Dietrich Bonhoeffer: Anugerah Kristus Tidak Pernah Murahan!

Berita | 7 Februari 2025

Dietrich Bonhoeffer: Anugerah Kristus Tidak Pernah Murahan!


Pada fajar kelabu April 1945, dalam sebuah kamp konsentrasi di Flossenburg, sesaat sebelum kamp tersebut dibebaskan tentara Sekutu, Dietrich Bonhoeffer dieksekusi melalui perintah khusus Heinrich Himmler. Pada Senin Paskah 1953, para pendeta Bavaria menyingkapkan sebuah prasasti, dalam gereja di Flossenburg, dengan ukiran sederhana:

Dietrich Bonhoeffer, seorang saksi Yesus Kristus di antara saudara-saudaranya. Lahir 4 Februari 1906, di Breslau. Meninggal 9 April 1945, di Flossenburg.

 

Bagi orang Kristen yang tak terhitung banyaknya di seluruh dunia, kematian Ditrich Bonhoeffer telah menjadi penegasan masa kini dari pernyataan Bapa Gereja, Tertulianus:”Darah para martir adalah benih Gereja.”

 

Orang-orang Kristen boleh tidak setuju dengan teologinya, tetapi hampir tidak ada yang tidak mengagumi keteguhan sikap Bonhoeffer menentang pemerintah Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, meskipun ia harus mengorbankan nyawanya.

 

Bonhoeffer, seorang mahasiswa Karl Barth, menerima gelar doktoral di bidang teologi dari Universitas Berlin ketika ia berumur dua puluh satu tahun. Pada 1928 ia menjadi vikaris di Barcelona dan pada 1929 ia kembali ke Berlin. Setelah diterima sebagai pengajar di fakultas teologi, ia dikirim ke Union Theological Seminary di New York selama setahun. Sepulangnya ke Berlin, ia memulai kuliahnya dalam teologi sistematis dan segera menarik sekelompok mahasiswa. Buku pertamanya, Penciptaan dan Kejatuhan, dihasilkan dari kuliah-kuliahnya, merupakan sebuah eksposisi teologis atas ketiga pasal pertama dari Kitab Kejadian. Di samping itu ia melayani sebagai pendeta bagi mahasiswa sekolah teknik di Charlottenburg, di mana ibadah-ibadah yang ia pimpin dipenuhi banyak orang.

 

Kemudian datanglah tahun 1933 yang amat menentukan. Adolf Hitler mulai berkuasa. Sadar akan pengaruh gereja terhadap orang banyak, Hitler membujuk dan menipu Gereja dengan mendapatkan dukungan besar dari kaum rohaniwan Lutheran dan Katolik. Ide Gereja Jerman telah menyentuh banyak “orang Kristen Jerman”. Ide-ide Nazi (ultra nasionalis) sudah mulai menyusup ke dalam gereja.

 

Namun, ada pula yang khawatir dan mencurigai niat Hitler dan idenya tentang keunggulan ras Aria (Indo Jerman). Kira-kira sepertiga kelompok rohaniwan Protestan yang bergabung dan memimpin apa yang dinamakan Confessing Church (Gereja yang Mengaku) menentang pemimpin Jerman tersebut.

 

Pada tahun 1935, Bonhoeffer menjadi Ketua Confessing Church Seminary. Tetapi, seminari itu ditutup pada 1937, dan Bonhoeffer dilarang menerbitkan tulisan atau buku dan dilarang berbicara di muka umum. Dua tahun kemudian Bonhoeffer kembali ke Amerika. Di sana ia ditawari kemungkinan untuk pindah mengajar di Amerika, tetapi Bonhoeffer menolaknya. Ia beralasan ingin melayani orang-orang sebangsanya, yakni bangsa Jerman.

 

Iparnya menarik dia dalam gerakan perlawanan, dan Bonhoeffer pun telah menjadi bagian dari kelompok yang merencanakan pembunuhan Hitler. Ia dan yang lain merasa bahwa Hitler dengan kedikatorannya adalah sosok anti-Kristus dan musuh dari kemanusiaan. Rencana itu gagal dan Bonhoeffer ditangkap pada 1943, hal itu bukan karena dia bekerja sebagai pemberontak, melainkan karena ia membantu menyelundupkan empat belas orang Yahudi ke Swiss. Di dalam penjara ia menulis, yang kemudian diterbitkan setelah kematiannya, dengan judul Letters and Papers from Prison (Surat-surat dan Tulisan-tulisan dari Penjara).

 

Hanya saja jika Bonhoeffer hidup lebih lama lagi mungkin dia dapat menjelaskan lebih jauh beberapa ide yang menantang tetapi membingungkan itu, yang dikemukannya selama di dalam penjara. Para teolog hingga hari ini masih kerap berdiskusi tentang berbagai istilah dan ungkapan yang dikemukakan Bonhoeffer, seperti: “religionless Christianity” (kekristenan tanpa agama), “death of God” (kematian Allah) yang dipahami berbeda oleh para teolog dan para penginjil. Ketika Bonhoeffer dalam tulisannya menyatakan “the world has come age”(dunia sudah dewasa), orang-orang bertanya apa maksudnya? Apa ia ingin mensekulerkan Injil atau dia pun melihat, seperti kebanyakan orang lain pada masa kini, banyak orang tidak lagi mengerti konsep-konsep tradisional Kristen?

 

“Bagaimana kita dapat berbicara secara sekular tentang Allah? tanya Bonhoeffer. Kita tahu bahwa dia tidak sepaham dengan para teolog lainnya seperti Rudolf Bultmann dan Paul Tillich, yang ingin “mendemitologisasikan” Injil, tetapi dia tidak pernah memulai suatu program seorang diri?

 

Meskipun banyak pertanyaan tentang dia yang belum terjawab, elemen mendasar kepercayaan Bonhoeffer tidak dapat diragukan: Iman itu mahal, iman kepada Kristus bukan barang murahan. Bukunya, The Cost of Dicipleship (Harga Mengikut Yesus), mengajak orang-orang Kristefn  agar beriman kokoh dan bersedia menyangkal diri. Banyak orang yang telah menerima “anugerah murah” Kristen, yang mendorong mereka memiliki iman yang lemah, demikian pernyataan Bonhoeffer. Daripada membahas dan mendiskusikan bagian-bagian etika perjanjian Baru sebagai warisan luar biasa namun tak mungkin dilakukan, Bonhoeffer mendorong setiap orang Kristen untuk mengusahakan dan melakukan nilai-nilai Pernjanjian Baru tersebut dalam hidup setiap hari. Agama yang sejati lebih daripada memiliki ide-ide yang benar tentang Allah, namun iman yang sejati berarti setia mengikuti Dia, sampai mati, jika perlu.

 

Bonhoeffer sendiri mematuhi fatwa yang dituliskannya. Ketika ia di dalam penjara, ia tidak pernah meninggalkan imannya kepada Kristus. Ia terus berupaya melayani orang-orang lain, sesama warga penjara. Di dalam penjara Flossenburg, minggu-minggu terakhirnya dihabiskan dengan laki-laki dan perempuan dari banyak bangsa: Rusia, Inggris, Perancis, Italia dan Jerman. Seorang perwira Inggris yang akhirnya selamat menulis demikian:

Bagi saya Bonhoeffer selalu tampak menebarkan suasana bahagia dan sukacita atas hal-hal kecil dan rasay syukur mendalam atas kenyataan bahwa ia masih hidup….Ia salah satu dari segelintir orang yang pernah saya temui yang baginya Allah nyata dan selalu dekat…Pada Minggu, 8 April 1945, Pendeta Bonhoeffer memimpin sebuah ibadah kecil dan beribadah kepada kami dengan cara yang menembus hati kami semua. Ia menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan penahanan kita, pemikiran dan keputusan yang dibawanya bagi kita. Ia baru saja mengakhiri doa terakhirnya saat pintu dibuka dan dua orang sipil masuk. Mereka berkata,”Tahanan Bonhoeffer, ikut kami. Hal itu hanya punya satu arti bagi semua tahanan, yaitu tiang tahanan. Kami mengucapkan selamat tinggal padanya. Ia membawa saya ke samping,”Inilah akhirnya, tetapi bagi saya ini merupakan permulaan hidup.”Hari berikutnya ia digantung di Flossenburg.

Teks yang dibawakannya pada hari terakhir itu adalah “Oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh”.

 

Demikianlah kehidupan dan kematian Dietrich Bonhoeffer, seorang guru Gereja, seorang penulis dengan kemampuan teologis dan alkitabiah yang mendalam, namun dekat dengan kehidupan masa kini dan peka terhadap kenyataan, seorang saksi yang melihat jalan kemuridan dan menjalaninya hingga akhir. Kesediaannya mati bagi Kristus menajadi teladan setiap generasi tantangan akan iman yang selalu siap berkorban.

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia