Kebanyakan orang menganggap empati – kemampuan untuk berbagi dan memahami perasaan orang lain - adalah hal yang baik. Itu sebabnya para guru sering menghubungi pusat-pusat pelatihan kemanusiaan untuk membantu mendidik siswa agar lebih berempati. Mereka menyadari bahwa pendidikan akademik tidak cukup untuk menghasilkan ruang kelas yang sehat, apalagi untuk mempersiapkan kaum muda menjadi warga negara yang termotivasi dan berkontribusi bagi masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Namun tidak semua perasaan kita terhadap situasi yang terjadi pada orang lain di luar diri kita dapat disebut sebagai empati, bahkan perasaan itu dapat merugikan kita. Empati berbeda dengan intuisi (kepekaan rasa / naluri), berbeda juga dengan rasio. Seorang profesor psikologi Paul Bloom, dalam bukunya Against Empathy: The Case for Rational Compassion, berpendapat bahwa empati pada dasarnya bisa menjadi hal buruk yang membuat dunia lebih buruk. Menurut Bloom, empati dapat menuntun kita untuk membuat keputusan yang kurang rasional. Misalnya, jika seorang anak terjebak dalam parit, empati kita memaksa kita untuk menggunakan sejumlah besar uang dan upaya untuk menyelamatkannya. Seketika kita melupakan sisi lain bahwa ada cara yang lebih efektif untuk meghamburkan uang dan energi kita, mungkin dengan menyediakan air bersih yang bisa menyelamatkan nyawa bagi ribuan anak di daerah yang dilanda kekeringan.
Seringkali kita berlebihan dalam merespons penderitaan secara emosional, misalnya dengan memberikan uang untuk menyelamatkan satu anak yang terjebak dalam parit, hanya menolong satu keluarga, seekor babi atau seekor anjing lebih banyak dari pada menghabiskannya untuk perubahan sosial. Meskipun perasaan iba itu menggerakkan hati kita untuk menolong orang lain, bukan berarti perasaan itu disebut sebagai empati.
Bloom benar bahwa empati tidak dengan sendirinya mengarah pada tindakan bijak, karena tindakan bermotivasi empati tidak selalu didasarkan pada alasan dan bukti yang kuat. Inilah sebabnya mengapa empati saja tidak cukup untuk memecahkan masalah. Empati membutuhkan cara berpikir kritis, kreatif, dan transformatif. Empati tidak sekedar perasaan iba atas penderitaan orang lain. Empati membutuhkan motivasi untuk menghasilkan kebaikan. Karena itu, untuk dapat menumbuhkan empati pada diri seseorang perlu latihan dan pembiasaan.
Cerita-cerita tentang karya Tuhan Yesus selalu disajikan dengan bermula dari rasa iba/empati kepada sesama. Belas kasihanNya bukanlah rasa iba yang tidak rasional. Tuhan Yesus selalu menunjukkan empati yang kritis, kreatif dan transformatif. Misalnya, kisah Perempuan yang Berzinah dalam Yoh. 8:1-11. Pada saat itu Tuhan Yesus bertemu dengan seorang perempuan yang ketahuan berzinah dan semua orang ingin menghakiminya dengan melempari dia hingga mati. Disatu sisi Tuhan Yesus ingin menunjukkan belaskasihanNya kepada si perempuan, bahwa setiap orang berhak mendapat pengampunan dari Allah. Tetapi disisi lain, Tuhan Yesus tidak ingin menunjukkan empatiNya tanpa dampak apapun kepada orang-orang yang hadir saat itu. StrategiNya adalah bagaimana caranya supaya orang-orang yang bernafsu menghakimi si perempuan juga mendapat pelajaran berharga. Maka terjadilah dua tindakan yang kreatif sekaligus transformatif dari Tuhan Yesus: pertama Ia meminta kepada siapa yang merasa tidak berdosa untuk menjadi pelempar pertama kepada perempuan itu dan selanjutnya membiarkan perempuan itu pergi dengan meninggalkan pelajaran penting bagi orang-orang di sekitarnya tentang dosa, pendosa, dan pengampunan.
Disinilah titik penting mengapa kita merasa perlu mendidik dan membiasakan diri kita dan anak-anak muda untuk memiliki empati dan menjadi peduli bagi dunia yang lebih baik. Menjadi seorang Kristen saja tidak cukup tanpa empati. Menjadi pelayan Tuhan atau sebagai pekerja di lembaga keagamaan sekalipun, tanpa memiliki empati dan kepekaan akan sia-sia saja. Tentu kita tidak ingin menjadi orang yang hadir setiap hari di kantor, tapi dianggap tidak ada karena tidak melakukan apa-apa yang berdampak. Kehadiran kita akan berdampak bagi orang lain dan dunia, jika kita memiliki empati dan peduli. Bukan sekedar rasa iba, tapi memiliki hati yang selalu tergerak dengan belas kasihan (compassion), selalu berpikir kritis, kreatif, dan tranformatif. Semua itu hanya bisa dikembangkan dalam diri kita melalu latihan dan pembiasaan hingga menjadi habitus kita.
Oleh : Pdt. Sri Yuliana