan yang mereka buat pada 1881, yaitu bahwa hasil terjemahan Matthes tidak akan dicetak, dan hanya akan disimpan sebagai naskah tulisan tangan.

 

Setelah Perjanjian Baru selesai, Matthes menerjemahkan cerita-cerita Alkitab ke dalam bahasa Makassar dan Bugis. Pada 1887 ia menerima tugas tersebut dan setahun kemudian pekerjaannya selesai. Pada 1890 dua jilid cerita Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru selesai dicetak. Pada 1889 juga terbit pelengkap untuk kamus Bugis-Belanda yang merupakan karya Matthes terakhir dalam bidang ilmu bahasa.

 

Ketika Matthes selesai menerjemahkan cerita-cerita Alkitab, ia yang sudah menjelang 71 tahun bertanya kepada Van Leeuwen.”Pada usia saya yang sekarang ini tampaknya tidak mungkin untuk menerjemahkan seluruh Perjanjian Lama, meskipun hanya dalam satu bahasa. Tetapi bagaimana pendapat Anda misalnya saya mencoba menerjemahkan Kitab Amsal Salomo dan Mazmur?”

 

Surat tersebut diterima Van Leeuwen dengan baik dan kemudian usulan Matthes disetujui. Matthes berharap sekiranya terjemahan dua kitab itu selesai dikerjakan agar segera dicetak, selagi dirinya masih hidup. Usul Matthes kembali diterima. Setelah selesai Amsal dan Mazmur dalam bahasa Makassar dan Bugis segera dicetak. Setelah itu Matthes mengerjakan 1 dan 2 Samuel. Ketika pada tahun 1892 ia mengusulkan hasil terjemahan 1 dan 2 Samuel untuk dicetak, seorang anggota pengurus NBG mengajukan protes. Ia bertanya,”Bukankah kita rela mencetak buku-buku ini hanya untuk menyenangkan tuan Matthes, dan bukan terutama untuk pekabaran Injil? Bukankah biaya mencetak tidak murah?” Tetapi pengurus tetap memutuskan mencetaknya. Begitulah terjadi terus menerus. Setiap kali Matthes selesai menerjemahkan sebuah kitab Perjanjian Lama, kitab tersebut segera dicetak. Akhirnya pada 1900, seluruh Perjanjian Lama, dan dengan demikian seluruh Alkitab lengkap, selesai diterjemahkan dan dicetak dalam bahasa Makassar dan Bugis.

 

Setelah seluruh Alkitab selesai dikerjakan, Matthes masih berharap NBG memberikan lagi tugas besar untuknya. Saat itu usianya hampir 83 tahun. Semangatnya masih berapi-api, meskipun kesehatannya sudah tidak begitu prima. Akan tetapi dalam tujuh tahun terakhir masa hidupnya, NBG tidak pernah lagi memintanya mengerjakan sesuatu. Tetapi kepada Matthes tetap diberikan tunjangan sebesar 3.000 rupiah per tahun.

Tampaknya NBG benar-benar menghargai jerih lelah dan ketekunan Matthes yang lebih dari 50 tahun masa hidupnya diabdikan untuk meneliti dan mengembangkan secara ilmiah bahasa dan kesustraan Makassar dan Bugis, yang menjadi dasar baginya dalam menerjemahkan Alkitab.

 

Berbeda dengan karya penerjemahan di beberapa tempat lain di Nusantara, Matthes tidak hanya menerjemahkan seluruh Alkitab dalam dua bahasa, tetapi juga menuliskannya sendiri dan kemudian bahkan mengawasi dengan teliti pencetakan seluruh hasil terjemahan itu dalam aksara Makassar-Bugis.  Bahwa pekerjaan menulis dan mengoreksi naskah dilakukan seorang diri saja sudah dianggap luar biasa, apalagi Matthes melakukan upaya penerjemahan itu juga sendirian selama belasan tahun.

 

Sejak awal, Matthes mendasarkan karya terjemahannya bukan pada bahasa lisan sehari-hari, melainkan berdasarkan bahasa dan kesustraan tertulis. Dalam studi bahasa, naskah-naskah tertulis menjadi rujukan utama baginya untuk belajar, sedangkan pertemuan dengan para penutur bahasa adalah soal kedua baginya. Jenis bahasa dan gaya yang dipakainya dalam penerjemahan Alkitab adalah gaya bahasa yang dijumpainya dalam sastra-sastra tertulis Makassar dan Bugis. Mungkin sedikit berbeda dengan para penerjemah di masa kini yang kebanyakan bekerja dalam tim dan mengutamakan penerimaan dan pemahaman umat (penutur) terhadap hasil terjemahan.

 

Pada 9 Oktober 1908, Matthes meninggal dunia dalam usia yang cukup lanjut, hampir 91 tahun. Misionaris  besar berikutnya yang berkarya di Sulawesi, N. Adriani dalam kenangannya tentang Matthes menulis: “Bahwa Dr. Matthes….merasa terpanggil untuk dalam tahun-tahun terakhir hidupnya menyelesaikan tugas yang pernah diterimanya, merupakan kesaksian yang indah tentang pengabdiannya.”

 

Kisah Matthes adalah sebuah kisah pengabdian. Pengabdian kepada ilmu, pengabdian kepada lembaga, gereja dan tentu kepada Tuhan. Jika mengingat bagaimana istrinya meninggal karena sakit di usia muda, dan anak-anaknya yang harus dititipkan di teman-teman terdekat, kita mengetahui betapa tidak mudah tugas seorang misionaris dan penerjemah Alkitab di masa lalu. Betapa besar pengorbanan Matthes berkarya dalam keheningan selama bertahun-tahun. Ia pernah merasa tidak mampu menyelesaikan tugasnya. Namun, Tuhan memberikan usia panjang dan memberikannya kesempatan menyelesaikan karya penerjemahan Alkitab.

 

Lembaga Alkitab Belanda dan warga gereja di Makassar yang merasakan terjemahan Alkitab karya Matthes bersyukur atas karya terjemahan Alkitab tersebut. Namun, masyarakat Bugis dari berbagai zaman, dan beragam keyakinan, bahkan mereka yang dulunya menolak kehadiran Matthes sekarang berterima kasih atas upayanya mengumpulkan kepingan-kepingan naskah La Galigo, menerjemahkannya bersama Aru Pancana, dan mengarsipkannya sebagai naskah NBG 188.

 

Para ahli bahasa Bugis menyebut naskah La Galigo yang terkumpul sebagai arsip NBG 188, adalah buah kecendekiawanan Matthes, pengetahuan mendalam Colliq Pujie, Aru Pancana akan kisah-kisah La Galigo Kerja keras Matthes memungkinkan La Galigo seperti halnya kamus Makassar-Belanda, kamus Bugis-Belanda dan Alkitab lengkap dalam bahasa Makassar-Bugis terus terpelihara dan diteruskan dari generasi ke generasi.

 

 

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia