Pertobatan yang Sungguh

Berita | 5 Maret 2025

Pertobatan yang Sungguh


Yesaya 58:1-12, Matius 6:1-6, Matius 6:16-21

 

Mengapa harus Abu?

Sebuah tanda atau simbol hanya dapat berfungsi jika setiap orang dapat memaknai maknanya dengan sungguh seturut dengan arti yang tersirat ataupun tersurat melalui simbol-simbol tersebut. Misalnya saja sebuah tanda dilarang parkir di pinggir jalan, akan dapat memperoleh fungsinya dengan maksimal jika para pengendara kendaraan bermotor memaknai tanda itu serta mematuhinya. Jika simbol itu diacuhkan atau orang-orang tidak mengerti maknanya, maka tanda dilarang parkir tersebut tidak akan dapat berfungsi secara maksimal.

 

Demikian halnya yang terjadi pada masa prapaskah - paskah ini. Beberapa gereja merayakan momentum tersebut dengan rangkain peribadatan yang tertata dengan sistematis, bahkan hingga empat puluh hari sebelum paskah melalui momentum rabu abu. Sebagaimana namanya, dalam ibadah Rabu Abu simbol utama yang diangkat adalah Abu yang ditorehkan di dahi. Penggunaan abu dalam ibadah dapat dirujuk kepada tradisi Israel yang seringkali mengasosiasikan abu sebagai lambang kefanaan manusiawi (Kej. 3:19;18:27), agar manusia menyesali diri dan bertobat (Yos. 7:6; 2 Sam. 13:19; Est. 4:3, dst). Maka jelaslah bahwa penggunaan abu dan ibadah rabu abu itu sendiri bertujuan untuk mengingatkan umat agar sungguh-sungguh menyesali dosanya dan memulai langkah pertobatan dengan sungguh pada masa prapaskah ini.

 

Sayangnya banyak dari antara kita kehilangan pemaknaan akan “abu” saat mengikuti ibadah Rabu Abu. Kita melaluinya sebagai sebuah ritual yang berlalu begitu saja dan minim makna. Seharusnya saat simbol itu (abu) dengan segala maknanya tersibak begitu gamblangnya, kita dapat memaknainya sebagai cara Tuhan untuk mengajak kita memulai langkah pertobatan. 

 

Pertobatan yang Seperti Apa?

Umat Tuhan telah lama menyadari keterbatasannya dalam hal mendisiplinkan diri untuk mengikuti ketetapan-Nya serta tunduk pada hasrat untuk memberontak kepada Tuhan dengan terhanyut dalam aneka rupa dosa dan perhambaannya. Bahkan tindakan ibadah dan ritual yang seharusnya membantu kita untuk menyadari segala salah serta dosa dan menuntun pertobatan kepada-Nya, justru dipakai untuk mengkamuflasekan segala kecenderungan kita untuk tunduk pada dosa. Itulah fenomena yang menuntun kecaman Nabi Yesaya terhadap bangsa Yehuda sebagaimana tercatat dalam Yesaya 58:1-12.

 

Yesaya menyoroti keadaan bangsa Yehuda dengan segala kemunafikannya. Mereka mengaku diri beribadah bahkan berpuasa tetapi hati mereka tidak sungguh-sungguh terarah kepada-Nya. Mereka memang berpuasa tetapi relasi antara satu dengan lainnya tidak mencerminkan kedamaian. Ibadah dan ritual ditegakkan tetapi di saat yang sama membiarkan ketidakadilan terjadi, penindasan dimana-mana, bahkan orang yang kelaparan tetap lapar karena tidak ada yang mau berbagi. Ibadah dan segala ritual yang dilakukan bukannya tidak penting, tetapi hal-hal tersebut harus diwujudkan secara nyata dalam bentuk perbuatan serta relasi terhadap sesama.

 

Seseorang yang memelihara imannya serta sungguh-sungguh menghidupi pertobatannya adalah seseorang yang juga mewujudkan kasih serta keadilan di tengah-tengah kehidupan sehari-hari yang tengah ia jalani. Lihatlah betapa Allah mengarahkan bangsa Yehuda pada saat itu untuk melihat ke sekeliling mereka, peka terhadap penderitaan yang dialami orang lain, dan berupaya turut serta dalam upaya pembebasan mereka yang miskin, tertindas, serta teraniaya. Pertobatan bukan sekedar tampilan tetapi perubahan jiwa yang sebelumnya hanya berkutat pada pemenuhan nafsu pribadi menjadi pribadi yang penuh cinta kasih serta mengarahkan pandangannya pada pewartaan kabar baik kepada dunia yang tengah menderita. Itulah pertobatan yang otentik.

 

Mengenai kesungguhan pertobatan juga didengungkan Yesus pada Matius 6. Dengan keras Ia mengkritik gejala orang-orang beragama saat itu yang melakukan kewajiban-kewajiban beragama hanya untuk tampak saleh dan taat beragama. Sedekah, berdoa, dan berpuasa tidak lagi menjadi wujud bakti kepada Tuhan dan perwujudan keberserahan penuh kepada-Nya, melainkan hanya alat untuk menampilkan kesalehan palsu serta semata-mata agar terlihat baik di mata orang lain. Menurut Yesus orang-orang tersebut telah mendapat upahnya karena itulah yang mereka inginkan dan tidak lebih. 

 

Pertobatan yang Sejati

Bukankah pada masa kini gejala-gejala yang diungkapkan Yesaya dan pengajaran yang disampaikan Yesus masih sangat relevan, terutama bila berkaca pada kondisi bangsa ini. Tengoklah tempat-tempat ibadah yang selalu ramai saat jam-jam beribadah. Orang Indonesia juga dikenal masih memegang kuat identitas keagamaannya, bahkan “tidak memiliki agama” merupakan hal yang tabu di Negara ini. Namun pada satu sisi kita diperhadapkan pada realitas yang berkebalikan dari fenomena tersebut. Penindasan terjadi dimana-mana kepada mereka yang tidak punya kuasa dan suara. Mereka yang miskin seringkali semakin dimiskinkan karena korban dari kebijakan-kebijakan yang tidak mempedulikan mereka sama sekali. Orang-orang semakin sibuk dengan dirinya sendiri, melupakan jerit tangis orang lain yang meraung dalam derita dan kesendiriannya. Para koruptor yang tertangkap, menampilkan diri “sesaleh” mungkin untuk merubah citranya dan menggoyang nurani hakim agar mendapatkan keringanan hukuman.

 

Tentu saja kita tidak hendak pada sisi ekstrim yang lain dengan menganggap bahwa agama tidak penting karena yang penting adalah berbuat baik. Justru melalui momentum rabu abu ini kita hendak kembali meneguhkan hidup keberagamaan kita agar  menjadi umat-Nya yang mewujudnyatakan kasih dan kebaikan melalui hidup sehari-hari yang kita jalani. Kesalehan pribadi itu baik dan seharusnya mengarahkan kita untuk mewujudkan “kesalehan sosial” yang bermuara pada penghargaan atas kemanusiaan, keadilan, dan cinta kasih. Pertobatan sejati dengan demikian adalah pertobatan yang menghasilkan perubahan yang tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri melainkan juga orang-orang di sekitar kita.

 

Bukankah itulah yang selalu diwartakan Kristus melalui karya pelayanan-Nya? Ia selalu mengundang orang untuk hidup dalam pertobatan, menjadi warga Kerajaan Allah, dan mewartakan kerajaan-Nya melalui hidup kita sehari-hari. Maka kiranya perjalanan kita empat puluh hari ke depan hingga paskah tiba, turut menjadi sebuah peziarahan spiritual yang memantik langkah-langkah baik dalam mewujudnyatakan pertobatan di kehidupan sehari-hari.

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia