Ritson memulai pelayanannya untuk para difabel netra dari sebuah rumah petak dengan satu kamar, satu kamar mandi dan tempat masak di daerah Rawamangun. Awalnya cuma dua orang, kini Ev. Ritson Manyonyo atau Sony, yang juga seorang difabel netra, membina puluhan anak mulai dari jenjang TK, SD, SMP sampai SMA di bawah payung Yayasan Elsafan. Tidak berhenti di situ, Sony juga mendirikan Pusat Balai Latihan Kerja seluas 12 hektar di daerah Tentena untuk melatih para difabel dalam bertani, beternak, beternak ikan yang ditunjang sarana Information Technology (IT) yang baik. Ia melakukan karya tersebut dengan ketiadaan penglihatan. Gelap tiada terang sedikitpun.
Masa kecil yang nakal
Sony lahir 5 Maret 1975 di tepi Danau Poso tepatnya di Sawidago, Tentena, Provinsi Sulawesi Tengah. Ia anak bungsu dari enam bersaudara. Ayahnya, Pdt. Padeda Manyonyo, adalah alumni STT Jakarta yang menjadi pendeta di Gereja Kristen Sulawesi Tengah(GKST). Hari-hari ayahnya dipenuhi kesibukan sebagai gembala jemaat dan masih ditambah lagi menjadi anggota dewan. Ibunya, Dariana Ancura, seorang Ibu rumah tangga dan pernah melayani di GKST sebagai penatua dan diaken. Ketika lahir Sony belum mengalami kebutuhan, bahkan semua panca inderanya berfungsi dengan baik. Hingga ketika usianya menginjak tiga tahun, Sony mengalami perubahan pada bola matanya yang makin lama cenderung membesar. Namun dirinya masih mampu melihat baik. Orang tuanya waktu itu menganggap keadaan Sony wajar-wajar saja dan tidak perlu pemeriksaan oleh dokter. Terlebih di saat kecil , prestasi Sony di sekolah terhitung luar biasa. Ia anak yang pintar dan selalu memperoleh nilai bagus dalam setiap ujian di sekolah.
Bertolak belakang dengan prestasi belajarnya, perilaku sehari-hari Sony tidak mencerminkan jati diri seorang putra pendeta. Mencuri durian milik orang, maupun hobi berantem menjadi kesehariannya. Beranjak SMP, kenakalannya semakin bertambah. Sony mulai merokok dan terbiasa minum minuman keras. Hal tersebut semakin menegaskan pandangan orang-orang di kotanya, bahwa anak-anak yang paling nakal pastilah anak seorang pendeta.
Sesungguhnya orang tuanya tak putus mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan iman kristiani. Setiap hari sebelum perjamuan makan keluarga, baik pagi, siang, maupun malam hari, ayahnya sebagai kepala meja senantiasa memberikan arahan, tuntunan dan menceritakan isi Alkitab.
Titik terendah dalam hidup
Ketika memasuki bangku SMA, Sony mulai merasakan penurunan penglihatan. Awalnya Sony tidak menghiraukannya, hingga ia mulai sadar saat berkendara sepeda motor. Pada waktu malam, saat Sony mengendarai motor, jika berpapasan dengan kendaraan dari arah depan, dirinya seperti melihat bias cahaya yang berwarna warni di sisi bola lampu kendaraan. Kedua orang tuanya membawa Sony ke Rumah Sakit Budi Agung di Kota Palu untuk diperiksa lebih lanjut. Hasil analisisnya cukup mengejutkan. Sony didiagnosa dokter mengalami tumor otak. Namun, karena terbatas alat kesehatan di rumah sakit, diagnosa dokter baru merupakan analisis tampak luar. Belum merupakan sebuah kepastian.
Kedua orang tuanya dengan setia membesarkan hatinya, bahkan mulai memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang diidapnya. Pada 1993, Sony melakukan pemeriksaan lebih lanjut di Rumah Sakit dr. Sutomo, Surabaya. Hasil analisis dokter menunjukkan Sony mengalami glukoma, penyakit yang memang menyerang saraf mata. Vonis dokter membuat mental Sony anjlok. Perasaannya bercampur aduk. Sebagai pria remaja, Sony punya banyak impian dan harapan: tumbuh dan berkembang, berkenalan dengan lawan jenis, ingin mencari jati diri, dan menetapkan cita cita. Tetapi mendadak semua pupus karena gangguan kesehatan.
Keadaannya bertambah berat, karena Sony sering mengalami ejekan dan perundungan dari teman-temannya. Karena bola matanya yang membesar, teman-temannya sering mengejek Sony sebagai: “Si UFO” ataupun “Manusia Purba”.
Lulus SMA, meski penglihatannya terus menurun, Sony tetap melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Teologi (STT) Doulos Jakarta. Penglihatan yang buruk pernah membuatnya berkali-kali terbentur pintu bahkan jatuh ke selokan. Jarak pandangnya juga semakin menurun yang mengakibatkan Sony harus duduk di bangku paling depan saat menjalani perkuliahan.
Kejutan yang lebih buruk kembali dialami Sony saat ia kembali melakukan pemeriksaan lanjut di Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta. Dokter mata, Prof. dr. JHA Mandang, menyatakan Sony akan mengalami kebutaan total dan tidak ada obatnya untuk memulihkan penglihatannya. Mendengar pernyataan dokter tersebut, Sony merasa langit runtuh. Hidupnya menjadi tidak teratur dan tidak berarah. Sony tidak punya keberanian untuk memiliki mimpi ataupun mengejar cita-cita. Baginya hidup seolah-olah sudah selesai. Sony bahkan sempat punya pikiran pendek untuk mengakhiri hidup di dunia yang dianggapnya tidak pernah adil dan berpihak kepadanya.
Kembali belajar dan percaya diri.
Singkat cerita Sony pulang ke kampung halamannya. Dengan hilangnya penglihatan, Sony merasa tidak perlu lagi melanjutkan kuliah. Selama dua tahun di Tentena tidak ada aktivitas apapun yang ia kerjakan. Sampai akhirnya Sony memutuskan untuk ke keluar dari Tentena mengikuti saran ayahnya tinggal di Panti Asuhan Bawen, di dekat Kota Salatiga, Jawa Tengah. Di tempat inilah, ia memperoleh kembali bahwa kehidupan belum berakhir. Bahwa ia masih mungkin melakukan banyak hal yang berguna bagi banyak orang.
Awalnya Sony dipercaya sebagai juru doa, yang tugasnya mendoakan setiap anak-anak yang meminta untuk didoakan secara pribadi. Lalu kemudian naik menjadi koordinator doa. Pikir Sony “Wah, tidak bisa melihat tapi dipercaya sebagai koordinator doa”. Dia mengerjakan semuanya dengan sungguh-sungguh. Ia rajin mengajak anak-anak panti berdoa.
Suatu hari Sony bertemu dan berkenalan dengan Drs. Nikodemus Marwoto, seorang dosen di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang juga difabilitas netra. Awalnya Sony tidak percaya kalau ada dosen yang juga seorang difabilitas netra. Sony secara rutin berkunjung ke rumahnya. Di sana Sony diperkenalkan dengan berbagai alat–kerja Pak Marwoto, seperti: mesin tik braille, Alkitab braille, dan alat-alat mengajar kuliah. Tumbuh harapan di dalam hati Sony, “Oh ternyata tuna netra masih punya peluang untuk berkontribusi terhadap kemanusiaan, berkarya bagi sesame dan untuk mengabarkan injil.”
Setelah tumbuh rasa percaya dirinya, Sony pindah tempat tinggal ke Mardi Wuto (Panti Orang-orang Difabel Netra) di Yogyakarta untuk mempelajari setiap hal yang terkait dunia orang difabel netra. Ia belajar bersosialisasi, melatih kemandirian, belajar berjalan menggunakan tongkat dari satu tempat ke tempat lainnya. Makin lama kemampuannya semakin berkembang. Ia mulai berani naik bus sendiri untuk berbelanja Dan itu tidak mudah!
Setelah dirasa sudah cukup menguasai kemampuan dasar, tiba saatnya dia belajar mengenal huruf Braille. Injil dengan huruf Braille yang pertama dibaca Sony adalah Injil Yohanes. Dan ketika memulai meraba dia menangis, dalam relung hatinya dia berucap: “Ya Tuhan kenapa sekarang mata saya pindah ke jari.” Dia meminta Tuhan untuk menguatkan hatinya untuk bisa tekun dan konsisten melakukan dan menjalani pembelajarannya. Pada awalnya membaca satu lembar bacaan Braille bisa menghabiskan waktu sampai 7 hari karena harus berjuang untuk mendapatkan sensitivitas pada jari dan fokus pada pikiran, sehingga mampu mereka-reka huruf-huruf yang tidak dikenali sebelumnya.
Setelah enam bulan, dia mengusai secara sempurna membaca dan menulis huruf Braille. Bukan proses yang mudah. Dalam perjalanan belajarnya Sony sempat mengalami putus asa dan tidak mau belajar braille. Pernah ia sampai membuang lembar buku yang sedang dibaca. Ibunya yang menemaninya belajar hanya bisa menangis dan tak bisa berkata apa-apa. Tetapi jelas terdengar saat dia tersedu-sedu. Tangis sang ibu menggetarkan hati Sony dan menguatkan mentalnya untuk bangkit. Bagi Sony, ayah dan ibunya adalah konselor yang sejati, karena telah memberikan pendampingan yang hebat. Mereka tidak pernah malu punya anak yang disabilitas, mereka terus memberikan cintanya yang tak terbatas. Cinta kasih kedua orang tuanya mampu mengalahkan dan meruntuhkan rasa tidak percaya diri Sony. Satu pernyataan orangtuanya yang selalu diingatnya yakni: “Seandainya Tuhan memberikan kami umur lebih panjang daripada umurmu, kami akan minta supaya diberikan kesempatan untuk terus mendampingimu hidupmu.” Inilah cinta yang tak terbatas itu dan membuktikan bahwa dia tidak hanya sebatas dilahirkan tapi juga dicintai.
Kembali melanjutkan studi
Resiliensi kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Seorang yang mengalami resiliensi adalah seorang yang pribadi tangguh yang kuat dan cakap. Ia seperti diubah menjadi pribadi yang baru. Sony bagaikan orang yang sudah beres dengan hidupnya, yang sudah menang dengan dirinya sendiri. Artinya apa? Tidak memanfaatkan kebutaan untuk mengemis, tidak memanfaatkan kecacatan untuk memelas orang, tetapi ada perjuangan dan kerja keras untuk bangkit. Isunya saat ini adalah bukan soal buta atau tidak buta, bukan itu lagi.
Sony kini memiliki keberanian untuk masuk kampus lagi karena merasa tidak buta. Mengutip dari Matius 13:13, ada banyak orang melihat tapi tidak tahu apa yang diliatnya, ada banyak orang mendengar tapi tidak tahu apa yang didengarnya, ada banyak orang yang mengerti tapi dia tidak tau apa yang dia mengerti didalam hidupnya. Orang banyak membahas tuna netra itu hanya soal organ tubuh. Padahal jangan-jangan mereka sendiri yang buta. “Jadi perjuangan saya untuk masuk kuliah S1, S2 kemudian S3 bukan soal loh kok bisa orang buta? Bukan, bukan soal itu,”katanya. Sony ingin hidupnya menginspirasi banyak orang, “Ada banyak orang kaya raya hidupnya tidak baik, tidak menjadi berkat, tidak menjadi garam, tidak menjadi surat Kristus yang terbuka, ada juga yang telah disumpah jabatan atas nama Tuhan tapi masih juga mengambil uang negara. Lalu pertanyaanya siapa yang sesungguhnya difabel?” terang Sony.
Prinsip hidup Sony sekarang adalah agar selama masih diberikan kesempatan hidup, ia bisa menjalaninya seperti para rasul mereka hidup menderita karena injil seperti sang guru Tuhan kita Yesus Kristus mati demi manusia.
Membentuk Elsafan Ministry
Setelah bangkit, Sony sempat bekerja untuk mencari uang untuk biaya hidup dan kuliahnya. Setelah lulus kuliah, ia berkarya mendampingi tuna netra dewasa se-Jakarta utara selama hampir lima tahun. Dia akhirnya tahu betapa rumitnya, betapa sulitnya merubah kultur, perspektif, perilaku, cara bicara, tata krama, moral, etik untuk menjadi manusia utuhnya. Banyak tuna netra yang menampilkan kebutaannya untuk menunjukkan dirinya seseorang yang lemah. Kalau bisa diberi terus, dapat bantuan sosial. Kalau bisa dapat bantuan ini itu, dapat kartu ini dan itu.
Dari perjumpaan dengan kaum difabel netra itulah Sony bertekad mempersiapkan generasi tuna netra yang excellent. Generasi yang mempunyai perspektif baru, budaya baru, kultur baru, budaya membaca, budaya berseni, budaya untuk sopan dan budaya tidak meminta-minta. Pada 7 Februari 2006 akhirnya didirikan Elsafan Ministry di daerah Cipinang Baru Bunder, Gang Madrasah. Istrinya rela berhenti bekerja dari sebuah perusahaan keuangan untuk membantunya melayani melalui Elsafan Ministry. Murid awalnya satu orang, yakni Johanes lalu Junjun kemudian Tegar sampai terkumpul 8 orang. Tidak muat lagi di Cipinang, pada 2007 pindah ke Jl. Ekor kuning Rawamangun belakang terminal. Tidak muat lagi pindah ke Jl. Dermaga Raya, Klender. Hingga akhirnya pindah ke Jl. Delima, Buaran saat ini. Elsafan menjadi terang bagi mereka yang beragam, ada yg Muslim ada yang Hindu. Jangan buat tembok untuk mereka tidak datang. Banyak orang membangun tembok duluan yang dibangun semegah dan setinggi apapun.
Kini, Yayasan Elsafan sudah berumur 15 tahun dan alumninya tersebar di lingkungan seperti di gereja, perbankan, atlet nasional, entrepreuneur dan pekerja seni. Secara lembaga Yayasan Elsafan pernah menyabet Juara 4 tingkat Provinsi DKI Jakarta sebagai Lembaga teladan dari semua lembaga2 sosial dan diaudit dengan penilaian WTP.
Program-program Elsafan saat ini ada empat, yakni:
LKSA (lembaga kesejahteraan Sosial Anak Disabilitas Netra / Panti) ada 39 warga binaan sosial dan dari 39 anak ini automically bersekolah di sekolah luar biasa A dan A plus di Elsafan.
Sekolah Luar biasa jenjang tk,sd,smp, sma
Sekolah kelas pengembangan diri: untuk yg mereka mengalami kebutaan di usia dewasa atau yang mengalami kebutaan sejak kecil namun sudah usia dewasa dan belum pernah sekolah
Sekolah PAUD inklusi terpadu di Sawidago, Pamona Utara, karena memang disana tidak ada yang mau menerima anak-anak bisu, anak buta, anak tuli karena guru tidak mau repot
Pusat Balai latihan kerja disabilitas berbasis pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan ditunjang IT ada 12 hektar. Apa saja yang ditanam: cengkeh, kopi, durian musangking, manga manis madu. Orang buta bisa bekerja, orang tuli bisa pada bekerja, bisa beternak ikan.
Karena mereka adalah surat kristus terbuka. Di Elsafan ini diwajibkan untuk sembilan kali baca alkitab Kejadian-Wahyu. Tiap pagi 2 pasal, tiap malam 2 pasal.
Elsafan adalah kata dari bahasa Ibrani yang artinya “Tuhan pelindungku”. Mereka punya keyakinan bahwa dalam segala mobilitas aktivitasnya hanyalah Tuhan yang melindungi. Pergi ke minimarket, pergi ke tukang pangkas, tidak didampingi pergi berjalan dengan tongkat. Mengapa? Karena sudah dilatih, mentalnya sudah kuat da nada kepercayaan ada Tuhan yang melindungi. Bahkan pulang kampung pun sudah sendiri.
Memaknai Sebuah Pelayanan
Menurut Sony, jika seseorang ingin melayani Tuhan, ia harus beres dahulu dengan hidupnya, harus merdeka dengan dirinya sendiri. Mengapa? “Banyak orang tergoda ketika melayani, uang gereja dimakan, atau belum apa-apa sudah bertanya mau digaji berapa, atau yang lainnya kalau boleh saya tidak dibuang ke suku terasing,” terangnya bersemangat. Sony menyebut setiap orang semestinya mencontoh cara hidup Yesus yang rela turun ke dunia dan sudah beres dengan dirinya sendiri.
Pelayanan itu bagi Sony bukan pilihan tapi kewajiban. “Ada yang memang harus di mimbar, ada yang di kegiatan sosial seperti kami, semuanya memang sudah dibagi-bagi oleh Tuhan. Dan kita harus melayani dengan sepenuh jiwa,”katanya.
Dalam rangka kelanjutan komunitas dan keberlangsungan yang sudah dibangun masih juga membangun sistem ekonomi bagi disabilitas, karena hidup semakin ketat persaingan, pekerjaan2 konvesional akan ditinggalkan, ijasah tidak menjadi bargaining yg utama dan hanya sekedar pelengkap. Dari sinilah dirasa perlu mempersiapkan kaum disabilitas bisa berdikari. Harus berkarya dan berkreasi.
Sony bahkan bermimpi untuk membangun panti jompo untuk tuna netra karena di Indonesia hanya ada satu. Sony bermimpi melihat Indonesia yang inklusif. Bukan hanya soal agama, melainkan juga keberpihakan kepada difabilitas. Seluruh instansi mulai dari Bupati, walikota, dan gubernur harus membuat peraturan daerah (UU No 8/2016 penyandang disabilitas). “Semestinya di daerah-daerah membuka peluang yang sama seperti di ibukota, sehingga para penyandang disabilitas di daerah tidak perlu jauh-jauh datang ke Jakarta, yaitu menyediakan fasilitas sosial, dasilitas umum, fasilitas pendidikan, fasilitas pekerjaan, pemerintah sudah diberi amanat oleh rakyat,”kata Sony. Cara awalnya menurut Sony adalah basis data yang baik tentang penyandang disabilitas, atau dalam lingkup kecil apakah gereja mempunyai data jemaatmya yang memiliki disabilitas. “Kalau data tidak ada, bagaimana kita mau menyupport. Oleh karena itu baik pemerintah, negara, dan gereja, maupun lembaga-lembaga marilah mulai melakukan pendataan secara massif dan sistematis supaya dapat memberikan pelayan terbaik,”lanjutnya menghimbau.
Terakhir Sony mengingatkan, orang difabel netra itu sejatinya melihat. Hanya kadang-kadang orang yang organ matanya secara visual berfungsi malah tergoda untuk melabeli dalam pikirannya, memberi stempel bahwa dia buta. Sebenernya dua bola mata di kepala itu hanya aksesoris kepala. Sony menegaskan,”Tuhan kita Mahakaya jangan pernah sepelekan Dia. Tuhan itu Mahakreatif, Sumber Imajinasi, Dia sangat imajiner!