Perang dan Mati Syahid

Berita | 15 Agu 2025

Perang dan Mati Syahid


Seminar Alkitab | Hortensius F. C. Mandaru

 

Latar Belakang Sejarah dan Krisis Identitas

Perang identik dengan kehancuran dan jatuhnya banyak korban jiwa. Namun, seringkali ada narasi yang mengagungkan mereka yang gugur di medan perang, menganggapnya sebagai kematian yang mulia demi membela kebenaran. Lalu, bagaimanakah seseorang bisa dikatakan mati dalam membela kebenaran? Salah satu sumber cerita yang menggambarkan konsep ini secara mendalam adalah Kitab 1-2 Makabe.

 

Kitab Makabe merupakan himpunan kitab Deuterokanonika, bukan sekadar catatan sejarah. Lebih dari itu, menceritakan secara epik perlawanan heroik, perang, dan pengorbanan demi iman. Teks-teks ini ditulis pada masa yang sangat krusial, yaitu periode pasca-pembuangan di Babel, ketika bangsa Israel berusaha keras untuk membangun kembali identitas mereka di tengah hegemoni dan penindasan bangsa asing.

 

Pada periode ini, bangsa Israel berada di bawah kekuasaan Dinasti Seleukid yang dipimpin oleh Raja Antiokhus IV Epifanes. Sang raja dikenal karena kebijakannya yang represif dan agresif dalam memaksakan praktik Helenaianisasi, sebuah proses di mana budaya, bahasa, dan agama Yunani disebarkan secara paksa. Hal ini menciptakan ancaman eksistensial bagi bangsa Israel. Tradisi dan hukum Taurat yang menjadi fondasi identitas mereka mulai terkikis, memicu krisis yang mengancam persatuan dan jati diri nasional, budaya, dan agama mereka.

 

Penindasan ini bukan hanya sebatas masalah politik, tetapi juga serangan langsung terhadap keyakinan. Bait Allah dinodai, praktik-praktik keagamaan dilarang, dan masyarakat dipaksa untuk menyembah dewa-dewa Yunani. Krisis ini adalah titik balik yang memicu perlawanan besar dari bangsa Israel. Kisah perjuangan ini, yang dicatat dalam kitab Makabe, menggambarkan sebuah bangsa yang menolak menyerah dan berjuang mati-matian untuk mempertahankan iman serta tradisi suci mereka.

 

Konteks Historis dan Konsep Kemartiran (Mati Syahid)

Krisis identitas yang dialami bangsa Israel selama penindasan, tidak hanya memicu perlawanan fisik, tetapi juga memperkuat ikatan komunitas. Dalam situasi genting ini, banyak orang Yahudi yang memilih untuk mati daripada mengkhianati ajaran Taurat. Perjuangan dan pengorbanan ini kemudian melahirkan sebuah kelompok baru yang memegang teguh ajaran Taurat secara radikal. Mereka dikenal dengan sebutan ‘Qadosh’ dalam bahasa Ibrani, yang berarti "orang suci" atau "orang yang dikhususkan bagi Allah". Sebutan ini tidak hanya menunjukkan dedikasi, tetapi juga pengakuan akan kesetiaan mereka yang luar biasa terhadap perintah Tuhan, bahkan hingga mengorbankan nyawa.

 

Konsep ‘Qadosh’ ini kemudian berkembang seiring waktu. Dalam bahasa Yunani dan Latin, mereka disebut ‘Martyr’, yang secara harfiah berarti saksi. Istilah ini kemudian masuk ke dalam bahasa Arab sebagai ‘Syuhada’ dan akhirnya diserap ke dalam bahasa Indonesia sebagai mati syahid . Sebutan ini menunjukkan bahwa pengorbanan mereka adalah bentuk kesaksian tertinggi menunjukkan sebuah bukti nyata dari iman yang tak tergoyahkan. Konsep ini menjadi landasan teologis yang kuat di balik perlawanan dalam kitab Makabe.

 

Dua Sudut Pandang Perjuangan: 1 Makabe dan  2 Makabe

Kitab Makabe terbagi menjadi dua volume yang menyajikan sudut pandang berbeda namun saling melengkapi dalam mengisahkan perjuangan bangsa Israel.

 

1 Makabe: Epik Sejarah dan Perang Ilahi

Kitab 1 Makabe fokus pada narasi sejarah dinasti Makabe yang dipimpin oleh imam Matatias dan kelima putranya. Kisah perjuangan mereka sebagai sebuah perang suci. Matatias memulai perlawanan bersenjata dengan menolak perintah raja untuk menyembah dewa-dewa Yunani. Setelah kematiannya, perlawanan dilanjutkan oleh putranya, Yudas Makabe, yang membuktikan dirinya sebagai pemimpin militer yang brilian.

 

Tujuan utama perang ini adalah untuk merebut kembali kemerdekaan politik dan agama bangsa Yahudi, serta melegitimasi kekuasaan dinasti Makabe. Kemenangan-kemenangan yang mereka raih tidak dianggap sebagai keberhasilan strategis semata, melainkan sebagai bukti nyata campur tangan ilahi. Allah digambarkan berperang yang bersama bangsa Israel, secara aktif mendukung umat-Nya di medan pertempuran. Setiap kemenangan adalah manifestasi dari kehadiran-Nya, menegaskan bahwa perlawanan mereka adalah bagian dari kehendak ilahi.

 

2 Makabe: Mati Syahid sebagai Bentuk Penebusan Dosa

Berbeda dengan 1 Makabe yang berfokus pada sejarah militer, Kitab 2 Makabe menekankan aspek perjuangan. Perang tidak hanya dilihat dari sudut pandang kemenangan militer, tetapi juga dari sudut pandang penderitaan, kesaksian, dan penebusan. Fokus utama kitab ini adalah kesaksian heroik para martir atau mati syahid.

 

Kisah paling terkenal adalah tentang seorang ibu dan ketujuh anaknya yang disiksa dan dibunuh secara brutal karena menolak makan daging babi—sebuah pelanggaran terhadap hukum Taurat. Kematian mereka tidak dianggap sia-sia, melainkan sebagai tebusan dosa bagi seluruh umat Israel. Kitab 2 Makabe memperkenalkan konsep kebangkitan secara lebih eksplisit. Orang mati syahid percaya bahwa meskipun tubuh mereka dihancurkan, Allah akan membangkitkan mereka kembali. Keyakinan ini menjadi sumber pengharapan yang kuat, memberikan kekuatan kepada mereka untuk menghadapi siksaan yang kejam. 

 

Perang dalam Kitab Makabe memiliki tujuan teologis yang jelas, yaitu memurnikan kembali Bait Allah yang telah dinodai oleh Raja Antiokhus. Yudas Makabe tidak hanya berperang sebagai pemimpin militer, tetapi juga sebagai "tangan Allah" yang berjuang untuk melindungi kesucian tempat ibadah. Perjuangan ini berpuncak pada perayaan Hanukkah, yang hingga kini diperingati sebagai peringatan pemurnian Bait Allah.

 

Implikasi dan Relevansi Kitab Makabe

Kisah dalam Kitab Makabe memberikan pelajaran berharga yang melampaui konteks sejarahnya. Kitab ini mengajarkan bahwa ketaatan kepada Tuhan adalah hal yang paling penting, bahkan melebihi nyawa. Orang yang mati syahid rela mati daripada melanggar hukum Taurat, menunjukkan bahwa integritas spiritual tidak dapat ditukar dengan kenyamanan hidup.

 

Melalui kisah-kisah mati syahid, Kitab Makabe mengajarkan bahwa penderitaan dan pengorbanan dapat memiliki tujuan yang lebih besar, seperti penebusan dosa. Hal ini memberikan makna yang mendalam pada penderitaan, mengubahnya dari tragedi menjadi bagian dari rencana ilahi. Konsep kebangkitan yang diperkenalkan dalam 2 Makabe menjadi sumber pengharapan yang kuat. Pesan ini menegaskan bahwa ada kehidupan setelah kematian dan orang-orang yang setia akan menerima pahala dari Allah.

 

Pemahaman akan kitab Makabe menekankan pentingnya membaca dan memahami Alkitab secara utuh dan tidak ada salahnya kita juga membaca kitab-kitab Deuterokanonika sebagai referensi tambahan. Mempelajari bagian-bagian ini memberikan gambaran yang lebih lengkap dan kaya tentang sejarah, teologi, dan evolusi iman, membantu umat beriman untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang akar keyakinan mereka.

 

Secara keseluruhan, kitab Makabe adalah sebuah warisan yang menunjukkan bahwa identitas dan iman bukanlah sesuatu yang bisa dikompromikan. Ia adalah pengingat abadi akan kekuatan iman, keberanian, dan harapan di tengah kegelapan, serta pengorbanan yang diperlukan untuk mempertahankan nilai-nilai suci.

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia