Pengalaman Lapangan Pdt. Permadi Kusuma
Pengalaman melayani program literasi LAI bagi Pdt. Permadi Kusuma adalah masa-masa tidak terlupakan. Begitu banyak tantangannya, dan hanya karena kasih karunia Tuhan semata dirinya mampu menjalankan tugas pelayanan di berbagai daerah pedalaman tersebut. Dari meloloskan diri dari cegatan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), pemberontak di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, menghindari ular dan binatang buas lainnya di Banggai hingga jalan kaki berkilo-kilometer di medan bergunung dan berlumpur.
Sekitar awal 1990-an Permadi bergabung dalam pelayanan Lembaga Alkitab Indonesia(LAI). Pekerjaan awalnya menjadi promotor penyebaran LAI. Tugasnya adalah mempromosikan produk-produk terbitan LAI melalui beragam kegiatan. Mengunjungi toko-toko buku, berpameran di gereja-gereja maupun sekolah-sekolah, beriklan di berbagai media dan lain sebagainya. Sebagai seorang muda yang baru lulus sekolah teologi semangat Permadi masih begitu segar. Tugas-tugas rutin baik di dalam kota maupun di luar kota dijalani dengan penuh semangat.
Pada permulaan 1995, Permadi mendapatkan tanggung jawab tambahan sebagai Project Officer Program Pembaca Baru Alkitab (PBA). Artinya, boleh dikatakan dirinya dipercaya sebagai pimpinan program lapangan dari Program PBA. Progra PBA adalah program literasi atau pemberantasan buta aksara yang berbasis Alkitab. Banyak umat Tuhan di pelosok-pelosok Nusantara yang belum bisa membaca dan menulis sederhana. Akibatnya mereka tidak mampu membaca Alkitab. Hidup mereka pun menjadi tertinggal dalam keterbelakangan. Program PBA menolong umat Tuhan agar nantinya paling tidak mampu memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung tingkat dasar.
Sebagai anak muda yang dibesarkan di perkotaan, Permadi awalnya merasa khawatir. Karena lokasi pelaksanaan program PBA rata-rata di daerah pelosok yang begitu terpencil. Lokasinya jauh dari pusat-pusat perkotaan dan susah dijangkau sarana transportasi. Jangankan untuk memperoleh sinyal-sinyal telepon, untuk berkirim surat pun belum tentu memungkinkan. Meskipun demikian, ia hanya bisa menyatakan siap ditugaskan ke lapangan.
Persoalan kedua yang membebani benak Permadi adalah dirinya belum punya pengalaman sama sekali mengurus program pemberantasan buta aksara. “Latar belakang keilmuan saya teologi bukan Pendidikan,”tuturnya. “Pekerjaan saya selama ini mengurus promosi terbitan.”
Ada begitu banyak hal-hal baru yang mesti Permadi pelajari. Bagaimana cara melatih dan mengkoordinir para tutor (pengajar), menyampaikan materi pelatihan, mengajar calistung (baca, tulis, berhitung) warga belajar, pengorganisasian lapangan, dan lain sebagainya. Semua tidak mudah, namun mau tidak mau harus dijalani.
Beruntung Tim PBH/PBA LAI telah membantu menyiapkan materi pembelajaran PBH/PBA yang terdiri dari 12 buku berseri. Buku seri 1 sampai dengan seri 3 diadopsi dari buku yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olah Raga, ditambah dengan satu buah buku Panduan untuk para Tutor. Beruntung juga Dinas Pendidikan di kota tempat berlangsung Program PBA selalu bersedia membantu menopang pelayanan LAI.
Buku Panduan tersebut sebenarnya tidak memberikan panduan bagaimana para tutor menyampaikan materi yang ada dalam buku PBH/PBA seri 1-12 secara efektif. Buku itu juga tidak memberikan petunjuk metodologi mengajar kelompok buta huruf secara efektif, bagaimana menata adminsitrasi dan mengorganisasi kelompok belajar. Buku tersebut lebih merupakan buku tambahan pengetahuan bagi para tutor dalam menentukan Tujuan Intruksional Khusus (TIK), Tujuan Intruksional Umum (TIU) dalam pembuatan suatu perencanaan kegiatan belajar mengajar. Bagaimana menyampaikan pengajaran kepada warga belajar ditentukan ketrampilan dan kreativitas para tutor di lapangan menyesuaikan situasi dan kondisi setempat.
Program PBH/PBA di awal 1995 dilangsungkan di 7 (tujuh) lokasi di tanah air (Banggai Kepulauan - Sulawesi Tengah, Paniai - Papua Barat, Baucau - Timor Timur, SoE - Timor Tengah Selatan, Sintang - Kalbar, Bengkulu, Mentawai - Sumatera Barat). Karena program ini merupakan pembaruan dari New Readers Program (Program Pembaca Baru) yang dulu hanya berlangsung paling lama seminggu di setiap daerah, maka Permadi mencoba melakukan beragam eksplorasi dan improvisasi, mencari kurikulum dan bentuk yang ideal dan pas dalam melaksanakan program tersebut, seperti melatih diri menjadi fasilitator dalam kegiatan pelatihan, mengorganisasi kegiatan di lapangan, evaluasi dan monitoring. “Program literasi yang lama tidak berlangsung efektif untuk memberantas buta aksara, paling banter hanya meningkatkan minat baca anak Sekolah Minggu,”tuturnya. “Maka sekarang program berlangsung lebih lama di berbagai daerah, untuk memastikan warga belajar ketika program selesai sudah bisa membaca dan menulis tingkat dasar.”
Tiap lokasi program PBH/PBA selalu meninggalkan kenangan menarik bagi Permadi. Ketika pelaksanaan program berlangsung di Baucau, Timor-Timur, situasi sedang memanas. Waktu itu sedang terjadi konflik politik yang hebat sebelum Timor-Timur memisahkan diri dari NKRI. Baucau merupakan daerah basis GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Mereka sering berlaku tidak manusiawi terhadap pendatang yang tidak dikenal. Terlebih untuk warga Indonesia yang berasal dari Jawa. Beruntung pendeta dan rekan Permadi di lapangan berpikir cerdik. Untuk menyelamatkan perjalanan pulang Permadi dari Baucau ke Dili, tempat secretariat Program PBA, Permadi dititipkan sebuah mobil ambulans. Ambulans sebagai kendaraan penolong darurat memang bebas dari setopan dan sweeping kelompok GPK. Meski demikian sepanjang perjalanan Permadi tetap saja merasa tegang dan dag, dig, dug. Akhirnya lewat pertolongan dan berkat Tuhan, Permadi tiba di Dili dengan selamat…
“Ada kenangan yang selalu teringat ketika pertama kali mengelola program PBH/PBA di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Saya berimprovisasi menjadi fasilitator di hadapan 43 orang tutor dari berbagai gereja yang ada dengan target warga belajar 2.475 orang,”kenangnya. Target peserta yang tidak sedikit.
Setelah pelatihan tutor selesai, Permadi sepanjang dua minggu, berkeliling ke berbagai pelosok desa tempat para tutor bekerja untuk mensosialisasikan program. Ia juga mencoba memetakan lokasi dan melihat situasi kondisi di lapangan. Tak jarang dengan didampingi pendeta atau tutor setempat Permadi melakukan perjalanan lapangan melintasi medan yang berat dari pagi hingga petang hari. Medan yang harus dilalui rata-rata sepi, jarak antar kampung berjauhan, dan rombongan mesti selalu waspada menghadapi ular atau binatang lain.
“Saya mesti pandai membawa diri dan berkomunikasi dengan orang-orang di lapangan. Adapun pelosok desa yang menjadi lokasi belajar umumnya bukanlah tempat yang mudah dijangkau. Bahkan sebagian besar koordinator wilayah belum pernah masuk ke pelosok desa yang menjadi peserta program. Sehingga program PBH/PBA juga menjadi sarana untuk mereka datang mengunjungi wilayah yang akan mereka layani,”katanya.
Jatuh bangun di tanah berlumpur yang sangat licin menjadi bagian sehari-hari dalam perjalanan Permadi di lapangan PBA. Demikian pula ombak lautan, derasnya arus sungai, maupun desiran angin dingin dari ketinggian 1000 kaki karena beberapa lokasi mesti ditempuh menggunakan pesawat kecil berpenumpang 4 orang. Hal tersebut menjadi bagian yang tak terlupakan dalam perjalanan. Perjalanan yang berat tersebut tidak terasa karena didasari pada kesetiaan untuk melaksakan tugas mulia dan iman bahwa Allah akan menyertai dan memberi selamat dalam perjalanan. Makin lama melayani Permadi makin mampu menyesuaikan diri. Ia pun semakin terbiasa bersosialisasi dengan beragam kalangan di berbagai daerah di Nusantara. “Jangan pernah dilupakan, untuk pelayanan lapangan seperti di medan-medan pemberantasan buta aksara, kita hanya bisa bersandar pada pertolongan Tuhan,”tegasnya.
“Kecukupan makanan, kesehatan, keamanan maupun keselamatan jiwa hanya kita serahkan pada kehendak-Nya.” Di pedalaman menurut Permadi uang tidak selalu berharga, karena ada uang pun jika tidak ada tempat untuk membeli sesuatu tidak ada gunanya. Tapi seingatnya, belum pernah ia mengalami kekurangan di lapangan. Tuhan selalu mencukupkan kebutuhannya setiap waktu.
Di Paniai, Papua ceritanya lain lagi. Pada hari pertama pelatihan para tutor Permadi dikejutkan oleh terjadinya konflik di tengah masyarakat, yaitu pertikaian antara penduduk setempat dan pendatang yang menyebabkan terjadi pembakaran pemukiman dan pasar. Konflik tersebut menyebabkan konsentrasi para peserta dan panitia lokal menjadi terganggu. Mereka terpaksa pulang menengok keluarga masing-masing dan keesokan harinya baru kembali lagi ke lokasi pelatihan. Atas saran dari Panitia lokal setempat Permadi untuk sementara dilarang untuk keluar rumah karena katanya ”wajah dan rambutnya” mirip dengan orang pendatang. Apa benar wajah dan perawakannya mirip orang pendatang? Permadi sendiri ragu.
“Fisik dan mental memang harus benar-benar siap dalam mengordinasi program PBH/PBA di lapangan. Kadang situasi di lapangan berubah begitu cepat, misalnya cuaca,”tuturnya. “Dalam rangka monitoring program di Mentawai, rombongan kami dalam perjalanan menuju desa Silabu dengan perahu motor yang berpenumpang sekitar 10 orang. Tiba-tiba ombak setinggi empat meter menerjang perahu motor kami. Saya yang pada waktu itu duduk di haluan dan sedang santai menikmati nasi bungkus langsung basah kuyup. Nasi Padang yang sedang asyik saya nikmati berantakan diterjang ombak. Untunglah perahu motor tersebut tidak terbalik dan tidak karam. Kami semua selamat sampai tujuan,”kenangnya.
Setelah beberapa waktu melayani di lapangan (di tujuh lokasi), Permadi mulai menemukan beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam pengelolaan dan pelaksanaan program tersebut. Saran-saran tersebut disampaikan Permadi kepada pimpinan di LAI agar pelaksanaan program pemberantasan buta aksara ke depannya semakin efektif dan efisien.
Permadi masih memiliki semangat yang tinggi untuk terus berkeliling Nusantara. Namun, suatu saat langkahnya harus berhenti untuk sementara. Istrinya mengalami stroke berat yang mengakibatkan koma selama beberapa hari. Setelah sadar kembali, ia mengalami kelumpuhan dan kehilangan memori otak. Perjuangan Permadi untuk sementara berpindah, dari lapangan ke tengah keluarga. Seperti halnya ketika melayani di lapangan, saat harus mendampingi dan merawat istri Tuhan mengingatkan Permadi untuk tekun bersandar kepada-Nya. “Kesetiaan dan iman percaya saya kembali diuji,”katanya. Semoga Tuhan memampukannya untuk terus bertekun dan setia.
Usulan Permadi untuk pelaksanaan program PBA yang lebih baik dari segi perencanaan, fasilitas, pengorganisasian dan pendampingan selama 9 bulan masa kegiatan akhirnya disetujui pimpinan LAI. Karya pelayanannya dilanjutkan oleh rekannya di LAI, Erna Yulianawati. Demikianlah tiap tahun dari pelosok ke pelosok Program Pembaca Baru Alkitab terus berlangsung, hingga hari ini. Agar umat yang hidupnya terbelakang dan terpencil mampu membaca dan memperluas wawasannya. Agar iman mereka dikuatkan dan masa depan mereka dicerahkan. Demi Tuhan dan juga demi Indonesia yang lebih baik.