Dewasa ini, kita sering mendengar istilah “Generasi Aku”, atau “Me Generation”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pola pikir sekaligus pola perilaku manusia-manusia jaman ini. “Generasi aku” dianggap sebagai generasi yang egois. Mereka hanya mementingkan kepentingannya sendiri, tanpa peduli pada persoalan-persoalan yang lebih besar. Generasi aku ini juga dianggap sebagai generasi narsis. Mereka senang dipuji. Mereka senang memamerkan diri mereka. Jika tidak ada prestasi nyata, yang dipamerkan adalah wajah ganteng dan cantik hasil polesan aplikasi ponsel cerdas terbaru.
David Brooks dalam tulisannya yang berjudul The Morality of Selfism, Generasi Aku ini memiliki beberapa ciri mendasar. Pertama, sebagai bentuk dari pemujaan diri yang berlebihan, Generasi Aku ini aktif sekali di media sosial untuk memamerkan dirinya. Hal ini bisa dianalisis secara kuantitatif maupun kualitatif, yakni terkait isi dari media sosial yang biasanya merupakan foto diri dengan segala variasinya.
Dua, Generasi Aku melihat dirinya sebagai pusat dunia. Ukuran kehidupan adalah manfaat untuk diriku dan diriku sendiri. Egoisme ekstrem dalam artinya yang paling dangkal berkobar besar disini. Kata-kata luhur, seperti pengorbanan, komitmen dan prioritas, adalah kata-kata asing yang sedapat mungkin dihindari.
Tiga, sebagai dampaknya, Generasi Aku ini mengalami krisis komitmen. Datanya juga bisa langsung terlihat. Mereka begitu mudah berpindah pekerjaan. Sedikit ketidaknyamanan akan langsung mendorong mereka mencari tempat kerja baru. Ketika komitmen lemah, maka semua institusi sosial yang menopang hidup manusia juga turut menjadi lemah.
Generasi Aku tidak memandang usia, jabatan, dan status sosial. Jika ditelisik dari ciri-ciri Generasi Aku, yaitu: senang dipuji, ingin menjadi pusat perhatian dunia tetapi tidak mau berkorban, dan krisis komitmen dan prioritas, maka setiap orang, baik tua maupun muda bisa saja menjadi bagian dari Generasi Aku. Bagi generasi ini, prinsip yang berlaku adalah “milikku adalah milikku sendiri, jika perlu milikmu adalah milikku!” Generasi Aku juga sulit mau berkorban bagi orang lain atau bagi lembaga tempatnya bekerja. Generasi Aku juga sulit membangun komitmen dan prioritas. Mereka ingin menjalani hidup dan melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Karena itu mereka sulit berkomitmen dan menentukan prioritasnya. Kalau sudah begini, berbicara soal komitmen kepada Allah pun agak sulit diprediksi pada generasi ini.
Ciri Generasi Aku dalam Alkitab dapat kita temukan dalam Amsal 30:15: “Si lintah mempunyai dua anak perempuan: "Untukku!" dan "Untukku!" Ada tiga hal yang tak akan kenyang, ada empat hal yang tak pernah berkata: "Cukup!"
Mungkin kita perlu bertanya dalam diri kita masing-masing: “Siapakah aku? Siapakah aku dalam “Generasi Aku?” Selama kita masih menjalani hidup kita dengan ciri-ciri di atas, mungkin sudah waktunya kita bertobat. Karena semakin banyak orang seperti Generasi Aku ini, semakin rapuh dan lemahlah masa depan manusia dan dunia.
Memang, setiap generasi pasti punya cacat, maupun kelebihan tertentu. Dalam konteks Generasi Aku, kita memang tak bisa buru-buru menawarkan jalan keluar. Tetapi setidaknya, memiliki dan menjalani hidup dengan karakteristik unik dengan secercah pengorbanan dan komitmen pada prioritas tertentu bisa membuat hidup yang sesaat ini terasa jauh lebih bermakna. Bukankah begitu?
Oleh Pdt. Sri Yuliana