Pada 9 Juli 2020 ini Bapa Ignatius Kardinal Suharyo genap berusia 70 tahun. Pencapaian tujuh dasawarsa ini menjadi momen istimewa yang patut disyukuri karena beberapa alasan. Pada 6 Juli yang lalu Bapa Ignatius Kardinal Suharyo diangkat Paus Fransiskus menjadi anggota Dewan Kepausan yang membidangi urusan dialog antaragama. Ini merupakan jabatan kedua dalam Dewan Kepausan, setelah pada bulan Februari yang lalu beliau juga mendapatkan kepercayaan dari Tahta Suci untuk menjadi salah satu anggota Kongregasi Evangelisasi Bangsa-bangsa. Tidak boleh dilupakan, pada tahun ini beliau juga genap 10 tahun menjabat sebagai Uskup Agung di Keuskupan Agung Jakarta (29 Juni 2010-29 Juni 2020).
Berada dalam posisinya sekarang tidak pernah terbersit dalam benak Kardinal Prof. Dr. Ignatius Suharyo. Harapannya semula hanya sederhana, menjadi imam paroki, yang melayani umat secara langsung dan tinggal di tengah-tengah jemaat.
“Tidak gampang bercerita mengenai jalan hidup saya sehingga menjadi imam. Kakak saya yang nomor dua sudah menjadi seorang imam rahib, sementara kakak-kakak yang lain, saat itu sedang mengikuti pendidikan calon imam,” kenangnya. “Sebagai anak kelas enam SD, saya mengatakan eksplisit kepada orang tua, biarlah kakak-kakak mengambil jalan menjadi pastor, saya tidak!
Semasa kanak-kanak Suharyo bercita-cita menjadi seorang polisi. Namun, Suharyo mengakui, setiap keluarganya berkumpul dalam doa malam, orang tuanya senantiasa menaikkan permohonan agar ada anak-anaknya yang nanti menjadi pastor, suster atau bruder. Bagi keluarga Katolik Jawa, di era 1950-1960-an, menjadi pastor merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan.
Suatu hari dalam pelayanan misa di desanya, Pastor yang melayani ibadah bertanya,”Apakah kamu berminat masuk seminari?” Suharyo menjawab bersedia. Jawaban yang berlawanan dengan pernyataannya kepada orang tua. Tak lama kemudian, Suharyo mengikuti tes masuk pendidikan menengah calon imam (seminari) di Mertoyudan, Yogyakarta. “Bayangkan saya saat itu masih berusia 11 tahun, tentu belum mengerti tentang pilihan jalan hidup,” terangnya.
Suharyo tidak banyak bertanya dan belajar taat menjalani pilihannya tersebut. Ikrar pertama untuk menjalani pilihan sebagai imam dinyatakan Suharyo di kelas empat seminari. Sejak saat itu, Suharyo tidak pernah mempertanyakan lagi pilihan hidup yang telah dia ambil, hingga tiba masa penahbisan imam. Jalan pikiran Suharyo sederhana, selagi ia tidak dikeluarkan di tengah-tengah proses pendidikan, berarti Tuhan memang menetapkan dirinya untuk menjadi imam.
Dari Imam Paroki, Menjadi Dosen dan Kemudian Uskup
Ignatius Suharyo ditahbiskan menjadi imam dioses Keuskupan Agung Semarang pada 26 Januari 1976. Pelayanan di paroki ternyata tidak genap satu tahun dijalaninya. “Sekitar sembilan bulan setelah melayani paroki, saya diutus untuk studi lanjut ke Roma. Sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya,” kata Suharyo.“Saya tidak pernah membayangkan untuk menjadi seorang guru atau dosen.” Namun penugasan Kardinal Darmojuwono (alm.) dijalaninya dengan taat.
Sepulangnya dari Roma, Suharyo kembali ke almamaternya, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma dan menjalani tugas sebagai pengajar Kitab Suci. Tugas tersebut dijalaninya selama tujuh belas tahun lamanya. Suharyo sempat berpikir, menjadi dosen merupakan ujung dari perjalanan karya pelayanannya. Namun rencana Tuhan seringkali lain dari pikiran manusia.
Pada 1997, Suharyo ditunjuk menjadi Uskup Agung Semarang. Penunjukan tersebut di luar perkiraannya. “Tidak pernah ada orang yang bercita-cita menjadi seorang uskup,” katanya. Ia merasa dirinya tidak memiliki kesiapan apa pun. Pekerjaan sebagai dosen “hanyalah” mengajar, sementara uskup memiliki tugas yang begitu luas, mulai dari mengurus umat hingga aset gereja.
Meskipun merasa tidak siap, Suharyo tetap setia menjalankan panggilan. Pada saat itulah Suharyo memilih motto hidup sebagai uskup, ”Aku melayani Tuhan dengan segala rendah hati.” Dalam hati Suharyo tertanam pidato perpisahan Paulus kepada para penatua di Efesus di dalam Kisah Para Rasul 20:19, di mana sang rasul mengungkapkan pernyataan panggilannya, ”Serviens Domino Cum Omni Humilitate” atau “Aku melayani Tuhan dengan segala rendah hati”. Semboyan tersebut dijadikan visi hidupnya dalam menjalani tugas panggilan pelayanan.
Sesudah dua belas tahun di Semarang, ia tidak pernah menyangka suatu ketika masih akan berpindah sebagai Uskup di Keuskupan Agung Jakarta. “Ketika ditugaskan menuju Jakarta, banyak teman seangkatan yang sudah memasuki usia pensiun. Saya sendiri sudah memasuki usia 60 tahun. Jarang sekali seorang uskup dipindahkan ke tempat yang lain,” katanya. “Namun, para imam seperti kami tidak bisa memilih jalan lain kecuali taat pada tugas dan panggilan,” lanjutnya.
Modal utama melayani Suharyo dari awal pelayanannya adalah keyakinan akan tuntunan Tuhan. Keyakinan tersebut dihayatinya sejak janji suci penahbisan imam. Ia selalu berusaha menjalankan setiap tugas sebaik mungkin. Banyak rekannya menyatakan Suharyo adalah sosok tekun dan pekerja keras.
“Ketika saya menjalani panggilan sebagai dosen, saya sadar bukan seorang yang pandai bicara. Maka, setiap mempersiapkan materi kuliah, saya melakukan persiapan mati-matian dan memerlukan waktu berhari-hari. Semua saya lakukan agar saya bisa menjalankan tugas mengajar dengan baik,” katanya.
Ketika pada 1997 dipercaya menjadi Uskup di Keuskupan Agung Semarang, Suharyo belajar untuk mendengarkan apa masukan dari rekan sekerja dan umat. “Pada masa itu, di Semarang ada sekitar 80 paroki yang saya kunjungi satu demi satu. Saya mendengarkan umat berbicara dan berdiskusi dengan mereka,” katanya. Setelah merangkum semua masukan umat, Suharyo mengajak umat merumuskan ide-ide tersebut dalam aksi.
Pada 26 Januari 2006, Suharyo pindah pelayanan ke Jakarta. Suharyo, yang meskipun mengaku tidak begitu mengenal Kota Jakarta, belajar menjalani panggilannya. Menurutnya, gereja Katolik sudah memiliki struktur yang baku, pemimpin hanya tinggal mengembangkan pelayanan sesuai struktur tersebut.
Sebagai seorang penggemar sepak bola, Suharyo memandang pelayanan keumatan bagaikan bermain olah raga tersebut. Dalam menjalankan pelayanan, umat dan para imam cukup bermain sesuai aturan yang berlaku. Hasil akhir bergantung pada kemampuan para pemain dan cara bermainnya. Tidak jarang dibutuhkan improvisasi dalam permainan, namun menurut Suharyo harus tetap sesuai dengan aturan dan hukum gereja yang ada, agar tidak terjadi masalah di kemudian hari.
Mengajar umat Memahami Kitab Suci
Bagi Mgr. Suharyo, Alkitab pada dasarnya berbicara tentang dua hal. Mengenai siapakah Allah, siapakah manusia, dan relasi antara keduanya. Bagaimana baiknya cara umat membaca Kitab Suci? Banyak orang memandang Alkitab penuh dengan hal-hal yang membingungkan dan tak jarang saling bertolak belakang. Menanggapi kesulitan umat, Suharyo mencoba memandu melalui tulisannya dalam buku kecil “Faham-faham Dasar Tentang Kitab Suci” yang menjelaskan bagaimana umat mesti memandang Kitab Suci dan tulisan di dalamnya.
Firman Tuhan sekaligus juga merupakan anugerah, yang isinya tidak dapat dipahami hanya dengan akal pikiran manusia. Karena itu, cara yang paling pas menurut Suharyo, sebelum membaca Kitab Suci umat perlu berdoa, mohon tuntuntan dan pertolongan Roh Kudus.
Umat yang Beriman, Bersaudara, dan Berbela Rasa
Terkait harapannya mengenai peran umat Katolik, Kardinal Ignatius Suharyo menyatakan, muara keyakinan yang dirinya bangun dan ajarkan kepada jemaat terangkum dalam Lukas 6:36, ”Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”
Melalui ayat ini, Kardinal Suharyo mengajak umat membentuk dirinya menjadi umat Tuhan yang beriman, bersaudara, dan berbela rasa. Jika umat merasa diri sungguh beriman maka ia harus membangun persaudaraan di dalam komunitasnya dan juga di tengah orang-orang di sekitarnya. Termasuk dengan mereka yang berbeda keyakinan. Umat mesti berbela rasa dengan sesama agar komunitasnya dapat tetap hidup dan bertumbuh.
Sebagai seorang Kardinal dari negeri yang mayoritas beragama muslim, Kardinal Suharyo senantiasa terkagum-kagum dengan Dasar Negara kita, Pancasila. Dirinya memandang, Pancasila harus menjadi panutan dalam setiap karya pastoral. Sejak empat lima tahun lalu ketika isu intoleransi, rasisme, hoaks, dan sebagainya muncul, ia selalu mendorong gereja-gereja lokal khususnya Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) untuk mengambil sikap cinta tanah air. Spiritualitas cinta tanah air ini dituangkan dalam Arah Dasar Pastoral KAJ, “Mengamalkan Pancasila”. “Saya berharap Pancasila dapat menginspirasi iman umat Katolik dalam mengembangkan rasa cinta tanah air,”tegasnya.
Dengan demikian umat Katolik sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia mesti bekerjasama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat yang makin bermartabat, adil dan sejahtera bersama. Seperti nyata dalam semboyan yang pernah digaungkan pahlawan kemerdekaan kita, Mgr. Soegijapranata,”100 % Katolik, 100 % Indonesia.”